NEGARA PEMALAK, PPN DINAIKKAN LAGI


Oleh: Ika Wulandriati, S.TP

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa kebijakan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 11 persen, dari semula 10 persen akan berlaku pada 1 April 2022. Kebijakan ini diterapkan guna menciptakan fondasi pajak negara yang kuat. Dalam upaya mereformasi perpajakan melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) ditetapkan kenaikan tarif PPN 11 persen mulai 1 April 2022 dan naik lagi menjadi 12 persen paling lambat 1 Januari 2025.“(tak ditunda) karena kita menggunakannya kembali kepada masyarakat. Fondasinya tetap harus kita siapkan karena kalau tidak, kita nanti kehilangan kesempatan,” ucapnya dalam webinar Economic Outlook 2022, Selasa (22/3).

Dan menurut Menkeu, kenaikan PPN ini masih tergolong rendah, mengingat rata-rata PPN di seluruh dunia adalah sebesar 15 persen. Di sisi lain, Indonesia hanya naik dari 10 persen menjadi 11 persen dan akan menjadi 12 persen pada 2025. Jawa pos.com (22/3/2022). 
“Kita (pemerintah) paham bahwa sekarang ini fokus kita pada pemulihan ekonomi, namun fondasi untuk pajak yang kuat harus mulai dibangun,” jelas Menkeu.

Waduh, di tengah kesulitan rakyat menjangkau harga minyak goreng, yang begitu mahal malah Menkeu dengan ringannya mengatakan menaikkan tarif PPN bukan untuk menyusahkan rakyat. Sepertinya empati memang bukan sifat dari para pemangku kekuasaan dalam sistem demokrasi.

Ekonom Faisal Basri menilai keputusan pemerintah untuk menaikkan PPN sangat memaksakan. Ia pun menanyakan keberpihakan pemerintah yang seakan-akan membuat kebijakan untuk masyarakat Cina bukan warga asli Indonesia. Perusahaan Cina mendapat fasilitas royalti nol persen. Sementara tarif PPN dinaikkan untuk dibebankan pada rakyat. CNBCIndonesia (25/03/2022).

Negeri di mana warga negaranya lahir dan dibesarkan, tetapi kebijakan yang diputuskan tidak pernah pro pada kepentingan rakyat melainkan selalu kepada para investor. Semestinya rakyat berhak marah dan tidak mempercayai lagi semua kebijakan rezim sistem demokrasi. Jika terus-menerus begini, sistem ini layak diganti dengan sistem Islam yang berkeadilan dan menjamin kesejahteraan.

Kenaikan tarif PPN bermuara pada satu kepentingan, yaitu menggenjot penerimaan pajak. Negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme seperti Indonesia akan selalu menggantungkan penerimaan negara pada sektor pajak. Meski Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) di laut, gunung, dan tanah; penerimaan dari sektor tersebut sangat kecil daripada penerimaan pajak. Pajak adalah sebagai tumpuan penerimaan negara seolah sudah menjadi doktrin dari sistem kapitalisme. Doktrin lainnya adalah liberalisasi kekayaan alam.

Lengkap sudah, mengobral kekayaan alam ke swasta, pembiayaan operasional negara pun harus dengan menodong pajak pada rakyat. Rakyat yang sudah gigit jari karena tak bisa menikmati kekayaan alam negerinya harus makin gigit jari karena terbelit kewajiban pajak yang beraneka ragam jenisnya. Hampir setiap aspek kehidupan rakyat kena pajak. Mulai dari penghasilan, tempat tinggal, kendaraan, hingga kebutuhan harian rumah tangga pun ada pajaknya.

Sungguh, harapan satu-satunya hanya ada pada Islam. Sistem Islam tegak di atas landasan yang benar, yang melahirkan aturan yang juga benar, yakni aturan yang menyolusi seluruh problem kehidupan, sekaligus menjamin keadilan dan kesejahteraan. Dalam Islam, kesejahteraan adalah hak setiap individu rakyat. Aturan-aturannya datang untuk memastikan hal tersebut tercapai sempurna. Islam pun mengatur soal kepemilikan berlandaskan paradigma halal dan haram. Dengan aturan ini, negara memastikan tiap individu memiliki sumber-sumber kekayaan minimal. Kemudian, ditopang oleh peran negara yang dipastikan memiliki modal membangun dan mewujudkan kesejahteraan. Dalam sistem Islam, terdapat begitu banyak pos pendapatan negara. Salah satunya dari kekayaan alam yang secara syar’i ditetapkan sebagai milik umat. 

Adapun negara mendapat amanah oleh Allah untuk mengelola harta milik umat dalam fungsi utamanya sebagai pengurus dan penjaga umat. Dengan harta itulah negara menjamin sebesar-besar kesejahteraan rakyat melalui mekanisme yang dipastikan memberi rasa keadilan bagi semua.

Kekayaan yang ada dalam perut tanah air kita dan umat Islam di berbagai wilayah nyaris tak ada habisnya. Ada minyak, gas, emas, perak, intan, tembaga, uranium dan lainnya. Belum kekayaan yang ada di perairan dan hutan rimba. Semuanya lebih dari cukup untuk membuat rakyat bahagia. Sayang, penerapan sistem kapitalisme hari ini justru membuat semua kekayaan milik umat ini dirampok oleh kapitalis rakus, baik lokal maupun asing. Di luar sumber daya alam itu, masih banyak pos penerimaan yang akan mengisi kas baitulmal negara Islam. Antara lain berupa jizyah, ganimah, fai’, kharaj, usyur, rikaz, dan juga zakat. Hanya saja, pemanfaatan zakat ini harus mengikuti aturan khusus yang ditetapkan. Negara dalam Islam tak akan menarik pungutan semacam pajak dalam sistem sekarang. Kalaupun ada istilah pungutan yang disebut dharibah, faktanya berbeda dengan konsep pajak dalam kapitalisme. Dharibah hanya dipungut saat kas negara kosong dan upaya lain sudah ditempuh maksimal oleh negara. Dharibah juga hanya dipungut dari orang kaya dari kaum mukminin. Memungut kepada selain mereka disebut sebagai kezaliman yang ancamannya adalah api neraka. WaLlah a'lam bi ash-shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post