Memberangus Tikus Penimbun


Oleh : Safitri Fathin

Sampai hari ini rakyat masih dibuat menggeliat ditekan kebutuhan harian yang harganya tak waras, bahkan stoknya terkuras. Salah satunya adalah minyak goreng. 

Minyak goreng semakin langka dan mahal di pasaran sejak awal tahun 2022. Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan pun mengeluarkan aturan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng sawit.

Aturan yang tertera dalam Permendag Nomor 6 Tahun 2022 menetapkan harga minyak goreng curah Rp 11.500 per liter, minyak goreng kemasan Rp 13.500 per liter, dan minyak goreng kemasan premium Rp 14.000 per liter.

Sementara, pantauan di pasar, harga minyak goreng curah maupun dalam kemasan saat ini masih bertahan mahal di kisaran Rp 18.000 dan Rp20.000 per liter.

Sungguh ironi, kelangkaan minyak goreng terjadi pada negeri penghasil kelapa sawit tertinggi. Menurut temuan Ombudsman RI (ORI), ada tiga faktor yang menyebabkan minyak goreng langka dan mahal di pasaran.

Yang pertama adalah karena adanya penimbunan. Sebagaimana yang ditemukan Tim Satgas Pangan Sumatera Utara, mengungkapkan keberadaan 1,1 juta kilogram minyak goreng siap edar di Deli Serdang, Sumatra Utara. Adanya dugaan penimbunan ini jelas meresahkan dan memantik geram. Di tengah masyarakat yang mati-matian menyambung hidup, para pengusaha justru bertindak licik dan rakus. 

Penyebab kedua adanya oknum yang sengaja membuat minyak goreng langka di pasaran. upaya pengalihan penjualan minyak goreng dari ritel modern ke pasar tradisional membuat konsumen sulit mendapatkan minyak goreng di ritel modern supaya bisa dijual dengan harga yang lebih mahal.

Penyebab terakhir yang membuat minyak goreng langka dan mahal adalah panic buying yang dilakukan oleh masyarakat. Ketidakjelasan informasi dan tidak ada jaminan mengenai ketersediaan stok minyak goreng di pasaran membuat masyarakat melakukan panic buying. Rakyat berbondong-bondong memborong minyak goreng saat stok tersedia, terlebih saat pemerintah memberikan subsidi.

Selain itu, seorang analis politik, Rocky Gerung menekankan, produsen sawit terbesar mustahil jika megalami kelangkaan minyak goreng. Rocky mengatakan pemerintah sengaja membuat sawit buat pangan dihentikan atau dikecilkan demi kepentingan biodiesel dengan nilai jual lebih tinggi.

*Lumpuhnya Penguasa di Hadapan Korporat*

Belakangan diketahui, pemilik dari timbunan minyak goreng di gudang tersebut adalah anak perusahaan dari Grup Salim milik konglomerat Anthony Salim, yakni PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP).

Manajemen SIMP berdalih bahwa mereka memprioritaskan produksi untuk pemenuhan kebutuhan industri yang tergabung dalam grup perusahaan itu. Jika memang demikian, tentu minyak goreng tersebut tidak berbentuk kemasan yang siap edar. 

Sebenarnya kebijakan DMO dan DPO sudah diberlakukan pada 27 Januari 2022. Kebijakan ini ditujukan pada eksportir, mereka wajib memasok minyak goreng ke dalam negeri sebesar 20 persen dari total volume ekspor masing-masing setelah aturan itu terbit. Seiring dengan penerapan kebijakan DMO dan DPO, pemerintah juga menetapkan aturan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng guna menjaga stabilitas harga.

Namun adanya kebijakan DMO juga tak berpengaruh banyak bagi perusahaan raksasa. Tak bisa dipungkiri, bahwa hari ini hukum telah dilumpuhkan oleh para pemilik modal. Pemerintah seolah tak kuasa memberangus mafia penimbun minyak.
 
*Islam Sapu Bersih Para Oportunis*

Tak bisa dielakkan bahwa rakyat sedang dihadapkan pada buntunya jalan. Menyaksikan polah tingkah penguasa yang penuh drama dan pencitraan, sambil gigit jari menahan kesal.
 
Yang perlu disadari, memang beginilah tabiat/alaminya sistem kapitalisme. Sistem yang diduduki orang-orang yang hanya memikirkan untung dan rugi. Jika mengutamakan ekspor bisa membuahkan keuntungan berlipat, untuk apa barang diedar di tengah rakyat. Jika pemerintah akan mendapat cipratan lebih banyak, untuk apa bersusah menghukum para penimbun minyak. Begitulah yang ada dalam kepala pengusaha dan penguasa. 

Padahal dalam Islam jelas, aktivitas menimbun adalah sesuatu yang dilarang. Rasulullah Saw bersabda, "Tidaklah melakukan penimbunan, kecuali orang yang berbuat kesalahan (dosa)." (HR Muslim). Selama yang diterapkan adalah sistem kapitalisme, maka munculnya mafia dan kartel bukanlah sesuatu yang mengherankan. Karena orientasi para kapital adalah untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Maka, akankah pemerintah terus membiarkan tikus-tikus kartel berkeliaran? ataukah memilih jalan Islam kemudian menyikat bersih mafia minyak yang berceceran? Itu pilihan.

Wallahu a'lam bishowab.

Post a Comment

Previous Post Next Post