Sibuk Kontestasi pemilu Saat Rakyat Terpuruk


Oleh: Ageng Kartika 
(Pemerhati Sosial) 

Riuh pemilu sudah terasa di pertengahan tahun 2022, dimulai dengan pendaftaran partai politik lalu diikuti persiapan mencari pasangan calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) yang qualified menurut apa yang mereka pikirkan. Apakah kelak capres-cawapres ini mampu menjalankan amanah rakyat untuk menyejahterakannya atau nanti hanya sekedar menjadi kaki tangan kepentingan lain? 

Usung mengusung capres-cawapres gencar dilakukan, bahkan menikung pun dilakukan demi tercapainya tujuan untuk menjadi penguasa di negeri ini. Berbagai spekulasi pasangan pun mulai digulirkan. Pasangan nasionalis-agamis atau kah nasionalis-nasionalis yang kelak disukai oleh masyarakat untuk memimpin mereka. Tak lupa jatah kapling per partai politik berkuasa dan yang berkoalisi sangat menentukan pemilihan pasangan capres-cawapres. 

Layaknya pertemuan antara Prabowo Subianto selaku ketua umum Partai Gerindra dengan Puan Maharani (Ketua DPP PDIP), yang dilakukan pada 4 September 2022 menjadi polemik tersendiri. Sebelumnya telah terjadi semacam kesepakatan untuk berpasangan Prabowo Subianto dengan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) sebagai Ketua Umum PKB.  Dilansir dari Tempo.co, 4/9/2022, pertemuan ini menunjukkan akan ada semacam persaingan untuk memperebutkan posisi cawapres oleh Puan dan Cak Imin, sebab dilihat dari elektabilitas, Prabowo tetap akan menjadi capres. 

Menurut Prabowo segala kemungkinan menjelang pemilu bisa saja terjadi. Apalagi untuk kebaikan bangsa dan negara Republik Indonesia. Walaupun saat ini masih jauh pembicaraan mengenai berpasangan dengan Puan Maharani, tapi secara teori kemungkinan itu akan ada. Yang pasti antara Prabowo dan Puan berkomitmen terus membangun komunikasi politik, (Kompas.com, 5/9/2022).

Kesibukan para calon penguasa menjelang pemilu ini mempertontonkan kepada rakyat bahwa yang menjadi fokus utama mereka adalah bagaimana tetap berkuasa. Padahal faktanya di lapangan rakyat sedang kesulitan ekonominya pasca pandemi, dilanjutkan dengan kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi. Kebijakan ini akan menghasilkan efek domino besar bagi rakyat terutama kalangan menengah ke bawah, pun demikian dengan para pengusaha yang terimbas akibat menurunnya hasil penjualan. 

Pemutusan hubungan kerja (phk) tidak terhindarkan lagi terjadi di tengah kesempitan ekonomi rakyat akibat kenaikan barang dan bahan pangan. Rakyat dipaksa beradaptasi dengan kesulitannya, sementara para pemangku kebijakan cukup dengan memberi solusi pragmatis dalam menyelesaikan kondisi negara ini. Bukan mencari solusi tepat dengan memangkas pembiayaan pembangunan yang tidak tepat sasaran agar kenaikan BBM bersubsidi tidak terjadi. 

Inilah gambaran perwujudan demokrasi, segala hal dapat berubah mengikuti alur yang diinginkan penguasanya. Atas kepentingan rakyat menjadi dalih kemungkinan-kemungkinan itu terjadi. Di pemilu sebelumnya jadi kompetitor, menjelang pemilu selanjutnya bisa menjadi partner. Sah-sah saja. Demikian dengan janji yang terucap, tidak menjadi keharusan terealisasi dengan alasan sama demi kepentingan rakyat. 

Tetap saja tujuan mereka, yang tengah sibuk mencari partner adalah memenangi kontestasi politik. Ketika sistem yang berjalan sama, bukan mustahil kebijakan yang diterapkan pun akan sama, berpihak pada kepentingan selain rakyat. Hal ini disebabkan partai politik yang bertarung hanya disibukkan dengan bagaimana mereka berkuasa bukan bagaimana mereka mengemban amanah rakyat yang ada di pundaknya. 

Dengan kata lain, mereka lah pengabdi kursi kekuasaan bukan pengabdi rakyat yang mengurus urusan umat. Maka jangan sampai rakyat tertipu untuk ke sekian kalinya dengan sistem saat ini, melahirkan para pemimpin dan wakil rakyat yang disibukkan dengan menepati janji para sponsor korporat yang membantu mereka mendapatkan kursi kekuasaan dalam pemilu. 

Kepemimpinan dalam Islam

Dalam sistem pemerintahan Islam, jabatan pemimpin tidak memiliki periode masa tertentu, tidak dibatasi dengan waktu tertentu. Akan tetapi jikalau ada pelanggaran syariat oleh pemimpin maka dapat diberhentikan kapan saja. Seorang pemimpin selama masih memenuhi syarat-syarat yang harus melekat di dalam dirinya maka keberlangsungan pemerintahannya tetap berjalan. Apabila salah satu syarat rusak maka otomatis harus diberhentikan dari jabatannya. 

Dengan demikian, maka perebutan kursi kekuasaan tidak akan terjadi dalam Islam. Karena masa jabatannya tidak ditentukan periode tertentu. Apalagi seorang pemimpin terikat dengan hukum-hukum syara' dan pertanggungjawaban pun kelak hingga di yaumil akhir, tentu saja setiap kebijakan yang diterapkan di tengah umat semata-mata untuk keberlangsungan hajat umat bukan selainnya. 

Keberadaan partai politik dalam Islam adalah sebagai alat untuk melayani rakyat. Sebagaimana dalam Al-Qur'an surah Ali Imran ayat 104, Allah Swt. memerintahkan agar senantiasa ada sekelompok orang yang melakukan dua hal berkenaan dengan aktivitas politik, yakni: menyeru kepada kebaikan dalam hal Islam dan melakukan amar makruf nahi mungkar (paling besar dilakukan kepada penguasa). Keduanya menjadi tugas besar partai politik. 

Pengaturan berbagai urusan di segala aspek dalam Islam telah tertata dengan baik. Kekayaan alam berlimpah dikelola penuh oleh negara, tidak ada intervensi asing di dalamnya karena pihak asing diharamkan mengelolanya. Pun demikian dengan berbagai fasilitas umum yang menyangkut hajat umat. Sehingga kebutuhan umat terpenuhi dengan baik. Karena negara yang langsung melaksanakan pengelolaan dan regulasinya. Jelas dapat terhindarkan kejadian seperti sekarang, berulang BBM dinaikkan tanpa melihat kondisi rakyat yang sedang kesulitan, beberapa fasilitas umum pun dikuasai pihak swasta/asing.

Kebaikan dalam pengaturan dan pengelolaan negara berikut partai politik yang mengedukasi umat hingga terwujud umat yang kokoh dalam Islam dapat dijalankan dalam negara yang menerapkan sistem Islam kafah, bukan selainnya. Wallahu'alam bishawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post