Kapitalisme Melanggengkan Kemiskinan, Islam Kafah Solusi Brilian

 

Oleh Ummu Syifa

Pemerhati Perempuan dan Generasi 


Kemiskinan selalu saja menjadi permasalahan yang tak kunjung selesai. Tahun demi tahun berganti, angka kemiskinan di Indonesia  terus bertambah. Badan Pusat Statistik mencatat angka penduduk miskin per September 2022 sebanyak 26,36 juta orang. (bps.go.id, 16/01/2023).


Bank Dunia (World Bank) telah menyarankan kepada Indonesia untuk merubah acuan dalam mengukur garis kemiskinan. Mereka mengatakan bahwa garis kemiskinan seharusnya diukur sesuai paritas daya beli, yaitu dengan besaran pendapatan sebesar US$ 3,2 per hari, bukan dengan ukuran besaran US$ 1,9 per hari yang digunakan sejak tahun 2011. Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan  bahwa standar itu tidak bisa digunakan di Indonesia, dan jika acuan itu digunakan maka seketika kemiskinan di Indonesia akan naik 40%. (cnbcindonesia.com, 9/5/2023)


Acuan garis kemiskinan Bank Dunia US$ 3,2 per hari yang setara dengan kurang lebih Rp48.000 perhari saja belum dikatakan layak dalam memenuhi sandang, pangan, dan papan rakyat apalagi Indonesia sejak 2011 menggunakan standar besaran pendapatan US$ 1,9. Sesungguhnya, rendahnya acuan garis kemiskinan yang ditetapkan oleh negara membuktikan bahwa negara tidak saja telah abai dengan kondisi kesejahteraan rakyatnya tapi juga zalim. Seharusnya negara yang menyelenggarakan pengaturan rakyat memahami betul kondisi rakyat, tentang bagaimana kebutuhan rakyat dan pemenuhannya orang per orang. Negara yang menerapkan kapitalisme tidak akan pernah  memposisikan dirinya sebagai pelayan rakyat. Sebaliknya, penguasa berlaku sebagai pedagang, yang selalu menghitung untung rugi ketika mengurus rakyatnya. 


Ironis, negeri ini kaya akan sumber daya alam tapi rakyatnya hidup sengsara dan menderita. Kemiskinan yang terjadi  bukan semata-mata karena kelemahan rakyat misalnya cacat, usia tidak produktif (lansia), atau  malas tapi karena kebijakan negara banyak merugikan rakyat seperti UU Sumber Daya Air, UU Minerba, UU Cipta Kerja dan lain-lain. Dengan aturan-aturan tersebut kesempatan rakyat untuk berkarya dan menikmati kekayaan negeri ini menjadi terbatas bahkan hilang, karena perusahaan negara saat ini sudah banyak diprivatisasi menjadi perusahaan-perusahaan swasta baik swasta nasional maupun swasta asing yang berorientasi keuntungan. Sudah saatnya rakyat sadar, bahwa sistem kapitalis ini telah benar-benar membawa penderitaan bagi rakyat.


Berbeda dengan Islam. Islam memandang bahwa negara adalah pihak yang bertanggung jawab terhadap kebutuhan rakyatnya orang per orang. Kita bisa menyaksikan bahwasanya Umar bin Khattab yang kala itu menjadi khalifah, beliau sendiri yang memanggul gandum untuk rakyatnya ketika mengetahui ada rakyatnya yang kelaparan.


Dalam Islam, kekayaan alam milik umum hasilnya harus betul-betul dirasakan oleh rakyat dengan mengelolanya  penuh amanah dan penyalurannya bisa dirasakan oleh rakyat dengan kemudahan berbagai layanan seperti kesehatan gratis, pendidikan gratis, kalaupun harus berbayar,  dipastikan bisa dijangkau oleh masyarakat. Negara juga akan memudahkan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya, distribusi pangan yang terkendali, pemberian tanah cuma-cuma kepada rakyatnya sesuai kebijakan khalifah. (Nizham al-iqtishadi fil Islam tentang Milkiyah Ammah karya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani Rahimahullah).

 

Dengan itu semua, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat terjamin. Bahkan, di zaman khalifah Umar bin Abdul Aziz tidak ada seorang pun dari individu rakyat yang menjadi mustahik zakat. Sebuah fakta yang menunjukkan  keberhasilan Islam dalam  menghapuskan kemiskinan. Ketika kemiskinan terhapuskan, maka dengan sendirinya mampu menghentikan laju kriminalitas di dalam negeri, menjadikan negerinya aman, nyaman, tentram dan penuh barakah. Sudah saatnya  umat kembali kepada aturan Islam, aturan yang bersumber dari Pencipta yaitu Allah Swt. yang paling memahami kebutuhan makhluknya. Umat harus yakin bahwa penerapan Islam kafah  adalah solusi brilian dalam mengentaskan kemiskinan. 


Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post