Buruknya Layanan Kesehatan, RSUD Wakatobi jadi Sorotan


Oleh Sartinah
Pegiat Literasi 

Nasib rakyat jelata di negeri kapitalis memang tak pernah beruntung, apalagi soal kesehatan dan layanannya. Kesehatan seharusnya dapat diakses oleh setiap orang dengan mudah. Namun, apa jadinya jika kesehatan justru menjadi barang mahal yang sulit dijangkau masyarakat? Ungkapan "orang miskin dilarang sakit" tampaknya benar terjadi di negeri ini. Layanan kesehatan yang seharusnya diberikan tanpa pandang bulu, justru hanya diutamakan bagi mereka yang berharta. 

Minim Pelayanan

Dilansir dari Sultrakini.com (15/03/2023), baru-baru ini beredar video tentang kurang maksimalnya pelayanan di RSUD Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Video tersebut diunggah oleh akun Facebook FadilCs CowoSejati, pada 14 Maret 2023 di grup Wakatobi Online. Sang pemilik akun mengunggah video alam unggahan video berdurasi 01.20 menit. Dalam video tersebut, memperlihatkan tidak ada satu orang pun pegawai RSUD Wakatobi di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD), saat seorang pasien datang dengan dugaan demam berdarah. Mirisnya, sudah 30 menit berlalu pelayanan belum juga dberikan.

Dugaan buruknya pelayanan di RSUD Wakatobi, tak hanya saat itu saja. Pada 12 Maret 2023, ada seorang pasien yang dirujuk ke rumah sakit tersebut karena mengidap DBD dan menjalani perawatan. Suatu ketika si pasien hendak meminta bantuan kepada perawat untuk mengantarnya ke toilet. Pasien tersebut kesulitan karena terdapat beberapa alat medis yang menempel di tubuhnya selain infus. Namun, seorang perawat baru bangun dan menolongnya setelah beberapa menit ia mondar-mandir di ruang perawat.

Menanggapi banyaknya keluhan masyarakat terkait buruknya pelayanan pasien, Direktur RSUD Wakatobi dr. La Ode Achmad Sam Jumarta, belum memberikan pernyataannya. Meski sudah dilakukan upaya konfirmasi, tetapi belum ada tanggapan. Beberapa karyawan rumah sakit menyebut, yang bersangkutan sedang berada di luar kota.

Faktor Penyebab

Diketahui, Pemda Wakatobi menerima penghargaan cakupan kesehatan semesta atau Universal Health Coverage (UHC), sebagai upaya mendukung Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (KIS). Namun pada saat yang sama, sejumlah masyarakat justru masih kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik di daerah tersebut. Tak hanya di Wakatobi, sulitnya mendapatkan layanan kesehatan maksimal juga nyaris dirasakan oleh masyarakat di daerah-daerah lain di Indonesia.

Prioritas keselamatan nyawa di rumah-rumah sakit di Indonesia memang masih memprihatinkan. Hal ini menunjukkan bahwa keselamatan pasien (patient safety) belum menjadi budaya di banyak rumah sakit negeri ini. Bahkan, saat ini masih ada rumah sakit yang lebih berorientasi pada kepentingan manajemen, ketimbang keselamatan pasien.

Padahal, dalam UU Nomor 36 Tahun 2009, telah dinyatakan bahwa rumah sakit harus memprioritaskan keselamatan pasien di atas kepentingan apa pun. Ini artinya, pihak rumah sakit harus bertanggung jawab menjaga keselamatan pasien tanpa pandang bulu. Pasalnya jika hal ini diabaikan, bukan hanya berdampak pada kerugian materi, tetapi juga berakibat terancamnya nyawa. Sayangnya, budaya mengutamakan keselamatan pasien masih minim dilakukan oleh rumah sakit. 

Jika ditelisik lebih dalam, ada beberapa faktor yang menyebabkan budaya keselamatan pasien masih belum dijalankan oleh rumah sakit. Pertama, masih rendahnya tingkat kepedulian petugas kesehatan terhadap para pasien. Hal ini bisa disaksikan melalui diskriminasi layanan antara pasien kaya dan miskin. Dalam banyak kasus, masyarakat miskin justru kurang diperhatikan.

Kedua, beratnya beban kerja petugas kesehatan terutama perawat. Sebagaimana diketahui, perawat adalah penanggung jawab dalam urusan pengasuhan pasien. Namun di sisi lain, ada rumah sakit yang memiliki keterbatasan jumlah perawat sehingga membuat beban kerja mereka makin berat. Tak hanya soal perawat, keterbatasan dokter pun masih menjadi problem di negeri ini, utamanya dokter spesialis yang mengakibatkan berbedanya kualitas pelayanan di tiap-tiap rumah sakit.

