PESTA DEMOKRASI DITUNDA, SIAPA YANG DIUNTUNGKAN?


Oleh : apt. Sugiarti S.Si
(Aktivis Muslimah SulSel)


Sudah menjadi hal yang biasa dalam sistem Demokrasi setiap 5 tahun sekali diadakan pemilihan wakil rakyat. Namun kali ini ada yang berbeda, dengan dalih fokus pada perbaikan ekonomi, sejumlah petinggi partai politik mengeluarkan wacana pemilu dan pilpres 2024  akan ditunda. 

Empat pejabat teras Partai Amanat Nasional (PAN) datang ke rumah dinas Zulkifli Hasan di kompleks Widya Chandra, Jakarta pada 13 Februari lalu. Mereka diundang untuk membicarakan topik yang sangat serius: penundaan pemilu 2024 atas arahan seorang menteri koordinator di Kabinet Indonesia Maju.

Saat berbincang dengan petinggi PAN, Zulhas menceritakan pertemuannya dengan Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan beberapa waktu lalu. Zulhas mengaku diundang Luhut khusus membicarakan usulan penundaan pemilu dan pilpres 2024. PAN diminta untuk mendukung dan harus disampaikan ke publik oleh ketua umum dalam Rapat Koordinasi Nasional Pemenangan Pemilu PAN yang digelar 15 Februari lalu. Luhut mengklaim Presiden Jokowi sudah setuju (CNNIndonesia.com/02/03/2022). 

Wacana ini lalu mendapatkan penolakan dari partai oposisi yang tidak ingin kehilangan kesempatan untuk bersaing meraih kursi pemerintahan. Partai utama pengusung Jokowi dan pemenang Pemilu 2014-2019 PDI Perjuangan, melalui Sekretaris Jenderalnya Hasto Kristiyanto justru meminta tak perlu adanya penundaan. NasDem melalui Ketua Umumnya Surya Paloh juga menolak, begitu dengan Ketua Umum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), kemudian elite Gerindra dan diikuti sejumlah kader dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) (Liputan6.com/ 02/03/2022).

Pro kontra yang terjadi tanpa mengetahui bagaimana penyelesaian inilah yang kita dapatkan jika menerapkan hukum buatan manusia yang hanya berlandaskan pada asas manfaat dan kepentingan serta tidak mengindahkan sisi kemaslahatan, apalagi hukum Syara.

Penundaan Pemilu Mengakali Konstitusi

Diatur jelas dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada  Pasal 7 mengatakan bahwa; Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.

Kemudian di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pasal 169 huruf N disebutkan syarat capres dan cawapres adalah; belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama.

Bahkan ditegaskan, dalam Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009 dijelaskan pula soal satu masa jabatan, yakni; Setengah masa jabatan atau lebih dihitung sebagai satu kali masa jabatan.

Artinya, jika ingin menunda Pemilu 2024, maka sebelumnya harus melakukan amandemen terhadap UUD 1945 
(Liputan6.com/02/03/2022)

Peneliti Pusat Politik BRIN, Firman Noor mengungkapkan bahwa Konstitusi tidak bisa diubah dengan mudah hanya karena adanya kepentingan beberapa pihak. Ia khawatir jika wacana penundaan pemilu terus dimunculkan dan akhirnya benar-benar diakomodir, masyarakat akan kehilangan kepercayaan pada demokrasi. “Jangan sampai demokrasi hanya ada di atas kertas, tapi secara substansi sebetulnya oligarki atau kepentingan elite, ya nuansa kepentingan pragmatis (Kompas.com/ 02/03/2022).

Demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang berlandaskan pada asas kapitalis sekuler yakni memisahkan urusan agama dan kehidupan. Sistem demokrasi  melahirkan kekuasaan tirani oligarki, yakni kekuasaan dan pengaturan publik dikuasai sekelompok kecil masyarakat.

