Konten Demi EKSISTENSI, Wujud Rendahnya TARAF BERPIKIR Generasi

Oleh: Farihan Almajriti 

Belum lama ini dunia maya digemparkan dengan insiden wanita (21 tahun) di Bogor yang bercanda membuat konten bunuh diri dengan menggantung diri dengan kain melilit di lehernya dan ditonton secara tak langsung oleh rekan-rekannya melalui video call, tapi naasnya malah mati beneran (CNNIndonesia, 03/03/2023). Innalillahi. Inilah potret hidup masyarakat pada zaman ini, untuk memenuhi tuntutan hidup atau untuk mendapat pengakuan dari orang lain dengan sukarela melakukan berbagai macam hal bahkan hal yang tak wajar. Dari yang unik sampai mengusik, dari hal remeh sampai nyeleneh. Contohnya kasus bikin konten malah berujung ajal, niatnya bercanda malah nge-list nyawa ke malaikat, mati sia-sia demi membuat konten unfaedah di dunia. Demi mengejar eksistensi dan tarif konten, akal hingga rasa malu pun digadai. Hal ini menjadi wujud rendahnya taraf berpikir generasi. Ada apa dengan generasi kita saat ini?


Dahulu, untuk mendapatkan uang seseorang harus pergi kerja lalu digaji, berbeda dengan sekarang tinggal bilang “kamu nanyeaa?” pun bisa mendapatkan uang. Atau dengan coba-coba bunuh diri, cukup bikin konten sensasional, tag sana-sini, terus viral, kemudian terkenal. Inilah yang dikatakan the power of media sosial yang menjadi platform paling banyak disukai dan diminati banyak orang. Tidak heran hari ini eksistensi diri menjadi hal yang diprioritaskan. Kemajuan media membuat hal tersebut menjadi lebih mudah. Jadilah unjuk eksistensi dengan berbagai konten, bahkan termasuk dengan cara yang membahayakan jiwa atau berlagak kaya. Konten-konten yang dibuat tidak lagi distandarkan dengan halal dan haram, etika dan norma pun tidak diindahkan. Hal-hal yang seharusnya tidak diceritakan atau dilihat, malah diumbar bahkan dalam perkara aktivitas seksual yang seharusnya menjadi aib pribadi. Hanya untuk mencari eksistensi di dunia maya, atau yang biasa disebut gejala flexing, yakni kebiasaan seseorang untuk memamerkan apa yang dimilikinya di media sosial untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain. Biasanya orang-orang melakukan flexing bertujuan untuk menarik lawan jenis atau tekanan dan persaingan sosial karena tuntutan gaya hidup dari lingkungan sekitar.


Inilah akibat dari penerapan Sistem Sekuler Kapitalistik, semua hal bersifat serba materialistik dan mengajarkan manusia untuk hidup semaunya tanpa melihat etika dan norma, tanpa peduli standar agamanya. Dengan kehidupan sekarang yang dicirikan budaya hidup hedonis, masyarakat terutama generasi muda terkadang tidak bisa berpikir jernih. Potret generasi muda hanya tahu hidup untuk bersenang-senang dan bahagia menurut standar manusia. Perilaku ini sejatinya adalah perilaku rendah, yang  muncul dari  taraf berpikir yang rendah pula. Budaya ini menunjukkan ada yang salah dalam kehidupan ini. Sungguh miris, generasi muda tidak lagi menggambarkan generasi muda. Sungguh sangat merugikan, padahal generasi muda adalah aset berharga bagi negara. Jiwa-jiwa muda seharusnya diberdayakan untuk membangun peradaban, bukannya merusak peradaban. Lalu dimana peran negara?


Sungguh sangat disayangkan, negara malah berkiblat kepada sistem kapitalistik yang dalam hal ini tidak maksimal dalam melakukan peran strategisnya. Malah menjerumuskan generasi muda dalam budaya flexing, membajak potensi pemuda dengan pemberdayaan ekonomi yang semu. Entah pemuda memanfaatkan media sosial untuk mendapatkan uang dengan membuat konten unfaedah pun merusak generasi selanjutnya, negara lepas tangan, belum ada penyaringan yang ketat terhadap konten-konten yang unfaedah tersebut. Dan ini tentulah hasil dari sistem kehidupan yang diyakini masyarakat dalam seluruh aspeknya. Sistem hari ini gagal menunjukkan kemuliaan manusia melalui ketinggian taraf berpikirnya. Negara gagal melahirkan sosok individu berilmu tinggi. Lalu, bagaimana pandangan Islam tentang peran negara dalam membina pemuda?


Seperti yang kita sudah ketahui bersama bahwa agama Islam dapat mengatur seluruh aspek kehidupan. Sangat dipahami oleh Islam bahwa generasi muda merupakan aset peradaban suatu negara. Maka dari itu, Islam memberi perhatian lebih terhadap generasi muda, yaitu dengan mendidik dan membina mereka menjadi generasi yang bertakwa, cerdas, mulia, dan berkepribadian Islam karena berperan sebagai pemimpin perubahan. Bagaimana cara Islam membina generasi? Yaitu dengan cara-cara seperti, pertama menerapkan Sistem Pendidikan Islam yang bertujuan untuk menghasilkan anak didik yang berkepribadian Islam.


Kedua, negara menjadi fasilitator dalam menunjang fasilitas belajar maupun tenaga pengajar yang mumpuni agar generasi muda mampu mengembangkan diri di berbagai bidang ilmu. Dimana, pemudanya tidak hanya akan cerdas dalam ilmu dunia tetapi juga ilmu akhirat. Ketiga, menyaring berbagai konten dan tayangan yang dapat merusak pemikiran Islam dalam diri pemuda, dengan membuat konten dan tayangan yang edukatif, mengajak amar makruf nahi mungkar, bahkan dengan membuat aplikasi yang memudahkan masyarakat mengenal dan memahami Islam dengan lebih mudah. Keempat, memberdayakan berbagai potensi pemuda dengan membentuk mereka menjadi mujahid yang siap berjihad dijalan Allah SWT (Muslimahnews, 08/03/2023). Akan tetapi, cara-cara ini tidak bisa berjalan dengan semestinya jika negara masih menganut sistem selain Islam, hanya negara yang menganut sistem Islam-lah yang akan dengan mudahnya merealisasikannya yaitu dengan sistem Khilafah. Karena hanya dengan Islam-lah generasi muda disiapkan sebagai pemimpin peradaban dan kebangkitan Islam.

Wallaahu a’lam.

Post a Comment

Previous Post Next Post