Nasib Buruh Semakin Malang Dalam Ideologi Kapitalisme


Oleh : Hj Padliyati Siregar ST

Rancangan Undang-Undang atau RUU Omnibus Law Cipta Kerja resmi disahkan DPR menjadi Undang-Undang (UU) pada rapat paripurna, Senin (5/10/2020).  RUU Cipta Kerja merupakan RUU yang diusulkan Presiden Joko Widodo ( Jokowi) dan merupakan bagian dari RUU Prioritas Tahun 2020 dalam Program Legislasi Nasional Tahun 2020.

Istilah omnibus law pertama kali muncul dalam pidato pertama Joko Widodo setelah dilantik sebagai Presiden RI untuk kedua kalinya, Minggu (20/10/2019). Perjalanan Undang-Undang Omnibus Law tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker)usulan pemerintah sudah memulai perjalanannnya sejak 17 Desember 2019.

Presiden Jokowi mengirimkan draf RUU Cipta Kerja kepada DPR pada 7 Februari 2020. Sebagai informasi, pemerintah menyusun 11 klaster pembahasan dalam draf RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. RUU ini baru mulai dibahas DPR pada 2 April 2020 dalam Rapat Paripurna ke-13.

Rapat konsultasi pengganti Badan Musyawarah (Bamus) DPR menyerahkan pembahasan RUU Ciptaker pada Badan Legislasi (Baleg) DPR. Baleg DPR membentuk Panitia Kerja (Panja) RUU Ciptaker pada 14 April 2020, yang terdiri atas 35 orang anggota dan lima orang pimpinan Baleg DPR.

Panja RUU Ciptaker memulai kerjanya pada 27 April dengan mengundang sejumlah ahli, pakar dan akademisi terkait, serta stakeholder yang terkait dengan RUU Ciptaker, termasuk dari asosiasi-asosiasi profesi, pengusaha dan juga serikat buruh.
Pembahasan DIM dilakukan oleh Panitia Kerja (Panja) secara detail dan intensif mulai dari tanggal 20 Mei sampai dengan 3 Oktober 2020 atau 3 masa sidang DPR.

UU Ciptaker dikebut dalam 64 kali rapat, dua kali rapat kerja, 56 kali rapat Panja, dan enam kali Rapat Timus/Timsin. Akhirnya, RUU Cipta Kerja disahkan dalam Rapat Paripurna pengesahan pada Senin, 5 Oktober.

Disahkannya UU ini mengindikasikan aspirasi rakyat tak berlaku. Meski mayoritas rakyat menolak, toh tetap disahkan juga. Pertanyaannya, wakil rakyat itu sesungguhnya mewakili siapa? Suara rakyat hanya dibutuhkan saat pemilu. Setelah menang, mereka acuh tak acuh. Rakyat tak didengar, UU tetap melenggang.
 
Demokrasi yang katanya pemerintahan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, nyatanya “dari kapital, oleh kapital, dan untuk kapital”. Rapat baleg atau paripurna DPR lebih mirip drama yang dipertontonkan seolah mereka bicara atas nama rakyat. Praktiknya, mereka bicara atas nama kepentingan oligarki dan partainya sendiri.
 
UU Cipta Kerja adalah produk nyata perselingkuhan penguasa, pengusaha, dan oligarki kekuasaan. Rakyat menjadi tumbal keserakahan kapitalis. Undang-undang dibuat hanya untuk memenuhi kehendak kapitalis.

Di mana sebelumnya RUU ini dinilai menghilangkan hak pekerja dan memberi angin segar bagi pelaku usaha. Di antara pasal kontroversi tersebut ialah penghapusan Upah Minimum Kota/Kabupaten sebagai dasar upah minimum pekerja; peningkatan waktu kerja lembur yang dianggap sebagi bentuk eksploitasi pada pekerja; pengurangan nilai pesangon; perjanjian kerja waktu tertentu yang terus diperpanjang alias kontrak seumur hidup; ketentuan cuti, dan sejumlah pasal lain yang mengabaikan hak pekerja, lingkungan hidup, dan partisipasi publik sebagai check and balance bagi pemerintah.

Problem buruh yang mengakar dan seolah tidak pernah kelar adalah soal upah. Sebab, sejak awal penetapan upah minimum sudah salah. Dalam kapitalisme, upah buruh ditetapkan berdasarkan kebutuhan hidup minimum yang biasa disebut dengan kebutuhan hidup layak (KHL). KHL adalah standar kebutuhan seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak secara fisik dalam satu bulan. KHL inilah yang menjadi dasar penetapan upah minimum bagi buruh.
 
