Kekerasan Merenggut Nyawa Generasi


Oleh Desi Rahmawati 
Pemerhati Generasi 

Hati orang tua mana yang tak pilu bahkan sedih, melihat putra tumpuan harapannya meregang nyawa akibat aksi kekerasan. Perasaan inilah yang dirasakan orang tua dari Muhammad Diaz (20 tahun). Diaz menjadi korban insiden tawuran di jalan Sanip, Kelurahan Jati Pulo, Kecamatan Palmerah, Jakarta Barat. Sabtu (9/4/2022) dini hari bersama dua rekannya ikut terluka akibat sabetan celurit di bagian punggung belakang. (tribunnews.com)

Peristiwa ini banyak menuai kecaman warganet di lini media sosial. Bukan sekali dua kali kasus klithih ini terjadi. Pada tahun 2021, tercatat 58 kasus yang memakan korban nyawa. Klithih, perang sarung dan Sahur On The Road (SOTR) terus terjadi terutama di bulan Ramadan.

Tindakan preventif sudah diambil pihak berwenang berupa sanksi yang diberikan. Bagi pelaku, diadili dengan hukuman tiga tahun penjara. Selain sanksi, ada juga program jaga warga dan penyuluhan berkala, serta larangan aktifitas malam di jalan. Akan tetapi mengapa bulan Ramadan tidak dihidupkan dengan amalan istimewa, justru aksi klithih ini terus terjadi?. Seharusnya ini menjadi "PR" besar negara untuk mencari akar masalahnya.

Sederet fakta  menunjukkan permasalahan klithih dan aksi kriminalitas anak lainnya tidak terjadi begitu saja. Penyebab maraknya aksi klithih saat Ramadan akibat dari penerapan sistem liberalisme sekuler di negeri ini. 

Dicampakkannya aturan agama dari kehidupan (sekuler) di antaranya melalui pendidikan, telah membentuk generasi yang kehilangan jati dirinya sebagai seorang muslim. Sehingga menghilangkan rasa takut kepada Allah 
Sang Penguasa kehidupan. Akibatnya setiap perbuatan yang mereka lakukan berasal dari hawa nafsu. Para pelaku klithih lebih mengedepankan gharizah baqo yakni rasa ingin berkuasa dan menguasainya dengan aksi kekerasan. 

Paham liberalisme yang mengusung kebebasan juga membentuk generasi miskin rasa tanggung jawab. Mereka merasa bebas melakukan apa saja tanpa memikirkan dampak perbuatannya yang merugikan orang lain. Sering kali orang tua merekalah yang menanggung akibat dari kesalahannya. 

Ditambah lagi dengan kegagalan dunia dalam memahami hakikat anak. Hukum internasional mendefinisikan anak adalah manusia yang berusia kurang dari 18 tahun dan tidak boleh diberi sanksi pidana. Hal ini telah membuat para penegak hukum khawatir dalam menjatuhkan sanksi pada mereka. Tentu ini sebuah kesalahan besar ketika kita memaklumi kesalahan anak, bahkan membelanya.

Tindakan dan sanksi apapun tidak akan menjadi solusi selama masih diterapkan sistem liberalisme sekuler dalam kehidupan masyarakat. Solusi satu-satunya adalah  kembali menerapkan sistem yang bersifat komprehensif, yakni aturan syariat Islam yang berasal dari Allah Sang Pencipta manusia. 

Sistem Islam mampu memberikan perlakuan pada anak sesuai fase tumbuh kembangnya. Termasuk memberikan batasan yang jelas pada masa kanak-kanak hingga usia balig. Jumhur ulama berpendapat, tanda-tanda balig bagi laki-laki adalah ihtilam (mimpi basah). Bagi perempuan adalah haid/menstruasi. Pada umumnya, anak laki-laki mengalami balig pada usia 12-15 tahun, sedangkan anak perempuan pada usia 9-12 tahun.

Menurut Prof. Dr. Hj. Huzaemah T. Yanggo dalam buku Fiqh Anak, secara terminologi, "balig" atau "al-bulugh" bermakna habisnya masa kanak-kanak dan beralih menjadi dewasa dengan kematangan berpikir. Masa di mana ia telah memiliki kelayakan mendapat tugas secara sempurna. Termasuk terkena taklif (pembebanan hukum): jika melanggar syariat akan berdosa dan jika menjalankan syariat mendapat pahala. Artinya mereka telah bertanggung jawab atas segala perbuatannya, sehingga tak bisa melimpahkannya kepada pihak lain. 

Faktanya saat ini, banyak orang yang sudah balig atau dewasa, tetapi sikapnya kekanak-kanakan. Oleh karenanya, Islam memiliki pendidikan berlandaskan akidah Islam yang mampu menciptakan generasi bertakwa dan bertanggung jawab dalam setiap perbuatannya. Orang tua ataupun calon orang tua akan terbina ketakwaan dan pemahamannya, sehingga mereka sadar akan tanggung jawabnya mendidik anak. 

Masyarakat pun terbiasa menjalankan amar makruf nahi munkar. Dengan begitu, generasi akan tumbuh dalam suasana keimanan yang positif dan produktif. 

Islam memiliki sistem sanksi yang adil dan berefek jera. Semua perbuatan yang melanggar syariat, harus diberi sanksi. Jika pelakunya belum balig, maka  orang tuanya yang mendapat sanksi serta anaknya dibina dan dinasihati.

Dalam Islam, nyawa manusia merupakan sesuatu yang sangat berharga. Pelaku pembunuhan yang motifnya disengaja, diberi sanksi dibunuh. Pembunuhan menggunakan alat tertentu untuk menyiksa atau menyakiti sehingga mengakibatkan korban meninggal, mendapat sanksi tebusan 100 ekor unta, 40 ekor di antaranya dalam keadaan bunting. Sedangkan sanksi bagi pembunuhan dengan motif tak disengaja adalah membayar tebusan 100 ekor unta.

Begitulah gambaran sistem Islam dalam membasmi klithih dan kriminalitas anak lainnya. Dengan edukasi yang tepat dan fasilitasi amal saleh sesuai tuntunan syariat, akan tercipta generasi yang taat dan bersungguh-sungguh menjalankan ibadah. Sistem sanksi pun ditegakkan, jika terjadi pelanggaran-pelanggaran syariat. Kerinduan akan tegaknya sistem yang kafah inilah, semestinya menjadi motivasi juang kita semua.

Wallahu'alam Bishshawaab.

Post a Comment

Previous Post Next Post