Komitmen dan Keseriusan Negara dalam menyelesaikan TPPU


Oleh Khoirunnisa, S.E.I
 
Ada banyak hal di Negeri tercinta kita ini, yaitu Indonesia yang perlu dibahas hingga disolusikan. Mengapa? Karena banyak sekali tumpukan masalah, bagaikan sampah yang menjulang tinggi dan butuh dibersihkan hingga yang tercium adalah aroma wangi semerbaknya. 

Permasalahkan yang baru naik daun, salah satunya adalah mengenai TPPU. TPPU merupakan kepanjangan dari Tindak Pidana Pencucian Uang. TPPU biasa disebut pula dengan Pencucian uang (Money Laundering), maksudnya adalah suatu upaya perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang/dana atau Harta Kekayaan hasil tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan agar uang atau Harta Kekayaan tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah/legal. (id.wikipedia.org) 

Pada umumnya pelaku tindak pidana berusaha menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang merupakan hasil dari tindak pidana dengan berbagai cara agar Harta Kekayaan hasil kejahatannya sulit ditelusuri oleh aparat penegak hukum sehingga dengan leluasa memanfaatkan Harta Kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah.  

Oleh karena itu, tindak pidana Pencucian Uang tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, melainkan juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.


 *Indonesia Tidak Kooperatif membrantas TPPU* 
Mengenai kasus TPPU, kabar pun datang dari banyak arah, seperti yang dikutip dari Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan memperkuat koordinasi dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Langkah ini menyusul adanya transaksi janggal Rp189 triliun yang diduga melibatkan Bea Cukai.  Staf Khusus Menteri Keuangan bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo menyatakan, Kemenkeu akan berkoordinasi dengan PPATK dan aparat penegak hukum, sesuai arahan Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). 

Selain itu, Menko Polhukam Mahfud Md menyebut ada 491 entitas aparatur sipil negara (ASN) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang terlibat dalam dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) senilai Rp349 triliun. 

Ini adalah sebagian kecil dari data yang ada, namun perlu kita ketahui bahwa Keputusan Financial Action Task Force (FATF) tanggal 22 juni 2001 merupakan suatu kabar yang tidak menyenangkan bagi kita, sebagai bangsa Indonesia. Alasannya adalah FATF memasukkan negara Indonesia sebagai satu di antara 15 negara yang dianggap tidak kooperatif (non-cooperative countries and teritories/NCCT), dalam memberantas praktik pencucian uang (money laundering).  

Hasil keputusan FATF tersebut dapat disimpulkan bahwa negara Indonesia adalah salah satu surga di dunia bagi pemilik uang haram membersihkan uang hasil kejahatan, baik di dalam negeri maupun dari luar negeri. Dari peringkat opacity, Negara Indonesia mendapat pringkat 3 (tiga) sebagai tempat pencucian uang, dari Peringkat CPI (Corruption Perception Index) bernilai 88 (peringkat 2) dibawah Negeria dan diatas Rusia. 

Walaupun Berbagai regulasi yang diterbitkan Pemerintah yang berkaitan dengan Tindak Pidana Pencuang Uang (TPPU), namun dalam praktik masih terus terjadi dan meningkat, salah satu Tindak Pidana yang berhubungan langsung dengan TPPU yaitu TINDAK PIDANA KORUPSI.  

Hingga saat ini, TPPU masih menjadi MODUS UTAMA yang digunakan pelaku tindak pidana korupsi. Pelaku melakukan menyamarkan transaksi keuangan melalui rekening pihak lain agar praktik busuk tidak tercium. Korban PTTU dapat siapa saja, yakni orang per-orang, institusi (perbankan/keuangan) termasuk orang-orang dekat/keluarga. 
 

 *Koruptor Makin Canggih di Negeri Sekulerisme* 
Bukti koruptor makin canggih adalah sesuatu yang tak bisa kita pungkiri. Mulai dari orde lama, orde baru hingga orde reformasi maka Korupsi di Indonesia berkembang secara sistemik. Bagi banyak orang korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan sekadar suatu budaya dan kebiasaan. Dalam seluruh penelitian perbandingan korupsi antarnegara, Indonesia selalu menempati posisi paling tinggi. Wow.. makin canggih bukan? 

Menelisik lebih dalam terkait permasalahan TPPU – Korupsi yang merajalela --, nyatanya adalah dampak dari diterapkannya asas negara yang berupa sekulerisme. Percaya tidak percaya, maka kitapun menyaksikan asas inilah yang saat ini sedang diterapkan di negeri kita ini. 

Sekulerisme adalah suatu paham yang memisahkan secara sempurna segala urusan kehidupan dengan urusan agama. Hal ini berefek pada semua tatanan kehidupan akan diatur dengan aturan buatan manusia, tanpa adanya arahan Sang Pencipta, yang menciptakan manusia. 

