ADA APA DIBALIK DEMO BESAR MAHASISWA??

Oleh: Nurul Rabiatul Adawiyah (Aktivis Dakwah Kampus)

Ribuan mahasiswa melakukan aksi di kantor DPRD kota Taksimalaya pada Jum'at tanggal 8 April 2022. Aksi mahasiswa itu dilakukan sebagai bentuk respon dari mahasiswa kepada pemerintah yang dinilai tidak bisa mengatasi persoalan dalam negeri.

Sadid Farhan selaku koordinator lapangan dari mahasiswa Universitas Siliwangi (Unsil) mengatakan bahwa aksi yang dilakukan oleh mahasiswa tersebut merupakan sebuah bentuk kekecewaan terhadap pemerintah, yang dimana pemerintah dinyatakan gagal dalam menyelesaikan masalah di dalam negeri sehingga menyebabkan rakyat hidup dalam kesulitan.(Republika.co.id, 08/04/2022).

Tidak sampai disitu, seluruh mahasiswa yang tergabung dalam BEM seluruh Indonesia kembali melakukan aksi demonstrasi pada 11 April 2022. Pihak BEM SI memperkirakan 1.000 mahasiswa akan ikut demo. Koordinator Pusat BEM SI, Kaharuddin mengatakan, ada 6 tuntutan yang disuarakan pada aksi 11 April tersebut, salah satunya tuntutan terkait dengan penundaan pemilu di tahun yang sempat didesak pada aksi sebelumnya.

Kemudian kedua, mahasiswa menuntut dan mendesak Presiden Jokowi untuk menunda dan mengkaji ulang UU IKN termasuk dengan pasal-pasal yang bermasalah, serta dampak yang ditimbulkan dari aspek lingkungan, hukum, sosial ekologi, dan kebencanaan. Ketiga mendesak untuk menstabilkan harga dan ketersediaan bahan pokok di masyarakat. Keempat kami harap Presiden Jokowi mengusut tuntas para mafia minyak goreng serta mengevaluasi kinerja menteri. (Okezone.com, 10/11/2022).

Dengan begitu banyak polemik didalam negeri ini yang tidak ada tanggapan dari pemerintah, sudah sangat wajar mahasiswa turun ke jalan untuk menyampaikan kritikan dan aspirasi. Sebagai entetitas terpelajar mahasiswa tentu memiliki tawaran solusi atas problem dalam negeri. Disisi lain gerakan mahasiswa ini menjadi bukti bahwa gerakan mahasiswa masih ada, tidak mati suri. Meski demikian, kita tidak menginginkan arah perjuangan mahasiswa seolah mengulang kesalahan pada masa lalu, yakni masa peralihan dari orde baru ke reformasi.

Saat itu, ada anggapan bahwa peralihan tersebut menjadi angin segar bagi rakyat. Seiring berjalannya waktu, oligarki malah kian beringas. Rakyat tetap saja melarat, sementara penguasa sibuk mengkriminalisasi individu maupun kelompok yang memberi kritik membangun.

Pertanyaannya, apakah perjuangan hanya sebatas mengganti rezim lantas masalah selesai? Tentu tidak, ada hal yang paling mendasar yang harus mahasiswa pahami adalah akar dari permasalahan tersebut bersumber dari mana? Pemimpin atau undang-undangnya.?!! Oke lah bila ada yang mengatakan pemimpin tapi hal yang paling mendasar dari akar permasalah tersebut adalah Undang-undangnya atau aturan yang diterapkan sangat bertentangan dengan syariat Islam, kritikan dan tawaran solusi dari mahasiswa masih bersumber dari sebuah sistem sekuler yakni sebuah sistem yang tidak akan pernah mampu menyelesaikan berbagai problem dalam negeri.

BEM SI menginginkan perbaikan sistem demokrasi yang kini bercorak oligarki menjadi sistem demokrasi yang pro rakyat. Mereka berharap berbagai UU produk sistem demokrasi yang bercorak liberalisme direvisi. Mewakili jeritan masyarakat, mereka juga menolak berbagai kenaikan bahan kebutuhan pokok dan kenaikan pajak yang mencekik kehidupan yang semuanya dilegalisasi UU.

Mencermati tuntutan tersebut, tampak bahwa mahasiswa belum berpikir bahwa UU neoliberal yang dihasilkan wakil rakyat adalah konsekuensi penerapan kapitalisme, bukan semata produk rezim. Jadi, kezaliman yang terjadi hakikatnya merupakan akibat kezaliman sistem politik demokrasi, akidah sekularisme, dan ideologi kapitalisme.

Diibaratkan sebuah pohon yang rusak, yang dimana akan tumbuh pula cabang2, ranting serta buah yang tidak bagus nantinya. Kalau kualitas pohonnya sudah tidak bagus, menghasilkan tunas dan buah yang tidak bagus otomatis tidak pantas dikonsumsi. Maka dari itu yang harus dilakukan adalah muhasabah, mencabut pohon tersebut hingga ke akar-akarnya.

Mahasiswa seharusnya sadar bahwa revisi yang bersifat pragmatis tidak akan pernah bisa mengubah kondisi umat ini menjadi lebih baik, sebelum tuntunan-Nya dijadikan pedoman bagi kehidupan secara kafah. Setiap rezim berganti, tuntutan yang tidak bersifat fundamental akan berujung sia-sia. Setiap rezim berganti, kondisi negeri ini tidak akan berubah. Sebab, sistem rusak ini masih eksis, hanya berganti aktor saja.

Mahasiswa muslim sebagai agen perubahan sosial mestinya memiliki basis ideologi Islam dalam merespon persoalan sehingga bebas dari berbagai kepentingan yang melanggengkan kezaliman.

Jadi hal yang mendasar yang perlu mahasiswa lalukan adalah melakukan diskusi secara kontinu terkait dengan sistem pemerintahan dalam Islam dan pentingnya bagi mahasiswa untuk memahami makna politik ri’ayatus syu’unil ummah (pengurusan urusan rakyat). Jika mahasiswa enggan melakukan diskusi komparatif, yakin saja masalah negeri ini akan terus berulang, bak lingkaran yang tidak berujung.

Sebab kesulitan yang melanda negeri ini akibat masih terus mempertahankan sistem yang rusak, jadi salah satu solusi yang mampu menyelesaikan problematika umat ini adalah kembali kepada syariat Islam.

Wallahualam bishawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post