Tragedi Pinjol Menjerat Mahasiswa, Potret Buruk Sistem Pendidikan Tinggi

Oleh: Syifa Nailah Muazarah

Aktivis Muslimah

 

Kabar mengejutkan kembali datang dari dunia perguruan tinggi. Sejumlah mahasiswa menjadi korban penipuan untuk investasi. Bukan hanya ditipu investasi bodong, sejumlah mahasiswa ini juga terjerat pinjaman online (pinjol) hingga didatangi penagih utang ke rumahnya. Pasalnya, mereka terjerat pinjol dalam rangka menjadi investor pada investasi bodong tersebut. Rasanya seperti jatuh tertimpa tangga pula.

Kampus IPB menjadi sorotan karena dari 331 orang yang terjerat pinjol karena menjadi korban penipuan dengan berkedok hasil 10% per bulan, 116 di antara mereka adalah mahasiswa IPB. Dalam kasus penipuan ini, masing-masing mahasiswa IPB berutang melalui pinjol sekitar Rp2.000.000 hingga belasan juta rupiah. Dan diperkirakan jumlah utang 116 mahasiswa ini sekitar Rp900.000.000 (www.bbc.com).

Mahasiswa menjadi korban penipuan investasi yang menawarkan keuntungan besar dan cepat ini ternyata bukan pertama kali terjadi. Pada tahun 2021 lalu, mahasiswa di Kabupaten Jember juga pernah mengalami hal yang serupa. Sejumlah mahasiswa melapor ke Maporles Jember bahwa 70 orang mengalami kerugian sebesar Rp50.000.000 setelah kena tipu investasi produk pertanian dan hal-hal yang berhubungan dengan pertanian, keuntungan yang ditawarkan akan didapat dalam waktu tiga sampai empat hari. Alih-alih untung, para mahasiswa ini kena ghosting setelah uang dikirimkan komunikasi mulai hilang dan terputus. Yang berarti uang mereka dibawa kabur (www.ngopibareng.id).

Tragedi penipuan investasi dan pinjaman online yang menimpa akademisi kampus yang digadang-gadang sebagai intelektual muda ini menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan, lebih khusus lagi bagi perguruan tinggi. Dilansir dari republika.co.id, Pengamat Keuangan Piter Abdullah menilai ratusan mahasiswa IPB yang terjerat pinjaman dalam jaringan pinjol untuk penjualan yang ternyata bodong karena tamak yang tidak memiliki kemampuan keuangan, dan tidak memiliki literasi pengetahuan mengenai masalah ini. 

Mahasiswa yang bisa dikatakan sebagai orang dewasa yang dididik dengan budaya literasi, validasi, dan budaya ilmiah lainnya dalam kehidupan kampus nyatanya masih menjadi PR besar. Bagaimana mahasiswa nyatanya masih saja tergiur dengan keuntungan-keuntungan besar, minim usaha, dan hasil cepat hingga menggunakan cara jalan pintas. Selain budaya literasi dan validasi yang menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan yang seharusnya mencetak generasi intelektual yang pemikir dan kritis terhadap realitas dan solusi kehidupan.

Ternyata sistem pendidikan tinggi hari ini harus kembali mengevaluasi diri tentang pondasi mendasar dan tujuan pengajaran di perguruan tinggi dan bahkan di dunia pendidikan. Sistem pendidikan hari ini yang berorientasikan pencapaian materi dan berdaya bagi industri telah mencetak mahasiswa yang belajar dan kuliah semata untuk mencapai materi/keutungan sebanyak-banyaknya.

Perguruan tinggi yang terus mengaruskan definisi sukses sebagai keberdayaan di tengah dunia kerja, telah mendorong mahasiswa dan anak didik belajar semata mendapat keuntungan materi. Sehingga tidak heran jika mahasiswa mudah tergiur dengan keuntungan-keutungan besar tanpa menilik kembali halal haram. Jangankan halal haram, keabsahan pun luput dari penelaahan para intelektual muda karena sibuk mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan upaya dan modal seminim mungkin.

Prinsip sistem pendidikan demikian adalah prinsip yang kental dengan sistem sekuler kapitalis yang tujuan hidupnya untuk mencapai keuntungan materi sebesar-besarnya. Maka perguruan tinggi hanya disibukkan mencetak keuntungan sebesar-besarnya, begitupun mahasiswa. Bagaimana tidak, jika sistem sekuler kapitalis ini membuat tuntutan ekonomi sangat besar dan mencekik yang membuat mahasiswa terpaksa menjadi sandwich generation dan sibuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadi dan terus memperkaya diri agar memenuhi standar hidup sekuler kapitalis.

Di sisi lain, sistem pendidikan tinggi yang sekuler ini juga terus memisahkan agama dari kehidupan. Padahal agamalah yang menjadi benteng kokoh pembentuk kepribadian kuat yang mampu mengarungi kehidupan dunia dan menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan dengan solutif.

Sistem pendidikan tinggi digariskan Allah ta’ala dalam syariat Islam jelas mengarahkan para pembelajaran untuk mengais ilmu dalam rangka memupuk ketaatan dan ketakwan serta menjadi sebaik-baik manusai yang paling bermanfaat di tengah manusia lain. Bermanfaatnya pun bukan untuk keuntungan materi dunia sebagaimana kapitalis sekuler, tapi dalam rangka menjadi salah satu tipe hamba yang Allah ta’ala ridhai. Nabi SAW bersabda:

خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya” (HR Ahmad).[]

Post a Comment

Previous Post Next Post