Pejabat Flexing, Kesalahan Tata Kelola Kepemimpinan Kapitalis


Oleh: Asma Sulistiawati 
(Pegiat Literasi) 

Kendari, Detiksultra.com Pejabat (Pj) Bupati Bombana, Sulawesi Tenggara (Sultra), Burhanuddin akan dimintai klarifikasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 
 
Sebelumnya, Pj Bupati Bombana, Burhanuddin dan istrinya tengah menjadi sorotan publik setelah video pelasiran keduanya ke luar negeri serta memamerkan sejumlah barang branded viral di media sosial (medsos). 
 
Namun dalam kesempatan lain, Pj Bupati Bombana itu membantah tudingan publik yang menyebut barang branded milik istrinya bukan barang mahal alias KW. 
 
Bahkan menurut dia, tas milik istrinya yang bermerek Cristion Dior, Prada Milano, Saint Laurent hingga Gucci dibeli di mangga Dua Square, Jakarta Pusat yang harganya masih terlampau murah. 
 
“Itu semua, kasihan itu tas yang dibeli di daerah Mangga Dua, saya kasih tahu tempatnya ada, KW semua,” ujar dia dalam rekaman video yang diterima Detiksultra.com, Rabu (29/3/2023) 
 
Sungguh miris dengan terkuaknya fakta ini, justru tindakan yang diambil penguasa terhadap keluarga pejabat flexing adalah dengan menonaktifkan pejabat tersebut dari jabatannya. Seharusnya pemerintah memproses secara hukum darimana perolehan harta sebesar itu, dan Proses ini sangat mudah dilakukan oleh negara terhadap pejabatnya. 
 
Namun, kepemimpinan ala sekuler kapitalisme yang hanya mengedepankan orientasi capaian materi membuat para penguasa bersikap reaksioner mengatasi masalah tersebut. Mereka memutuskan menonaktifkan yang dirinya maupun keluarganya melakukan flexing. 
 
Tentu keputusan ini terasa aneh, bisa jadi keputusan ini diambil untuk menjaga citra penguasa agar terlihat seolah mereka bergerak cepat dan berusaha menindak pegawainya yang menyeleweng. Padahal tindakan yang seharusnya dilakukan memeriksa sumber keungannya jika memang berasal dari hasil yang haram, diputuskan hukumannya.  
 
Kejadian seperti ini menunjukkan betapa bobroknya moral pejabat dalam sistem kapitalisme hari ini yang menonjolkan kehidupan yang berlebihan di tengah himpitan hidup rakyatnya yang sangat susah. Dan lebih mengerikan lagi adanya aktivitas mengumpulkan harta dan berfoya-foya dan hal tersebut dibiarkan dan memang terjadi secara sistematis, masif dan struktural. Karena sistem kapitalisme demokrasi yang memang membuka peluang tersebut.  
 
Fakta ini semakin membuktikan bahwa pejabat dalam sistem sekuler kapitalisme nir akhlak. Dikala masyarakat hidup dalam kesusahan, mereka justru berlomba-lomba dalam meraup kekayaan dengan memanfaatkan kedudukan mereka, baik itu melalui korupsi, pencucian uang, suap, dan lain sebagainya. 
 
Kehidupan yang mereka tampilkan melukai hati rakyat mereka memamerkan kekayaan yang mereka miliki, sementara di luar sana banyak warganya yang mati karena kelaparan sungguh ini adalah ironi. 
 
Sungguh sangat berbeda dalam negara Islam. Di dalam sistem Islam jika didapati dugaan ada pejabat khilafah yang melakukan korupsi, dan hal tersebut menjadikannya memiliki harta yang melimpah ruah, khilafah memiliki mekanisme khas untuk mengatasinya. Islam tidak melarang individu, termasuk pejabat negara menjadi orang kaya. Tentu kekayaan harus berasal dari transaksi yang halal, meski kaya secara halal, seharusnya para pejabat menjadi teladan untuk hidup sederhana.  
 
Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya Al Amwal fi Daulah Khilafah menjelaskan untuk mengetahui apakah pejabat pemerintahan itu curang atau tidak, maka ada pengawasan yang ketat dari badan pengawasan Pemeriksa keuangan.  
 
Pada masa Kalifah Umar beliau pernah mengangkat pengawas, yaitu Muhammad bi Maslamah, yang bertugas mengawasi kekayaan para pejabat, petugas atau badan ini akan melakukan pembuktian terbalik kepada para pejabat atau kepada pihak siapa pun yang terbukti melakukan korupsi.

Pembuktian terbalik yaitu, menghitung kekayaan pejabat di awal dan di akhir jabatannya. Bila terdapat kenaikkan tidak wajar pejabat yang bersangkutan diminta membuktikan sendiri bahwa kekayaan dimilikinya diperoleh dengan cara yang halal. Jika pelaku tidak sanggup membuktikan harta kekayaan tersebut, maka kelebihan harta itu termasuk harta ghulul yang wajib diberikan kepada baitul maal  (pos kepemilikan negara). 
 
Rasulullah saw bersabda “Siapa saja yang kami angkat untuk satu tugas dan telah kami tetapkan pemberian (gaji) untuk dia, maka apa yang diambil setelah itu adalah harta ghulul,” (HR Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim).  
 
Khalifah Umar memberikan teladan yang begitu baik dalam menjaga kesucian harta para pejabat ataupun warga negaranya. Hal ini nampak pada tindakan Umar tatkala beliau melihat unta milik anaknya, Abdullah bi Umar paling gemuk di antara unta yang digembalakan di padang penggembalaan umum. Khalifah Umar menganggap Abdullah mendapatkan perlakuan istimewa karena ia anak khalifah. Khalifah Umar pun memerintahkan kepada putranya untuk menjual untanya dan kelebihan modalnya diserahkan ke kas negara. Dari sikap ini terlihat betapa wara’nya khalifah Umar dalam memastikan harta kekayaan yang dimiliki warganya dalam keadaan benar.  
 
Seperti inilah khilafah dalam menindak para koruptor yang bernafsu mengejar harta kekayaan demi memuaskan gaya hidup hedon mereka. 
 
Hanya sistem Islam kaffah dalam bingkai khilafah Islamiyah yang akan melahirkan pemimpin atau pejabat yang amanah. Pejabat dalam sistem khilafah juga akan mendapatkan fasilitas dan santunan yang cukup untuk kebutuhan asasi dirinya dan keluarganya secara pantas, namun ia akan bersahaja dan jauh dari kemewahan.Wallahu a'lam bis shawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post