Keluarga Flexing Pejabat Di Non-aktifkan

Riza Maries Rachmawati 

Maraknya budaya flexing (pamer) dikalangan para pejabat menjadi sorotan masyarakat saat ini. Membuat masyarakat kompak mencari sumber kekayaan, hingga laporan kekayaan para pejabat. Bermula dari kasus anak eks pejabat pajak RAT yang kemudian merembet pada gaya hidup mewah yang kerap dipamerkan oleh istri dan anaknya di media sosial. Warganet dibuat geram dengan kasus tersebut dan mulai menyoroti harta tak wajar pebajabat lainnya. Kepala Bea Cukai Yogyakarta ED juga jadi sorotan publik lantaran sering memamerkan gaya hidup di media sosial. Kepala Sub Bagian Administrasi Kendaraan Biro Umum ERA disorot gaya hidup mewah istrinya yang memamerkan struk pembelian mobil mewah berwarna kuning. SH sebagai Kepala BPN Jakarta Timur menjadi buah bibir setelah sang istri sering pamer kemewahan.

Imbas dari gaya hidup mewah yang sering diumbar oleh pejabat dan keluarganya adalah para pejabat tersebut harus rela dicopot dari jabatannya bahkan dipecat dari instansi tempat mereka bekerja. Meski harusnya diproses sesuai hukum darimana perolehan harta sebesar itu. Seharusnya ada upaya tegas penguasa kepada para pegawai yang diduga memiliki harta tidak wajar ketika awal menjabat dan saat menjabat. Namun kepemimpinan ala sekuler kapitalisme yang hanya mengedapankan orientasi capaian materi membuat para penguasan bersikap reaksioner mengatasi masalah tersebut. Mereka memutuskan menonaktifkan para pejabat yang dirinya maupun keluarganya melakukan flexing. Tentu keputusan ini terasa aneh, bisa jadi keputusan ini diambil untuk menjaga citra penguasa agar terlihat seolah mereka bergerak cepat dan berusaha menindak pegawainya yang menyeleweng. Padahal tindakan yang seharusnya dilakukan ialah memeriksa sumber keuangannya. Jika memang berasal dari hasil yang haram, baru diputuskan hukumannya.

Fakta keluarga pejabat flexing ini semakin membuktikan bahwa para pejabat dalam sistem sekuler kapitalisme miskin akhlak. Dikala masyarakat hidup dalam kesusahan, mereka justru berlomba-lomba meraup kekayaan dengan memanfaatkan jabatan mereka. Kekayaan tersebut bisa mereka peroleh baik melalui korupsi, pencucian uang, suap dan lain sebagainya. Kehidupan yang mereka tampillkan pun melukai hati rakyat. Mereka memamerkan harta kekayaan yang mereka miliki, sementara di luar sana masih banyak warga yang mati karena kelaparan. Sungguh kondisi ini sangat miris.

Dalam sistem kehidupan Islam, seandainya didapati ada pejabat yang korupsi dan hal tersebut menjadikan memiliki harta yang melimpah ruah. Negara Islam memiliki mekanisme khas untuk mengatasinya. Islam tidak melarang individu termasuk pejabat negara menjadi orang kaya. Tentu kekayaan yang berasal dari transaksi muamalah yang halal. Meski kaya secara halal, sebagai publik pigur seharusnya para pejabat menjadi teladan untuk hidup sederhana. 

Untuk mengetahui apakah pejabat dalam instansi pemerintahan melakukan kecurangan atau tidak. Maka ada pengawasan ketat dari Badan Pengawasan/ Pemeriksa Keuangan. Hal tersebut dijelaskan oleh Syaikh Abdul Qodim Zallum dalam kitabnya Al Amwal fi Daulah Khilfah. Pada masa Khalifah Umar bin Khatab, beliau pernah mengangangkat pengawas yaitu Muhammad bin Maslamah yang bertugas mengawasi kekayaan para pejabat. Petugas atau badan ini akan melakukan pembuktian terbalik kepada para pejabat atau pihak siapa pun yang diduga melakukan tindak korupsi. Pembuktian terbalik adalah menghitung kekayaan pejabat di awal dan diakhir jabatannya. Bila terdapat kenaikan tidak wajar  pejabat yang bersangkutan diminta membuktikan sendiri bahwa kekayaan yang dimilikinya diperoleh dengan cara yang halal. Jika pelaku tidak sanggup membuktikan harta kekayaan tersebut, maka kelebihan harta itu termasuk harta ghulul yang wajib diberikan kepada Baitul Mal pos kepemilikan negara.

Rosulullah Saw bersabda: “Siapa saja yang kami angkat untuk satu tugas dan telah kami tetapkan pemberian (gaji) untuk dia maka apa yang dia ambil setelah itu adalah harta ghulul”. (HR Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim). Tak hanya itu pelaku korupsi akan mendapat sanksi ta’zir karena telah merugikan negara. Hukuman dapat berupa tasyhir (pewartaan/ekspos), denda, penjara yang lama bahkan bisa sampai hukuman mati. Vonis ini disesuaikan dengan tingkat dan dampak korupsinya. Begitulah sistem Islam menindak para koruptor yang bernafsu mengejar harta kekayaan demi memuaskan gaya hidup hedon mereka.

Wallahu’alam bi shawab

Post a Comment

Previous Post Next Post