Tragedi Depo Plumpang, Wujud Abainya Negara Terhadap Keselamatan Rakyat

Oleh: Nanggi Q. Febriana 

Kebakaran hebat di Depo Pertamina Plumpang, Jalan Tanah Merah Bawah, Kelurahan Rawa Badak Selatan, Kecamatan Koja, Jakarta Utara, terjadi pada jumat (03/03/2023) malam. Api pertama kali muncul pada pukul 20.11 WIB berasal dari ledakan pada bahan bakar minyak (BBM) di area depo. Sementara ini, belum diketahui secara pasti penyebab dari terjadinya kebakaran tersebut (kompas.tv, 09/03/2023). 


Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengungkapkan korban meninggal kebakaran Depo Plumpang, Jakarta Utara menjadi 25 orang per Kamis (16/3). Ia juga mengungkapkan saat ini masih ada 21 orang yang tengah dalam perawatan di rumah sakit (cnnindonesia.com, 16/03/2023). 


Peristiwa ini tidak hanya kali ini terjadi. Pada 2009 lalu pernah terjadi kebakaran di Depo Plumpang juga, hal ini disebabkan adanya gesekan pada saat penyaluran bahan bakar yang menyebaban timbulnya percikan api yang membakar tangki BBM. Juga peristiwa kebakaran di area Kilang Pertamina di Cilacap, Jawa Tengah, yang setidaknya telah terjadi tujuh kali sejak 1995. Demikian halnya peristiwa kebakaran tangki penyimpan BBM milik Pertamina di Desa Balongan, Kecamatan Balongan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat pada Maret 2021 yang menyebabkan sejumlah orang luka-luka.


Banyaknya korban pada saat terjadi peristiwa kebakaran tersebut disebabkan kawasan penyimpanan BBM yang seharusnya steril dengan perumahan warga justru dibiarkan terus berkembang dan dilegalisasi dengan pembentukan RT RW dan pemberian KTP. Padahal menurut pendapat pengamat tata kota Universitas Trisakti Jakarta, Yayat Supriatna, Depo Plumpang yang dibangun pada 1974 kala itu kawasan Jakarta tidak sepadat sekarang. Ia mempertanyakan siapa yang memberikan izin membangun pemukiman di kawasan yang seharusnya tidak menjadi pemukiman penduduk bahkan difasilitasi air jalan dan listrik. 


Dari peristiwa ini dapat dilihat ada kesalahan tata kelola kependudukan, serta abainya negara terhadap keselamatan warganya. Padahal, sejak adanya peristiwa kebakaran pada tahun-tahun sebelumnya telah banyak pihak yang memperingatkan akan bahaya menaruh depo BBM di dekat pemukiman warga. Namun, hingga sekarang belum ada upaya tegas untuk menangani masalah ini. Bahkan fakta pemukiman semakin meluas dengan jarak pemukiman dengan tembok pembatas depo pun hanya 20 meter. 


Hal tersebut lumrah terjadi dalam tata kelola negara yang menerapkan sistem Kapitalisme. Dalam sistem Kapitalisme, negara berlepas tangan dari tugasnya sebagai penjamin kebutuhan dan keamanan rakyat. Rakyat harus berjuang sendiri mememenuhi kebutuhannya, terlebih di kota besar warga dengan tingkat ekonomi rendah kesulitan memenuhi kebutuhan tempat tinggal yang layak dan aman. Hal ini disebabkan tata kelola negara dengan asas kapitalisme yang hanya mengedepankan keuntungan materi bukan keselamatan warga. Lahan-lahan yang seharusnya disediakan negara untuk warga justru dikuasai oleh pengusaha yang ingin mendapatkan keuntungan dengan membangun apartemen ataupun hunian layak tinggal yang tentu hanya bisa dihuni oleh kalangan tertentu. Sementara, untuk warga yang tidak mampu terpaksa tinggal di tempat yang tidak layak seperti di bawah kolong jembatan atau di tempat-tempat yang tidak aman seperti dekat dengan Depo Pertamina. 


Inilah gambaran tata kelola dalam sistem Kapitalisme yang minim mengutamakan keselamatan rakyat. Hal ini berbeda dengan negara yang menganut sistem pengaturan Islam. Dalam mengurus kebutuhan rakyat, negara diposisikan sebagai pelayan umat, sehingga negara tidak akan mengambil keuntungan sedikitpun dari rakyatnya. Negara akan mengutamakan keselamatan warganya dengan menyiapkan rancangan tata ruang wilayah yang berdasarkan aspek kemaslahatan dan dari sisi sains. 


Negara akan memerintahkan para ahli untuk memetakan beberapa jenis lahan. Lahan subur akan dijadikan sebagai lahan pertanian maupun perkebunan. Sedangkan untuk lahan yang kurang subur diperuntukan sebagai kawasan pemukiman dan industri, serta nantinya diatur agar wilayah pemukiman dan industri ada area buffer sebagai area penjaga antara pemukiman dan industri. Negara juga menetapkan sanksi bagi yang melanggar ketentuan tersebut, sehingga dari konsep ini mampu meminimalisir kejadian seperti di Depo Pertamina Plumpang.


Bukti kehebatan tata kelola Khilafah adalah kawasan tata kelola di wilayah Cordoba. Kota Cordoba terbagi menjadi tiga bagian yakni pusat kota, pinggir kota, dan luar kota. Pusat kota adalah tempat untuk kantor-kantor pemerintahan dan masjid pusat. Tujuannya agar masyarakat mudah menjangkau dan mengurus keperluannya. Di tengah kota terkonsentrasi sentra-sentra perdagangan seperti pasar perhiasan, kerajinan, toko buku, rempah-rempah, parfum dan masih banyak lagi. Selain adanya pasar perniagaan dan kegiatan sosial juga berlangsung di ruas jalan tertentu atau pelataran. Area pinggir kota adalah area permukiman yang dibangun dengan sistem blog yang terdiri dari 8 sampai 10 rumah mirip seperti Cluster Perumahan modern saat ini. Jalan-jalan pemukiman juga dibangun mengikuti kontur alam untuk memudahkan sistem drainase.


Tata kota seperti ini adalah wujud fisik ketika sebuah negara dalam menjaga nyawa manusia dan penjamin urutan masyarakat sebuah sistem tata kota yang tidak akan bisa diwujudkan oleh sistem Kapitalisme.

Wallahu a'lam bishawab

Post a Comment

Previous Post Next Post