Ketidakadilan Kembali Dipertontonkan, Inikah Wajah Demokrasi?


Oleh Nining
Pemerhati Masalah Umat


Dunia terbalik, kalimat ini rasanya benar adanya. Bagaimana tidak, sudah kesekian kalinya ketidakadilan dipertontonkan di negeri ini terutama terkait kasus hukum. Kasus pelaporan korban tindak kejahatan sering kali berujung pada penetapan sebagai tersangka, setelah pelaku dibunuh oleh korban untuk membela diri. Namun, sungguh malangnya nasib korban. Bukannya diapresiasi atas keberaniannya melawan para pembegal, justru ia ditetapkan sebagai tersangka. Sudah jatuh tertimpa tangga pula!

Beberapa waktu lalu viral Amaq Sinta (34), korban pembegalan di Lombok ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian karena melawan gerombolan pembegal yang menyebabkan dua dari empat pelaku terbunuh. Sontak saja hal tersebut menjadi sorotan publik, hingga akhirnya kasus tersebut distop. Status tersangka korban pun akhirnya dicabut dan pihak Polda NTB menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). 

Jauh sebelumnya, Muhammad Irfan Bahri di Bekasi bernasib sama dengan Amaq Sinta. Pemuda berusia 19 tahun membunuh perampok saat mencoba rampas telepon genggamnya. Kala itu, ia bersama sepupunya sedang menikmati pemandangan di Flyover Summarecon. Namun nahas, peristiwa itu berujung pada penetapan Irfan sebagai tersangka dengan dugaan pembunuhan oleh pihak kepolisian. Peristiwa tersebut menjadi sorotan banyak pihak tak terkecuali sampai ke Menkopolhukam Mahfud MD. Mahfud bersama Pakar Pencucian Uang Yenti Garnasih menghadap Jokowi. Keduanya melaporkan kasus pembegalan di Bekasi. Oleh karena kasus ini sampai ke presiden akhirnya polisi mencabut status tersangka dan memberikan penghargaan kepada Muhamad Irfan Bahri karena menumbangkan begal. (Merdeka.com,18/4/2022)

Sederet kasus akan diperhatikan dan diusut sesuai hukum yang berlaku manakala viral dulu di tengah masyarakat. Inilah bukti bahwa sistem sekuler  kapital melahirkan ketidakpastian dan ketidakadilan hukum, hal ini menjadi persoalan besar, yang benar bisa disalahkan dan yang salah justru dibenarkan.

Menurut aparat penyetopan kasus diperlukan agar masyarakat tidak takut melawan kejahatan. Namun, di sisi lain penegak hukum khawatir munculnya mindset vigilantisme di masyarakat. Vigilantisme adalah gerakan main hakim sendiri oleh warga sipil, baik individu atau kelompok tertentu. Tindakan tersebut sebagai bentuk ekspresi ketidakpuasan masyarakat terhadap penegak hukum, yang dinilai diskriminatif, tidak adil, dan tajam ke ke bawah tumpul ke atas.

Sebetulnya, kekecewaan terhadap hukum dan peradilan wajar saja terjadi karena sanksi produk demokrasi tidak tegas, tidak menimbulkan efek jera, dan berpeluang memunculkan kegaduhan lainnya. Jadi sangat jelas bagi kita bahwa hukum sekuler bukanlah solusi untuk mengatasi tindak kejahatan yang marak terjadi di masyarakat.

Islam adalah agama yang sempurna, aturan yang terpancar dari akidah Islam mampu mengatasi berbagai persoalan yang tengah dihadapi manusia, termasuk perkara pembegalan.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الْآَخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.” (QS. Al Maidah: 33)

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra., “Rasulullah saw. berpisah dengan Abu Barzah al-Aslamiy, kemudian datanglah sekelompok orang ingin masuk Islam. Akan tetapi, mereka membunuh sahabat beliau saw., lalu Jibril turun untuk menjelaskan hukuman (had) bagi mereka. ‘Sesungguhnya barang siapa yang membunuh dan merampas harta benda, ia akan dibunuh dan disalib; barang siapa membunuh, tetapi tidak merampas harta benda, maka ia dibunuh; dan barang siapa merampas harta benda, tetapi tidak membunuh, ia dipotong tangan dan kakinya secara bersilangan.'”

Inilah gambaran secara umum, bagaimana sanksi Islam dalam mengatasi pembegalan sangat tegas. Tentu saja, sanksi ini hanya bisa diwujudkan dalam sistem Islam bukan pada sistem buatan manusia, demokrasi kapitalisme.

Angka kejahatan tak pernah surut, justru kejahatan makin meningkat dari tahun ke tahun. Ternyata hal itu dipengaruhi oleh tiga aspek, yaitu keimanan, ekonomi, dan hukum.

Pertama, aspek keimanan. Sistem sekuler berhasil mengikis habis nilai keimanan pada pelaku sehingga dalam dirinya tidak lagi muncul rasa takut kepada Allah Swt. yang menyebabkan ia nekat melakukan kejahatan yang membahayakan nyawa orang lain.

Kedua, aspek ekonomi. Kondisi ekonomi nasional makin memprihatikan, harga kebutuhan pokok melonjak tajam, hutang negara yang angkanya sudah diambang batas, menyebabkan kemiskinan dan kesulitan hidup makin bertambah. Hal ini yang membuat sebagian orang nekat melakukan aksi kejahatannya demi sesuap nasi.

Ketiga, aspek hukum. Ketidakpastian hukum membuat pelaku kejahatan tak jera. Ketidakadilan pun masih sulit ditegakkan karena hukum masih bisa dibeli dengan uang dan kekuasaan.

Inilah kondisi nyata kita saat ini. Banyak aspek yang saling mempengaruhi kenapa angka kejahatan tak kunjung padam. Oleh karena diperlukan solusi fundamental agar berbagai kasus kejahatan bisa diselesaikan sehingga masyarakat hidup dengan aman dan tenang. Solusi fundamental itu hanya ada pada Islam semata, bukan pada sistem yang lain.

Karena Islam berasal dari Allah Swt. pencipta manusia. Dengan demikian, marilah kita bersama-sama memperjuangkan sistem ini agar negara kita diberkahi Allah dan masyarakatnya bahagia, sejahtera, dan aman.


Wallahu a'lam bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post