Ketiga, orientasi materi atau keuntungan semata masih melekat pada sebagian petugas kesehatan. Kondisi ini membuat mereka hanya berburu keuntungan tanpa memprioritaskan lagi keselamatan pasien.

Keempat, pengawasan yang lemah dari dinas kesehatan terhadap para petugas kesehatan. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yakni keterbatasan personel dari dinas kesehatan hingga rendahnya bergaining position dari dinas kesehatan sendiri.

Kegagalan Kapitalisme

Faktor-faktor tersebut turut berperan menghilangkan budaya keselamatan di rumah sakit. Di sisi lain, sistem jaminan sosial yang diberlakukan berdasarkan kelas, telah mengakibatkan terjadinya pelayanan berkasta. Si kaya mendapat prioritas utama, sedangkan bagi orang miskin mendapatkan layanan sekadarnya. Ada banyak kasus di mana pasien miskin harus terlantar bahkan sampai meninggal karena tidak segera mendapatkan perawatan.

Namun, inilah wajah asli kapitalisme yang memandang bahwa kesehatan bukanlah hak setiap individu, melainkan menjadi hak istimewa bagi mereka yang mampu membayar biaya kesehatan. Karena itu, negara akan selalu mengomersialkan kesehatannya kepada rakyat. Tak heran pula jika tidak ada paradigma "negara sebagai penjamin kebutuhan rakyat" dalam sistem kapitalisme.

Justru yang ada, negara hanya berperan sebagai regulator yang menjadi penyambung antara rakyat dan pihak swasta. Karenanya biaya kesehatan menjadi mahal dan layanannya pun diskriminatif. Karut-marutnya masalah kesehatan dan layanan rumah sakit dalam sistem kapitalisme telah membuat rakyat tidak mendapatkan haknya dalam bidang kesehatan. Inilah kegagalan nyata kapitalisme dalam menjamin kesehatan rakyatnya.

Jaminan Kesehatan dalam Islam

Islam diturunkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. Syariatnya diterapkan untuk mengatur seluruh kehidupan manusia demi terwujudnya kemaslahatan. Termasuk mengatur pemenuhan seluruh hak dasar rakyat, baik sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Seluruh kebutuhan tersebut wajib dipenuhi oleh negara sebagai pengatur urusan rakyat. 

Hal ini karena Islam menempatkan negara sebagai raa'in (pengurus) yang berkewajiban menjamin terpenuhi seluruh kebutuhan dasar rakyat termasuk kesehatan. Sebagaimana tertuang dalam hadis riwayat al-Bukhari dan Abdullah bin Umar, "Imam adalah pemelihara dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya."

Demi menunjang suksesnya pelayanan kesehatan, maka fasilitas publik seperti rumah sakit dan klinik dibutuhkan oleh kaum muslim sebagai tempat terapi kesehatan dan berobat. Karenanya pengobatan sendiri merupakan kemaslahatan dan fasilitas publik. Kedua hal itu, yakni kemaslahatan dan fasilitas publik, wajib ditunaikan oleh negara.

Rasulullah saw. adalah teladan dalam pemberian pelayanan terbaik. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, bahwa Nabi saw. pernah mendatangkan dokter untuk mengobati Ubay. Pun ketika Nabi saw. diberi hadiah dokter oleh Muqauqis, Raja Mesir, maka Nabi saw. menjadikannya sebagai dokter umum bagi masyarakat. Juga dalam riwayat al-Hakim, bahwa Khalifah Umar bin Khaththab pernah mendatangkan seorang dokter untuk mengobati Aslam. 

Semua riwayat di atas menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan dan pengobatan merupakan hak dasar rakyat yang wajib disediakan oleh negara secara gratis dan berkualitas. Pelayanan kesehatan dan pengobatan diberikan kepada seluruh rakyat yang membutuhkan layanan kesehatan tanpa membedakan status sosial dan tingkat ekonominya.

Di sisi lain, pelayanan kesehatan secara gratis dan berkualitas jelas membutuhkan biaya besar untuk menopangnya. Dalam hal ini, negara bisa mengambil pembiayaannya dari sumber-sumber pemasukan yang telah ditentukan oleh syariat. Misalnya saja dari hasil pengelolaan harta kepemilikan umum (termasuk hutan, minyak dan gas, berbagai macam tambang, dan sebagainya.

Juga dari sumber-sumber lain seperti kharaj, jizyah, ganimah, fa'i, usyur, pengelolaan harta milik negara, dan sebagainya. Hasil dari pengelolaan harta-harta tersebut sangat cukup untuk mewujudkan pelayanan kesehatan secara gratis kepada seluruh masyarakat. Namun, jaminan tersebut hanya akan terwujud jika Islam diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan. Di bawah naungan Khilafah, layanan kesehatan gratis dan berkualitas bukanlah utopis.
Wallahu a'lam

Post a Comment

Previous Post Next Post