Menyoal BPJS, Si Kartu Sakti Produk Sistem Kapitalis


Oleh : Ummu Utsman 

Kartu BPJS kini lagi naik daun. Betapa tidak, sekarang mau kuliah? Pakai BPJS. Mau jual tanah? Pakai BPJS. Mau umroh dan naik haji? Pakai BPJS. Mau buat STNK dan SKCK? Pakai PBJS. Semua? Pakai BPJS. Ya, BPJS ini sekarang jadi kartu sakti. 

Sebagaimana diketahui, pemerintah telah mengeluarkan Inpres No.1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional. Dalam peraturan tersebut berbagai pembuatan dokumen seperti membuat SIM, SKCK, STNK dan berangkat haji atau umroh wajib menyertakan kartu PBJS. Bahkan kini jual beli tanah pun harus menjadi peserta aktif di BPJS. Peraturan ini berlaku mulai awal Maret 2022 (bogor.tribunnews.com) 

Dilansir dari cnnindonesia.com, Pada sebuah video wawancara antara Humas BPJS M. Iqbal Anas Maruf dan pengamat kebijakan publik Trubus Rahardiyansah dari Trisakti. 
M. Iqbal mengatakan bahwa Inpres ini adalah upaya untuk mempercepat masyarakat mengikuti program BPJS kesehatan. Sebab, jika hanya menunggu dari kesadaran masyarakat akan sangat lama. Sedangkan pengamat kebijakan publik, Trubus mengatakan, kebijakan ini terlalu cepat dan seolah-olah memaksa masyarakat untuk ikut. Padahal masyarakat akan ikut BPJS, jika pelayanan dan fasilitas dari BPJS bisa memuaskan masyarakat.

Si kartu sakti BPJS kini dijadikan syarat berbagai keperluan dokumen. Terang saja hal tersebut menuai beragam reaksi dan kontroversi di tengah-tengah masyarakat. Mayoritas masyarakat berpendapat, bahwa kebijakan ini sungguh aneh dan tidak relevan. Sebagian lainnya mengatakan, bahwa kebijakan ini sangat menyulitkan masyarakat. Jika ditilik, memang kebijakan tersebut pada realitanya hanya menambah rentetan kezaliman negara terhadap rakyat, karena dengan ini, negara memaksa semua rakyat untuk ikut BPJS.

Dikutip dari Mediaumat.id, menurut Pengamat Ekonomi Arim Nasim, "Ini semakin menambah kezaliman negara terhadap rakyat dengan memaksa semua rakyat untuk ikut asuransi BPJS," (20/2/2022). 

Sungguh miris. Rakyat dipaksa untuk ikut BPJS, tetapi BPJS sendiri tidak memberikan fasilitas dan layanan yang memuaskan bagi rakyat. Bahkan faktanya, sedari awal kelahirannya BPJS terus menuai kontroversi. badan ini bukannya menjadi solusi terhadap permasalahan kesehatan di negeri ini, melainkan hanya menambah problematika saja. Di antaranya adalah pelayanan kesehatan yang kian hari kian memburuk, defisit anggaran, tidak ada transparansi dalam aspek keuangan, kebocoran data, dan masih banyak masalah lainnya.

Diantara hal yang paling membebankan rakyat adalah tarif BPJS yang terus membengkak. Di tengah pandemi saat ini, laju perekonomian sangat lambat dan sulit. Ditambah rakyat banyak yang sakit dan amat membutuhkan bantuan negara. Negara malah terus memalak rakyatnya. Dimana hati nurani para penguasa? 

Semua permasalahan ini, berakar pada kapitalisasi kesehatan. Kesehatan diserahkan pada segelintir pemilik modal (swasta). Jelas jika swasta yang mengelola, target dan tujuannya bukan lagi kesejahteraan rakyat, melainkan keuntungan. Sistem kapitalis meniscayakan negara mengambil keuntungan dengan berlepas tangan dari tanggung jawab mengurus urusan kesehatan rakyatnya.

Dalam pandangan kapitalisme, peran negara hanya sebagai regulator saja. Negara tidak berperan meriayah (mengurus), tapi jualan. Paradigma inilah yang tengah diterapkan di negeri ini. Apa pun kebutuhan rakyat hanya akan diperoleh jika ada uang.

Jika sekarang ada istilah "Orang miskin dilarang sakit." atau bahkan "Orang miskin dilarang hidup." ini bisa jadi sebuah kenyataan. Kesulitan demi kesulitan terus dialami oleh si miskin. Sedangkan di sisi lain, para pemilik modal dan korporasi terus menumpuk dan mendulang kekayaan tanpa memiliki hati. Mereka adalah pengusaha yang juga penguasa. Untuk memuluskan jalannya, mereka buat kebijakan-kebijakan melalui Undang-Undang. Alhasil, kebijakan yang mereka buat melalui undang-undang, hanya demi kepentingan mereka sendiri. Tidak ada keberpihakan terhadap rakyat. 

Amat berbeda dengan Islam. Dalam pandangan Islam, penguasa adalah Raa'in (pengurus). Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, "Pemimpin adalah pengurus dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang diurusnya (rakyatnya)." (H.R Muslim)

Maka, dalam sistem Islam yaitu khilafah, seorang pemimpin (Khalifah) berperan sepenuhnya sebagai pelayan umat. Tugasnya mengurusi segala urusan umat. Di antara hal yang wajib diurus salah satunya adalah masalah kesehatan. Kesehatan adalah salah satu masalah vital. Dan ini merupakan hak dasar setiap warga negara yang dijamin negara. Baik miskin maupun kaya akan diberikan pelayanan yang terbaik dan gratis.

Sebagaimana dicontohkan oleh suri tauladan kita, Rasulullah SAW. Beliau pernah diberi hadiah seorang dokter. Namun, dokter (tabib) tersebut diperuntukkan tidak hanya melayani) Rasulullah SAW, tapi juga melayani masyarakat umum.

Kemudian, pada masa era peradaban emas khilafah, masa pertama kali dibangun rumah sakit dengan pelayanan dan fasilitas yang bagus dan lengkap. Bahkan para pelancong dari luar daulah pun ingin mencoba dan merasakan pelayanan rumah sakit tersebut. Tidak hanya itu, berbagai riset pun dilakukan untuk menunjang kepentingan kesehatan masyarakat yang terus berkembang. 

Dalam Khilafah, semua kebutuhan dana untuk kesehatan ditanggung oleh Baitul Mal (kas negara). Adapun sumber pemasukan dananya berasal dari harta negara dan fasilitas umum. Seperti dari jizyah, kharaj, fa’i, dan ghanimah. Sama sekali tidak membebani rakyat.

Demikianlah sistem Islam mengatasi persoalan kesehatan umat dengan tuntas. Islam amat memuliakan dan mampu menyejahterakan manusia. Islam pun nyatanya menjadi problem solver problematika umat manusia. Sebab, hukum yang diterapkan dalam sistem Islam adalah hukum yang berasal dari Sang Pencipta manusia yaitu Allah SWT. Tidakkah kita merindukannya?

Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post