Konten demi Eksistensi, Wujud Rendahnya Taraf Berpikir Generasi




 

Konten sebagai informasi yang tersedia di platform media digital dalam berbagai bentuknya (seperti Facebook, Instagram, Twitter, Tiktok, Youtube, dan lain-lain) menjadi konsumsi warganet setiap harinya. Dan di era kebebasan yang luar biasa ini, konten dibuat bukan sekadar bertujuan untuk memberi informasi tapi justru sebagai ajang eksistensi diri, bahkan dibuat dengan cara yang membahayakan jiwa atau berlagak kaya. 

Konten yang membahayakan jiwa salah satunya dilakukan gadis pelayan kafe berinisial W (21) yang tewas tergantung di rumah kontrakannya di Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat (Jabar). W tewas saat membuat konten bunuh diri melalui panggilan video atau video call dengan teman-temannya pada 3 Maret 2023 lalu.

Begitupun konten flexing atau kebiasaan pamer kemewahan di media sosial masih banyak dilakukan demi mendapat pengakuan orang lain. Salah satu yang ramai diperbincangkan adalah konten kendaraan mewah yang diunggah Mario Dandy. Aksi penganiayaan Mario, anak pejabat pajak ini justru menguak nilai aset kekayaan ayahnya yang dinilai terlalu fantastis.

Inilah potret generasi yang sedang mengalami krisis jati diri. Mereka tidak paham apa yang seharusnya mereka lakukan karena terarus  pada cara pandang kapitalisme yang berorientasi pada kesenangan duniawi semata. Generasi muda hari ini, mentalnya tidak terdidik dengan kerja keras, melainkan hanya mengandalkan kesuksesan secara instan.

Banyaknya pengguna gadget yang mencari hiburan untuk menutup kejenuhan hidupnya di medsos membuat para konten kreator menguras kreativitasnya, tidak peduli kreativitas itu positif maupun negatif. Hal ini dilakukan hanya demi mendapatkan follower dan penghasilan.

Perilaku ini sejatinya adalah perilaku rendah yang muncul dari taraf berpikir yang rendah pula. Taraf berpikir yang rendah itu seperti hewan yang hanya memikirkan diri sendiri untuk bisa hidup. Perilaku manusia menjadi dikendalikan oleh keinginan mereka sendiri, melakukan apapun demi konten viral yang membuat terkenal. 

Sungguh sia-sia hidup, jika potensi generasi muda dipasrahkan mengikuti kemauan sistem kapitalisme. Sistem hari ini gagal menunjukkan kemuliaan manusia melalui ketinggian taraf berpikirnya untuk membentuk individu yang berilmu tinggi. Negara justru meminimalisir pendidikan agama, pendidikan hanya berorientasi agar bisa meraih jabatan dan kekuasaan. Membuat para pemuda semakin terkikis rasa keimanannya. 

Berbeda dengan sistem Islam yang mengharuskan umatnya untuk memiliki taraf berpikir yang tinggi yaitu pemikiran bahwa ia seorang hamba yang diciptakan untuk beribadah kepada Allah SWT. Oleh karena itu, menjadi tantangan bagi para konten kreator Muslim agar mampu bersaing dalam menghadirkan karya terbaiknya.

Aktivitas dalam medsos akan menjadi tidak tepat jika dilakukan sekedar untuk mencari sensasi, walaupun tambahan penghasilan maupun pertemanan itu merupakan bonus. Maka dari itu, perlu menggunakan alasan yang penting dalam membuat konten yaitu sebagai ladang amal (dakwah). Sehingga terlahir konten-konten kreator yang bertakwa, ilmuwan sekaligus ulama. Generasi yang membawa perubahan dan pelopor peradaban bukan sebagai pengikut dan penonton saja.[]

 


Post a Comment

Previous Post Next Post