Tragedi Depo Plumpang Akibat Buruknya Tata Ruang/Kota Sistem Kapitalisme


Oleh : Rosi Kuriyah
( Muslimah Peduli Umat )

Kebakaran besar terulang kembali di Depo Pertamina, Jalan Tanah Merah , Kelurahan Rawa Badak Selatan, Kecamatan Koja, Jakarta Utara, pada Jumat ( 3 Maret 2023 ) terjadi malam hari pukul 20.11WIB  dimana api pertama kali muncul berasal dari ledakan pipa bahan bakar minyak (BBM) di area depo. Banyak masyarakat sekitar menjadi  korban kebakaran ada yg luka- luka bahkan meninggal.

Kebakaran sebelumnya pernah terjadi tahun 2009 . Ketika itu, berbagai pihak telah memperingatkan akan bahaya menyimpan depo BBM di sekitar pemukiman warga.
Depo Plumpang merupakan satu objek strategi milik Pertamina yang memasok sekitar 20% kebutuhan BBM harian dan telah beroperasi sejak 1974.

Terjadi kebakaran di depo Pertamina Plumpang ini adalah suatu musibah, yang terjadi di fasilitas strategis milik Pertamina hal ini menunjukkan bahwa penguasa kurang memperhatikan aspek keselamatan warga. 
Semestinya posisi fasilitas seperti ini tidak dekat dengan pemukiman, apalagi dikelilingi oleh padatnya penduduk. Begitu juga dengan sistem peralatan di dalam fasilitas tersebut, aspek eror dan kecelakaan harus diminimalkan sehingga tragedi kebakaran tidak akan terulang kembali.

Melihat dari letak kotanya, Rawa Badak adalah tempat yang cukup populer di dekat Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Dahulunya Rawa Badak adalah rawa-rawa yang luas, kemudian diuruk sehingga tanahnya kering dan layak dibangun rumah bagi warga sekitar. Namun, awalnya asal wilayah ini berupa perairan sehingga secara lahan seharusnya tidak layak untuk dijadikan pemukiman warga.

Pada tahun 1974 ketika Depo Plumpang dibangun kawasan Jakarta tidak sepadat dan seramai sekarang. Dulu masih bersih dari kawasan pemukiman, bahkan ada aset tanah  yang diklaim milik Pertamina. Hanya 20 meter jarak pemukiman dengan tembok pembatas depo. Seharusnya, ukuran tangki BBM yang makin besar diikuti dengan jarak yang makin jauh dari rumah warga.
Namun sekarang yang harus dipertanyakan adanya pihak-pihak yang memberi ijin merekomendasikan kawasan sekitar depo menjadi pemukiman. Ditambah adanya isu sengketa tanah, persoalan kawasan di luar Depo Plumpang adalah kewenangan pengadilan dan keputusan Pemprov DKI.

Namun kenyataannya kawasan Depo Plumpang berkembang menjadi pemukiman kumuh dan tidak tertata , justru difasilitasi air, jalan dan listrik sehingga semakin rumit masalahnya. Sehingga tak heran terjadi kesalahan besar dari  peristiwa  kebakaran  Depo Plumpang adalah zona yang seharusnya dilindungi dari pemukiman malah terjadi banyak pelanggaran fungsi kawasan.

Dengan berkembangnya industri, kepadatan penduduk di sekita Depo Plumpang juga makin meningkat. Bahkan, ada satu RW yang asalnya 7 RT berkembang menjadi 11 RT, otomatis warganya harus memiliki KTP.
Ini menunjukkan buruknya tata kelola kependudukan berdasarkan tempat tinggal.Warga bukan hanya butuh KTP tapi harus ada aspek ekologis yang menjadi pertimbangan terkait layak atau tidaknya kawasan untuk dijadikan pemukiman.

Daerah yang asal mulanya rawa tidak boleh dijadikan pemukiman dan warga yang mau tinggal disana juga tidak mesti diberi ijin tinggal di daerah tersebut. Daerah rawa menurut peran ekologisnya merupakan daerah yang dapat dijadikan daerah penyangga resapan air saat musim hujan.
Inilah pemetaan wilayah dan tata ruang kota di suatu negara yang  diterapkan sistem kapitalisme dalam kehidupan. Pembangunan kawasan industri hanya diprioritaskan keuntungan  bagi para pemilik modal, rakyat kecil yang jadi korban akibat salah kelola tata ruang/kota.

Dalam hal pemetaan wilayah dan tata ruang kota di suatu negara harusnya tidak hanya fokus pada kawasan industri dan pemukiman. Ada juga kawasan yang harus diperhatikan fungsi ekologisnya sehingga musibah kecelakaan  atau bencana alam dan dampaknya dapat diminimalisir.

Oleh karena itu, motivasi terbesar pada pengelolaan tata ruang dan wilayah harus dilandasi pijakan yang sahih jadi tidak menyasar sekedar bermanfaat bagi para kapitalis pengembang.

Maka dari itu titik penting aspek ideologis untuk menjadi arah pandang dalam pembangunan infrastruktur dan perencanaan tata ruang/kota.
Kapitalisme jelas bukan solusi tepat karena jumlah artefak kapitalisasi di Jakarta sudah lebih dari cukup untuk kita saksikan.
Oleh karena itu sudah seharusnya kita mulai pada penerapan ideologi Islam dalam rangka merencanakan tata ruang/kota, seperti yang dicontohkan Khilafah berhasil memvisualisasikan peradaban gemilang selama 13 abad dengan banyak berdirinya bangunan peninggalan yang mampu berfungsi hingga jangka panjang.

Dalam aturan Islam , wujud pemenuhan kebutuhan primer manusia  adalah kawasan pemukiman harus layak. Target utama penguasa ketika dalam penyelenggaraan suatu pemukiman adalah keselamatan rakyatnya.

Letak pemukiman rakyat tidak boleh berdekatan dengan kawasan industri, pabrik maupun pertambangan.
Melainkan pemukiman harus berdekatan dengan kawasan peribadatan, pendidikan, ekonomi masyarakat dan pusat-pusat pemerintahan, baik di pusat maupun di pedesaan. Oleh karena itu kondisi ini membutuhkan sistem infrastruktur dan transportasi yang memadai, bukan yang pembangunannya hanya untuk gengsi dan reputasi.

Rasulullah saw, bersabda, " Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain, maka Allah akan membalas bahaya kepadanya dan barang siapa menyusahkan atau menyulitkan orang lain, maka Allah akan menyulitkannya." (HR Al-Hakim dan Baihaqi).

Demikianlah tragedi kebakaran Depo Pertamina Plumpang wujud abainya Penguasa dalam hal pemukiman yang aman dan jaminan kesehatan penghuninya. Hal ini terlihat nyata bagaimana kentalnya kepentingan kapitalistik dalam pembangunan tata ruang/ kota.

Sudah saatnya kita merujuk pada aturan Islam secara kaffah yang dapat memperhatikan kesejahteraan rakyat dalam seluruh aspek kehidupan termasuk dalam hal pemenuhan pemukiman rakyat dalam pembangunan tata ruang/kota sehingga tidak akan terjadi lagi tragedi  kebakaran seperti di Depo Pertamina Plumpang.
Wallahu'alam bishshawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post