KORUPSI DI KALANGAN POLITISI


By : Wiwik Afrah 
 (Aktivis Muslimah)

Penetapan R. Abdul Latif Amin Imron sebagai tersangka kasus korupsi menambah daftar panjang kepala daerah yang menjadi pesakitan komisi antirasuah. Bupati Bangkalan itu terseret kasus pemberian dan penerimaan hadiah atau janji oleh penyelenggara negara atau yang mewakili terkait lelang jabatan.

Penyidik pun langsung menahan Abdul Latif bersama 5 tersangka lain usai pemeriksaan yang digelar di Polda Jawa Timur. “Penyidik menahan para tersangka masing-masing selama 20 hari ke depan terhitung mulai 7 Desember 2022 sampai dengan 26 Desember 2022,” kata Ketua KPK, Firli Bahuri dalam keterangan pers di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Kamis dini hari, 8 Desember 2022. 

Selain sang bupati, lima tersangka lain adalah pemberi suap, yakni: Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Aparatur Bangkalan, Agus Eka Leandy (AEL); Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, Wildan Yulianto (WY); Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Achmad Mustaqim (AM); Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Hosin Jamili (HJ); dan Kepala Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja, Salman Hidayat (SH).

Kelima pejabat tersebut memberikan uang kepada Latif dalam rangka membayar komitmen fee setelah menduduki jabatan yang diinginkan. KPK menduga total komitmen fee yang dipatok mulai Rp50 juta hingga Rp150 juta.

Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) tahun ini layak disikapi dengan rasa berkabung atas runtuhnya komitmen negara dan robohnya harapan masyarakat.

ICW kemudian menyoroti sejumlah aspek yang dinilai turut berkontribusi dalam meruntuhkan komitmen negara terkait pemberantasan korupsi. Salah satu aspek yang turut disorot ICW adalah tingginya angka korupsi di kalangan politisi.

Berdasarkan data penindakan KPK, sepertiga pelaku korupsi yang diungkap selama 18 tahun terakhir berasal dari lingkup politik, baik legislatif (DPRD maupun DPR RI) dan kepala daerah dengan jumlah 496 orang," ujar peneliti ICW, Kurnia Ramadhana dikutip dari keterangan tertulisnya di laman resmi ICW, Minggu, 11 Desember 2022.

Data ini semestinya menjadi alarm yang harus disambut dengan pembenahan menyeluruh pada sektor politik, terutama dalam lingkup partai politik dan pemilu," tambahnya. Mengamati korupsi saat ini di kalangan politisi bukanlah hal yang baru. Korupsi justru sangat subur di kalangan politisi. Politisi yang tidak korupsi justru akan tampak aneh di dalam sistem demokrasi.

Korupsi seolah sudah menjadi budaya, bahkan sudah seperti darah daging. Bagaimana tidak? Politisi pasti butuh kendaraan politik dengan biaya yang fantastis. Dukungan dana dari pihak konglomerasi alias pemodal, tentunya bukan makan siang yang gratis.

Sang politisi harus balik modal ketika menjabat. Akibatnya, menjadi politisi pun menggeser peran utamanya. Politisi tidak lagi murni sebagai wakil rakyat atau pejabat negara yang mengurusi urusan masyarakat, tetapi lebih kepada mencari nafkah, yang selain untuk balik modal dan mengamankan kekayaan untuk keluarganya setelah nanti dirinya purna tugas. Pada akhirnya, korupsi dianggap jalur alternatif untuk mencari nafkah juga.

Begitu pekatnya korupsi di Indonesia, sungguh tidak heran jika dalam pemeringkatan Negara Terbaik 2022 dari US News (27-09-2022) Indonesia menempati posisi ke-30 dari 85 negara yang menduduki peringkat sebagai negara paling korup di dunia.

