Konsumerisme dan Problem Kapitalistik Sampah


Oleh: Endah Ratnasari
Aktivis Dakwah di Depok


Jika berbicara mengenai sampah yang ada di Indonesia atau bahkan di seluruh penjuru dunia ini seperti tidak ada habisnya. Memang, sampah menjadi salah satu problematika kehidupan di berbagai penjuru dunia akibat keserakahan para penguasa, tidak adanya kebijakan untuk mengatur sistem pengelolaan limbah mulai dari perindustrian hingga rumah tangga. 

Kita bisa lihat, sampah banyak dibuang ke lautan, sungai atau bahkan perairan kecil. Yang salah satunya bisa menyebabkan banjir. Padahal, segala cara telah dilakukan oleh pemprov dan warga sekitar agar tidak terjadinya banjir. Namun masalah tidak akan selesai dengan tuntas apabila tidak diselesaikan dari akar masalahnya, yakni pengelolaan sampah yang baik dan benar dan sanksi yang diberikan pemerintah kepada masyarakat sepertinya belum berjalan dengan baik. 

Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), ternyata Indonesia menghasilkan sampah sebanyak 67,8 juta ton pada 2020. Dan penyumbang sampah terbesar berasal dari rumah tangga yakni sebanyak 37,3 persen. Oleh karenanya, pemerintah menetapkan 21 Februari 2022 sebagai Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN). Melalui peringatan itu, pemerintah berharap dapat meningkatkan kembali kesadaran masyarakat terhadap pengelolaan sampah khususnya pada tingkat rumah tangga yang menjadi penyumbang terbesar sampah ini. 

Dengan melihat banyaknya sampah mulai dari sampah plastik, botol, kardus, gelas atau lainnya itu merupakan budaya masyarakat yang konsumtif. Masyarakat dibiarkan saja terlena pada kenikmatan aneka makanan kemasan yang telah disuguhkan oleh para pengusaha. Tidak jarang para milenials saat ini menjadi santapan empuk para pengusaha, untuk berburu makanan instan atau junk food. 

Memang, masalah sampah bisa diselesaikan salah satunya dengan daur ulang. Misalnya, sampah rumah tangga, bisa dipilah dan dipilih dulu, mana yang bisa didaur ulang dan mana yang tidak bisa dan tempatnya juga terpisah. Sehingga para pengelola sampah bisa memilah-milah menjadikannya pupuk kompos atau menjadi barang bernilai daya jual untuk sampah plastik, botol, kardus dan lainnya.

Sebenarnya, sampah bukan berarti tidak berguna atau tidak menghasilkan. Di tangan-tangan orang yang kreatif sampah menjadi barang yang bernilai daya jual tinggi. Contohnya saja Ibu Welis Fatimah asal Palembang yang mengubah sampah kertas koran menjadi kotak tisu dan berbagai macam pajangan lainnya. Memang, dalam hal pengelolaan sampah, jaringan dan pelaku daur ulang di Indonesia cukup panjang, mulai dari tahap pengumpulan hingga menjadi produk serta melibatkan banyak pihak. 

Namun, itu semua merupakan salah satu cara saja agar sampai bisa dikelola dengan sebaik-baiknya. Tapi sampah yang menggunung tetap saja menjadi masalah karena pengelolaan kembali sampah menjadi barang yang bisa dijual hanya beberapa persennya dari jumlah sampah yang banyak. Maka, mulailah masyarakat harus punya kesadaran agar sampah yang dibuang tidak banyak. Salah satunya hilangkan budaya konsumtif yang akan menghasilkan sampah-sampah bertambah banyak.

Dalam Islam sendiri masyarakat diatur untuk tidak menjadi masyarakat yang konsumtif akan tetapi lebih produktif. Islam mengajarkan untuk kita lebih bersahaja dalam kehidupan. Lebih bijak dalam mengelola sampah. Karena dalam ajaran kita sendiri mengajarkan untuk hidup bersih dan sehat. Tidak membuang sampah sembarangan dan tidak makan berlebihan.[]

Post a Comment

Previous Post Next Post