Kasus TBC Kian Meningkat, Perlu Solusi Tepat



Oleh Putri Ayu Wulandari
(Pemerhati Masalah Publik)

Kasus TBC hingga saat ini masih terus menghantui, bahkan angkatnya kian meningkat drastis. Indonesia pun dinyatakan menduduki peringkat kedua di dunia. Hal tersebut berdasarkan data hasil rilis Kementerian Kesehatan (Kemenkes),  jumlah kasus penyakit tuberkulosis (TBC) yaitu 969.000 kasus dan incidence rate 354/100.000 penduduk (cnnIndonesia,18/03/2023).

Melonjaknya kasus TBC ini bukanlah tanpa sebab, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Kemenkes Imran Pambudi menilai kenaikan  kasus TBC ini terjadi lantaran banyak orang tua yang tidak memahami gejala TBC atau tidak segera mengobati penyakitnya, sehingga berakibat penularan pada kelompok rentan seperti anak-anak. Kasus TBC anak memang mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Dari 2021 ada 42.187, kemudian 2022 ketemu 100.726, jadi ini naik lebih dari 200 persen.

Mengutip pikiran.rakyat(13/03/2023), tercatat sepanjang tahun 2022, kasus TBC ditemukan sebanyak 4.294 kasus di Kota Cimahi. Angka ini meningkat 106% dibandingkan tahun sebelumnya. Penyakit TBC tak hanya berdampak pada aspek kesehatan saja, namun juga pada aspek sosial dan ekonomi masyarakat termasuk stanting. Olehnya itu penyakit TBC harus ditangani dengan serius

Berbagai upaya memang telah dilakukan oleh pemerintah untuk menanggulangi kasus ini. Misalnya  pemerintah meluncurkan kebijakan yang tertuang dalam Perpres no 62 tahun 2021 tentang penanggulangan TBC, yang mana dalam Perpres tersebut bertujuan untuk mempercepat penanggulangan TBC dan sebagai wujud nyata komitmen untuk mencapai target eliminasi TBC pada tahun 2023.

Namun nyatanya upaya tersebut tidak membuahkan hasil, terbukti dengan semakin meningkatnya kasus TBC sehingga Indonesia menempati peringkat kedua di dunia untuk kasus TBC terbanyak.

Jika ditelisik, kenaikan TBC yang kian melambung tinggi tiap tahunnya menggambar kurangnya upaya pemerintah dalam hal melakukan pencegahan, buruknya higiene dan sanitasi, kegagalan pengobatan, serta rendahnya pengetahuan dan lemahnya edukasi pemerintah dari sistem kesehatan dan pendidikan mengenai bahaya penyakit menular, seperti TBC kepada masyarakat. Sehingga, apapun usaha yang dilakukan oleh penguasa jika tidak menyentuh akar masalah di atas, maka kasus TBC tidak kunjung teratasi. Bahkan, jika pemerintah telah menggandeng ormas masyarakat, pun bekerjasama dengan berbagai negara internasional,  seperti Amerika, Uni Emirat Arab, bahkan WHO.

Selain itu, patut dipahami juga bahwa akar masalah utama meningkatnya kasus TBC yakni sistem kapitalisme. Sistem ini telah membuat negara berlepas tangung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat, mulai dari sandang, pangan, papan hingga kebutuhan pokok, seperti kesehatan, pendidikan, dll. Pemenuhan gizi yang kurang oleh sebagian masyarakat yang kesusahan untuk mencari makanan, maka mengakibatkan kasus stunting juga tinggi yang juga berakibat melonjaknya kasus TBC.

Selain itu juga, kasus tersebut kian menunjukkan betapa lemah dan jahatnya sistem sekuler-kapitalis yang menjadikan kesehatan sebagai objek komersialisasi. Karena jamak disadari, jika saat ini sistem kesehatan telah dikapitalisasi atau dikomersialisasi oleh penguasa. Suatu bentuk tanggung jawab yang harusnya dipenuhi oleh negara kepada rakyat, namun justru semua itu diserahkan oleh asing/swasta dan dijadikan ajang bisnis. Oleh karena itu, kasus TBC tidak akan pernah usai selama negeri ini menggunakan sistem kapitalisme.

Hal ini berbeda manakala menerapkan Islam sebagai agama yang sempurna yang berasal dari sang Pencipta. Islam terbukti mampu menyelesaikan berbagai persoalan manusia, tidak terkecuali dalam masalah kesehatan (TBC). Islam telah menetapkan bahwa negara sebagai pengurus rakyat, termasuk juga dalam hal penanggulangan penyakit menular seperti TBC.

Negara berkewajiban untuk melaksanakan berbagai upaya dan langkah yang komprehensif untuk menanggulangi akar masalah secara tuntas, yakni dengan sistem kesehatan yang handal yang disertai oleh sistem politik dan ekonomi berdasarkan Islam. Hal ini sebagai bentuk tanggung jawab penguasa dalam meriayah urusan rakyatnya, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah saw.:  "Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia. Dia (laksana) pengembala, dan hanya dialah yang bertanggung jawab atas segala urusan rakyatnya." (HR.Al Bukhari).

Untuk meningkatkan daya tahan tubuh masyarakat dan imun yang kuat, negara wajib melakukan langkah-langkah praktis dan produktif, seperti pembagian asupan gizi kepada setiap individu masyarakat terutama yang miskin, menyediakan produk makanan yang bergizi, sanitasi dan juga ketersediaan pasokan air bersih, hingga pemukiman yang sehat. Semua itu harus dijamin oleh negara secara cuma-cuma atau gratis.

Kemudian, negara juga akan menyediakan akses kesehatan dengan fasilitas terbaik dengan jumlah yang memadai dan mudah diakses oleh setiap individu masyarakat, kapanpun dan dimanapun. Di mana, tiap-tiap rumah sakit akan dilengkapi dengan alat kedokteran dan obat-obatan terbaik yang efektif.

Selain itu, sistem pengobatan pun dilakukan secara mutakhir, seperti masyarakat yang terdeteksi terpapar penyakit menular akan ditempatkan khusus, agar tidak menjangkiti masyarakat lain. Kemudian diberikan pengobatan secara rutin dan terpantau oleh dokter ahli hingga dia sembuh seperti sedia kala. Dan tentunya pelayanan kesehatan berkualitas ini diberikan secara gratis.

Biaya kesehatan dan pemenuhan kebutuhan rakyat ini didukung dengan anggaran negara Islam yang berbasis baitul maal yang bersifat mutlak. Di mana, negara Islam memiliki pos-pos pemasukan yang tetap, seperti kharaj, fai, zakat, hasil pengelolaan sumber daya alam, dll. Dengan demikian maka negara akan mampu memberikan pemenuhan kebutuhan kepada rakyat secara gratis dengan fasilitas terbaik.

Sistem pos baitul maal ini telah terbukti mampu mensejahterakan rakyat. Namun, semua ini juga didukung oleh sistem perpolitikan dan sistem ekonomi Islam.

Wallahu a'lam bissawab 

Post a Comment

Previous Post Next Post