Rekam jejak pemilu tidak hanya politisi bergelimang manipulasi saat pemilu. Hal ini sudah menjadi rahasia umum. Belum lagi mekanisme politik uang yang pasti menyertai. Hal ini tentu berdampak pada kualitas politisi tersebut sehingga kita patut mempertanyakan keikhlasannya dalam mengemban amanat rakyat.

Nyatanya, kinerja pejabat penyelenggara pemilu pun karut-marut. Pemilu yang katanya bersifat LUBeR (langsung, umum, bebas, rahasia) dan JurDil (jujur, adil) hanya tinggal retorika.

Manipulasi data pemilih dan hasil pemilulah yang malah mendominasi. Parahnya lagi logistik pemilu yang sesat logika. Bagaimana mungkin kotak suara menggunakan kardus yang digembok?

Anggota DKPP Ratna Dewi Pettalolo juga menegaskan bahwa sanksi yang dijatuhkan DKPP akan membuktikan bahwa lingkungan penyelenggara pemilu di Indonesia berisi orang-orang yang profesional, mandiri, dan berintegritas, sehingga masyarakat tidak akan meragukan hasil dan proses pelaksanaan tahapan pemilu.

Dewi mengingatkan tentang pentingnya penegakan hukum pemilu karena penegakan hukum menjadi syarat mutlak terwujudnya pemilu berkualitas di Tanah Air. Namun, siapa yang menjamin kemurnian rekam jejak pemilu? Toh manipulasi dan tipu-tipu seolah sudah menjadi syarat wajib saat momen pemungutan suara.

Keseriusan pemberantasan korupsi semua ini adalah mimpi buruk. Tidak heran jika publik makin mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi yang sudah kadung membudaya di Indonesia, bahkan acapkali terjadi berjamaah.

Ini sungguh bukti luar biasa keruh dan hitamnya lumpur korupsi. Sungguh, hanya di dalam sistem sekuler suatu tindak pidana malah dilindungi dan tidak tuntas diberantas. Terlebih jika ada kepentingan tertentu.

Tidak heran, hukuman korupsi pun termasuk sesuatu yang berpeluang dikompromikan demi mengurangi masa hukuman atau malah agar pelakunya bisa bebas dari jerat hukum.
Kondisi ini tentu sangat berbeda dengan sistem peradilan dan sanksi Islam.

Ketegasan sistem Islam dalam memberantas korupsi tidak terlepas dari sifat sistem persanksian dalam Islam, yakni sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus).

Maknanya, agar orang lain yang bukan pelanggar hukum tercegah untuk melakukan tindak kriminal yang sama dan jika sanksi itu diberlakukan kepada pelanggar hukum, maka sanksi tersebut dapat menebus dosanya.

Di samping itu, sistem Islam secara holistik akan meniscayakan ketakwaan dalam diri setiap individu. Hal ini jelas memudahkan proses hukum pada pelaku. Dengan ketakwaan yang dimiliki, pelaku tindak kriminal tidak akan tahan berlama-lama menyimpan kesalahan.

Dirinya meyakini bahwa hukuman di akhirat akan lebih dahsyat. Oleh karena itu, pelaku akan menyerahkan diri pada pihak berwenang dan mengakui kesalahannya. Dirinya pun ridha dengan sanksi yang menjadi konsekuensi untuk ia terima.

Namun, coba kita lihat para koruptor saat ini. Alih-alih taubat nasuha, begitu dirinya bebas dan ada kesempatan lagi, dirinya malah tidak segan untuk mengulangi tindak korupsi, yang kalau bisa dengan jumlah yang lebih fantastis.

Allah Taala berfirman: “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” (QS Al-Maidah [5]: 49)”.

Korupsi bukan lagi PR besar bagi negeri ini, sebab korupsi adalah bencana sistemis. Justru sebagai negeri muslim terbesar di dunia, sudah selayaknya negeri ini menerapkan sistem Islam, bukan sistem kufur buatan penjajah atau sistem hukum yang berlandaskan hawa nafsu manusia.

Waallahu ‘alam bishhowab

Post a Comment

Previous Post Next Post