KHL disesuaikan setiap tahun dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi, yaitu berjalan sesuai tingkat inflasi nasional. KHL terdiri dari beberapa komponen kebutuhan hidup yang amat sederhana dan cukup untuk memenuhi standar hidup paling minimal dari masyarakat.
 
Dengan penetapan seperti ini, upah buruh tidak akan memberikan keadilan dan kesejahteraan hidup. Meski mendapat upah tinggi, itu hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sebab, di wilayah yang taraf hidupnya tinggi, upah tinggi belum menjamin kesejahteraan hidup. Boleh jadi pendapatan tinggi, tetapi pengeluaran juga tinggi karena harga barang dan jasa lebih mahal daripada wilayah yang taraf hidupnya rendah.
 
Inilah problem mendasar pengupahan dalam sistem kapitalisme. Penetapan upah tidak berdasarkan manfaat tenaga atau jasa yang ia berikan kepada masyarakat. Dalam pandangan kapitalisme, penetapan upah adalah berdasarkan perhitungan kebutuhan hidup paling minim bagi setiap individu.
 
Sejatinya, besaran upah bisa berbeda-beda sesuai jasa yang pekerja berikan, jenis pekerjaan, waktu bekerja, dan tempat bekerja, tidak dikaitkan dengan standar hidup minimum masyarakat. Pekerja yang profesional/mahir di bidangnya wajar mendapatkan upah lebih tinggi dibandingkan pekerja pemula.
 
Sekalipun pekerjaan dan kemampuan sama, tetapi waktu dan tempat bekerja berbeda, upah yang diberikan seharusnya juga akan berbeda. Semisal tukang gali sumur di tempat yang tanahnya keras mestinya mendapat upah lebih besar dibanding dengan pekerja yang menggali sumur di tanah yang lunak.

Upah dalam Islam

Doktrin sistem ekonomi kapitalisme menjadikan KFM sebagai dasar perhitungan upah. Begitu pun doktrin sistem sosialisme yang menghitung upah berdasarkan nilai barang yang diproduksi. Kedua sudut pandang ini batil karena tidak menjadikan manusia sebagai fokus permasalahannya. Akhirnya, permasalahan ekonomi—termasuk pengupahan—tidak kunjung selesai.
 
Berbeda secara diametral dengan Islam. Dalam pandangan sistem ekonomi Islam, perhitungan upah harus berdasarkan manfaat yang pekerja berikan kepada yang mempekerjakannya. Penentuan upah tidak akan berkaitan dengan tinggi rendahnya nilai barang atau laku tidaknya penjualan dari barang tersebut.

Baca juga:  Omnibus Law RUU Cipta Kerja Zalim pada Buruh

Meskipun produknya tidak laku atau produk barangnya bernilai rendah, ketika seorang pekerja sudah memberikan manfaatnya pada majikan, majikan itu wajib membayar upah pekerja tersebut. Jika tidak, majikan tersebut akan menjadi musuh Allah Swt. di akhirat. Dari sini saja akan lahir para majikan yang sangat memperhatikan hak pekerjanya.

Islam Menyejahterakan

Pakar ekonomi syariah Dwi Chondro, Ph.D. menjelaskan definisi ketenagakerjaan dalam fikih adalah ijaratul ajir atau ijarah. Definisi syar’i “ijarah” menurut Syekh Taqiyuddin an-Nabhani adalah akad atas suatu manfaat dengan imbalan atau upah. Dengan demikian, yang menjadi fokus dari ijarah adalah manfaat. Adanya manfaat yang seseorang berikan kepada orang lain itulah yang mengharuskan balasan yang berupa imbalan.
 
Islam mengatur bahwa upah harus sepadan dengan manfaat yang pekerja berikan. Hal ini menjadikan posisi pekerja dan majikan setara. Berbeda dengan sistem kapitalisme yang menjadikan para pekerja hanya sebatas faktor produksi sehingga mereka tidak setara. Jika tidak setara, inilah yang memicu ketakadilan.
 
Selain itu, dalam Islam, bukan hanya pekerja yang untung, para majikan pun akan mendulang manfaat dari produktivitas para pekerjanya karena upahnya sepadan dengan usaha yang ia lakukan.
 
Oleh karena itu, dari sistem Islam terkait pengupahan saja akan lahir pekerja dengan etos kerja yang tinggi dan majikan yang sangat memperhatikan hak pekerjanya. Inilah yang memajukan ekonomi bangsa dan pada gilirannya akan menyejahterakan semua warga.

Post a Comment

Previous Post Next Post