Polemik Minyak Goreng Yang Tak Kunjung Teratasi


Oleh Eti Setyawati
(Pemerhati Umat)

Sudah sekitar tiga bulan ini, terjadi antrian mengular ibu-ibu yang berburu minyak goreng murah di beberapa mini market atau ritel modern. Hal itu diakibatkan menghilangnya minyak goreng dari pasaran. Kalaupun ada dibanderol dengan harga mahal, jauh dari harga minyak goreng umumnya.

Sungguh sebuah ironi, di negeri penghasil CPO (Crude Palm Oil) yang merupakan bahan dasar minyak goreng terbesar di dunia mengalami kelangkaan minyak goreng. Berlarut-larutnya permasalahan ini mengindikasikan ada yang salah dengan tata kelola sawit di Indonesia. Cuit Fadli Zon lewat akun Twitter @fadlizon, Rabu (23/2).

Bahkan kebijakan yang diambil pemerintah mulai dari kebijakan satu harga, subsidi minyak goreng hingga pembatasan ekspor CPO tak menuai hasil. Minyak goreng tetap saja langka di pasaran.

Setidaknya ada dua catatan penting dari kegagalan intervensi pemerintah dalam penanganan krisis minyak goreng. Pertama, kebijakan subsidi harga yang tak tepat sasaran, contohnya konsumsi minyak goreng rumah tangga 61% adalah minyak curah tetapi subsidi dilakukan pada minyak kemasan premium. 

Kedua, pembatasan keran ekspor melalui Domestic Market Obligation (DMO). Pemerintah menekan volume ekspor CPO dengan harapan pasokan CPO domestik meningkat. Namun alokasinya tidak terserap optimal untuk produksi minyak goreng(,) tetapi justru digunakan untuk bahan baku biodiesel.

Menurut catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang sistem pengelolaan komoditas kelapa sawit juga diketahui bahwa hampir Rp2 triliun atau lebih dari 50 persen subsidi biodiesel yang dialokasikan dari dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dinikmati oleh sekelompok usaha.

"Artinya hampir setengah pasar dikendalikan oleh empat produsen minyak goreng. Dominasi sekelompok pelaku usaha inilah yang membuat struktur pasar perkebunan sawit cenderung oligopolistik," kata mantan Wakil Ketua DPR RI itu. (cnnindonesia, 23/2/2022).

Empat jawara minyak tersebut adalah Wilmar Group, Indofood Group, Musim Mas Group dan Royal Golden Eagle Internasional. Dominasi kelompok industri inilah yang membuat mereka mampu menetapkan dan mengendalikan harga. Hingga kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tak efektif mengatasi kelangkaan minyak goreng. 

Belum lagi temuan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) yang mendapati beberapa penyimpangan penyebab kelangkaan minyak goreng, di antaranya adalah:
1. Pembatasan pasokan dari distributor kepada toko ritel. Ada upaya dari distributor minyak goreng justru memberikan produksinya kepada industri yang berani membayar lebih mahal dibanding jual mennual ke masyarakat dengan HET yang sudah ditentukan yaitu Rp14.000/liter.

2. Penyusupan stok ke pasar. Banyak pedagang pasar membeli minyak goreng bukan dari distributor atau agen tetapi dari toko ritel untuk dijual kembali ke pasar tradisional dengan harga yang lebih tinggi.

3. Pembelian minyak goreng dengan cara bundling. Pedagang menetapkan syarat tertentu untuk bisa mendapatkan minyak minyak murah. Misalnya dengan membeli dulu paket produk barang lainnya maka bisa membeli minyak goreng dengan harga murah. Bentuk penyimpangan lainnya adalah dengan sistem membership. Pedagang menggunakan trik-trik tertentu untuk menggenjot penjualan. Misalnya, member A hanya bisa membeli satu liter minyak goreng sedang member B bisa membeli 5 liter minyak goreng. Siapa yang diuntungkan dari praktek-praktek dagang seperti ini? Tentu saja para pengusaha. Mereka mengambil keuntungan sebesar-besarnya di tengah derita rakyat dari sistem seperti ini.

Amburadulnya tata kelola minyak goreng ini berpangkal pada penerapan sistem ekonomi kapitalis. Bahkan negara tak mampu mengendalikan praktek kartel yang kian masif di negeri ini. Ini terjadi sebagai akibat dari diserahkannya pengelolaan sumber daya alam pada swasta. 

Perlu ketegasan pemerintah agar pasar sawit tidak didominasi oleh beberapa kelompok saja. Misalnya dengan mengambil alih pengelolaan sumber daya alam atau memberi sanksi kepada para pelaku praktik kartel dengan mencabut izin usahanya.

Berbeda dengan sistem Islam dimana pengelolaan lahan dan pertanian bertumpu pada terwujudnya ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat. Menjadi tanggung jawab negara untuk mengatur dari hulu hingga hilir. Mulai dari aturan penguasaan lahan, prioritas produksi untuk kebutuhan dalam negeri, mencegah monopoli dan oligopoli, hingga dukungan penuh pada para petani dengan memberi modal, teknologi, dan sebagainya.

Adapun untuk mengatasi penimbunan, sesuai sabda Rasulullah saw,

مَنْ اِحْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ

"Siapa saja yang menimbun, dia berbuat kesalahan." (HR. Muslim)

Celaan terhadap orang yang menimbun artinya dia berdosa dan bermaksiat. Penimbun dijatuhi sanksi ta'zir yaitu harus menawarkan dan menjual barangnya pada konsumen dengan harga pasar.

Jika barang tersebut tidak ada kecuali pada orang yang menimbun ini maka negara turun tangan. Menyediakan barang tersebut di pasar dengan mendatangkan dari berbagai tempat. Dengan begitu permainan harga bisa dicegah.

Pada masa Khalifah Umar bin Khattab pernah terjadi paceklik/kelangkaan makanan hingga terjadi kelaparan di Hijaz. Sementara harga melonjak karena kelangkaan maka Umar mendatangkan makanan dari Mesir dan Syam.

Saatnya meninggalkan sistem batil yang gagal mewujudkan kesejahteraan rakyat dan diganti dengan sistem Islam yang memberi solusi efektif untuk memenuhi kebutuhan rakyat.

Wallaahu a'lam bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post