Alih-alih ingin memberantas dan menindak tegas kasus TPPU, namun hal tersebut tidak akan tercapai jika sekulerisme tetap diterapkan. Karena kerusakan dari diterapkannya sekulerisme ini bersifat sistemik hingga memunculkan banyak kasus TPPU yang tak kunjung usai.  

Dalam sistem sekuler ini, Negara tak mampu bersikap tegas dan pengawasannya bersifat lemah karena asas maslahat lah yang dipakai, selama ada penawaran manfaat maka urusan tersebutlah yang diambil/dipilih. Alhasil koruptor makin canggih dengan sekulerisme, baik diposisi bawah maupun dikalangan pemerintahan pusat. 
 

 *Negara Selesaikan TPPU dengan Islam* 
Bukanlah sesuatu yang salah ketika kita bermimpi, apakah bisa kasus TPPU, korupsi dan lain-lain selesai dengan sempurna dan cepat?. Jawabannya tentu harus optimis, yaitu bisa. Namun yang jelas butuh seperangkat konsep yang berisi aturan-aturan. Dan aturan tersebutpun harus datang dari Sang Pencipta, Allah swt., yang memang telah mengsetting dengan sempurna terkait pengaturan kehidupan dunia. 

Islam menjadikan Aqidah sebagai landasan dalam setiap aktivitas seorang muslim. Tak peduli posisinya, apakah sebagai rakyat bawah atau sampai ke jajaran pegawai pemerintahan. Dengan landasan aqidah ini, maka akan menyadarkan seorang muslim untuk berhati-hati dalam menjalani aktivitasnya karena berkaitan urusan setelah kehidupan dunia, yaitu kehidupan akhirat ; surga dan neraka.  

Islam diturunkan Allah SWT adalah untuk dijadikan pedoman dalam menata kehidupan umat manusia. Baik dalam berkeluarga, bermasyarakat, dan bernegara. Tidak ada sisi yang tidak diatur oleh Islam. Aturan atau konsep itu bersifat mengikat bagi setiap orang yang mengaku muslim. Konsep Islam juga bersifat totalitas dan komprehensif, mengatur segala aspek kehidupan. Totalitasnya mengharuskan setiap pemeluknya berislam secara kaffah.  

Sebagaimana Allah SWT berfirman: _“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”_ 
 
Begitu pula dengan segala tindak kejahatan TPPU, korupsi dan ragam kasus lainnya, Allah swt telah mengharamkan bagi setiap pelakunya. Dan Allah memperingatkan dengan jelas, bagi pelaku tindak korupsi bukan termasuk orang beriman, dalam Q.S An-Nisaa: 29. 
 
Islam juga memiliki tindak represif untuk para pelanggar hukum dengan sanksi dan hukuman yang setimpal sesuai perbuatan. Yang pasti, penerapan hukuman Islam ini selain memiliki dimensi dunia, juga memiliki dimensi akhirat. Yakni akan memberi efek jera yang menjadi pencegah atas maraknya tindak pidana korupsi, sekaligus juga akan menjadi penebus dosa kelak di akhirat. 
 
Tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia saat ini masuk dalam kategori jarimah ta’zir. Walaupun hanya masuk ke dalam jenis jarimah ta’zir, namun bahaya dan dampak negatifnya bisa lebih besar daripada mencuri dan merampok. Dengan demikian, bentuk hukuman ta’zirnya dapat berupa pidana pemecatan, pidana penjara, pidana penjara seumur hidup, dan bahkan bisa berupa pidana mati. Untuk menindak pelaku korupsi, bisa juga diambil dari jarimah hirâbah. Tindak pidana ini disebutkan dalam QS. Al-Mâidah ayat 33 dengan sanksi hukuman mati, disalib, dipotong tangan dan kaki secara silang atau diasingkan, sebagai berikut:

 _“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.”_ 
 
Inilah mekanisme yang diberikan Islam dalam mencegah dan menghapus tindak korupsi hingga ke akar. Namun mekanisme ini tentu tak mungkin diterapkan sepanjang sistem politik pemerintahan yang diberlakukan adalah sistem Demokrasi. Penerapan sistem ini, butuh institusi pemerintahan yang disebut khilafah. Yakni sebuah institusi politik yang akan menerapkan sistem Islam secara kaffah dengan landasan ketaatan kepada Allah SWT. Korupsi merupakan problem sistemik yang menjamur dalam sistem pemerintahan saat ini, dan hanya sistem Islam/khilafah yang mampu atasi problem kronis korupsi.
 _Wallahu a’lam bishshawab._

Post a Comment

Previous Post Next Post