Dalam sistem Demokrasi kedudukan para wakil rakyat didasarkan pada banyaknya dukungan dari partai politik yang mayoritas dikuasai oleh para oligarki. Ketika menjalankan kekuasaan mereka tidak lagi menjadi masyarakat, melainkan menjadi wakil dari oligarki. Untuk bisa terus melanggengkan kekuasaannya, dilakukanlah banyak cara salah satunya adalah menunda dilaksanakannya pemilihan umum.

Kepemimpinan Dalam Islam

Sebagaimana tercantum dalam kitab Ajhizah Ad-Dawlah al-Khilafah karangan Taqiyuddin An-Nabhani bahwa Sistem Pemerintahan Islam bukan sistem Demokrasi menurut pengertian hakiki Demokrasi, baik dari segi bahwa kekuasaaan membuat hukum-menetapkan hal dan haram, terpuji dan tercela- ada di tangan rakyat, maupun dari segi tidak adanya  keterikatan dengan hukum-hukum Syariah dengan dalih kebebasan.

Adapun masalah umat memilih penguasa atau memilih Khalifah, hal itu merupakan perkara yang telah dinyatakan dalam nash-nash Syariah. Kedaulatan dalam Islam ada di tangan Syariah. Akan tetapi, baiat dari rakyat kepada Khalifah merupakan syarat mendasar agar seseorang menjadi Khalifah.
 
Demokrasi adalah sistem kufur. Bukan karena Demokrasi berbicara tentang pemilihan penguasa, sehingga hal itu bukan hal mendasar. Tetapi perkara yang mendasar dalam Demokrasi adalah menjadikan kewenangan membuat hukum berada di tangan manusia, bukan pada Allah, Tuhan alam semesta. Padahal Allah SWT berfirman :

Ù…َا تَعْبُدُونَ Ù…ِÙ†ْ دُونِÙ‡ِ Ø¥ِÙ„َّا Ø£َسْÙ…َاءً سَÙ…َّÙŠْتُÙ…ُوهَا Ø£َÙ†ْتُÙ…ْ ÙˆَآبَاؤُÙƒُÙ…ْ Ù…َا Ø£َÙ†ْزَÙ„َ اللَّÙ‡ُ بِÙ‡َا Ù…ِÙ†ْ سُÙ„ْØ·َانٍ ۚ Ø¥ِÙ†ِ الْØ­ُÙƒْÙ…ُ Ø¥ِÙ„َّا Ù„ِÙ„َّÙ‡ِ ۚ Ø£َÙ…َرَ Ø£َÙ„َّا تَعْبُدُوا Ø¥ِÙ„َّا Ø¥ِÙŠَّاهُ ۚ Ø°َٰÙ„ِÙƒَ الدِّينُ الْÙ‚َÙŠِّÙ…ُ ÙˆَÙ„َٰÙƒِÙ†َّ Ø£َÙƒْØ«َرَ النَّاسِ Ù„َا ÙŠَÙŠَعْÙ„َÙ…ُون

Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui" (TQS Yusuf (10) : 40).

Khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam menjalankan pemerintahan, kekuasaan, dan penerapan hukum-hukum syariah. Hal itu karena islam telah menjadikan pemerintahan dan kekuasaan sebagai milik umat. Untuk itu diangkatlah seseorang yang melaksanakan pemerintahan sebagai wakil dari umat. Allah telah mewajibkan kepada umat untuk menerapkan seluruh hukum Syariah.

Syarat In’iqad Khalifah adalah muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka, dan memiliki kemampuan.  Pengangkatan Khalifah adalah dengan cara baiat, sedangkan masa kepemimpinan Khalifah tidak mempunyai masa tertentu yang dibatasi dengan patokan waktu tertentu. Selama khalifah masih tetap menjaga keterikatan dengan hukum Syara, menerapkan hukum-hukumNya, serta mampu melaksanakan berbagai urusan negara dan tanggungjawab Kekhilafahan, maka ia tetap sah menjadi Khalifah. Sebab, teks baiat yang terdapat di dalam hadis-hadis, semuanya bersifat mutlak dan tidak terikat dengan jangka waktu tertentu.

Wallahua’llam Bissawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post