Kenaikan Harga Kedelai Terus Berulang, Islam Solusi Hakiki


Oleh Desi Rahmawati 
Ibu Rumah Tangga

Setelah gejolak kenaikan  harga minyak goreng, masyarakat harus menelan pahitnya kenaikan harga tahu dan tempe akibat harga kedelai yang mahal. Sebagaimana prediksi Kementerian Perdagangan (Kemendag) bahwa dalam waktu dekat harga tempe dan tahu akan mengalami kenaikan di tingkat masyarakat karena makin mahalnya harga kedelai dunia. (www.kompas.com, 18/2/22)

Sungguh Ironis! Kenaikan harga kedelai yang terus berulang setiap tahun terjadi di negeri Indonesia yang terkenal agraris. Lantas apa yang menyebabkan harga kedelai terus mengalami kenaikan? Bagaimana solusi tuntas mengatasinya?

Pemerintah mengklaim, kenaikan ini terjadi karena pasokan impor kedelai dari Brazil dan Argentina sedang mengalami gagal panen. Miris ya, ternyata tahu dan tempe yang kita konsumsi selama ini bahan bakunya diimpor  dari luar negeri. 

Padahal, pemerintah sendiri yang menjanjikan untuk swasembada kedelai. Janji ini pun tampaknya hanya tinggal janji. Melansir suara.com 14/2/2022, mahalnya harga kedelai dalam beberapa waktu belakangan membuat  Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo angkat suara. Dia mengklaim, pihaknya kesulitan menggenjot produksi kedelai dalam negeri karena anggaran yang dipangkas  akibat pandemi Covid-19. Imbasnya, kebutuhan kedelai dalam negeri harus dipenuhi  dengan mengimpor sebanyak 2,4 juta ton.

Faktor lainnya yang membuat harga kedelai tinggi, petani dalam negeri tidak terlalu tertarik untuk menanam kedelai karena harga jual yang murah. Hal ini diakibatkan petani tidak mendapatkan subsidi pupuk dan bibit kedelai varietas unggul. Akibatnya mengimpor lebih besar.

Sementara itu, melansir kompas.com pada 19/2/2022, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menjelaskan, dua penyebab harga kedelai impor mahal di Indonesia. Penyebab pertama adalah cuaca buruk badai El Nina di Argentina, Amerika Selatan. Hal itu mengakibatkan harga kedelai per gantang naik dari 12 dolar AS menjadi 18 dolar AS. Penyebab kedua adalah permintaan kedelai tinggi, terutama dari Cina, untuk pakan lima miliar babi di sana. 

Tidak jauh berbeda, Komisi Pengawasan  Persaingan Usaha (KPPU) melalui eks Ketua KPPU Tajuddin Noer Said pada 30/7/2012 pernah mengungkapkan melambungnya harga kedelai Indonesia pada dasarnya disebabkan oleh dana Moneter International atau IMF. Sebelum 1998, Indonesia meminta IMF untuk membantu mengatasi masalah krisis ekonomi Indonesia, dengan syarat Indonesia harus membuka pasarnya. Inilah awal negeri kita menjadi ketergantungan dengan impor.

Demikianlah konsekuensi yang harus ditanggung oleh sebuah negara, jika membuka keran investasi dan pinjaman luar negeri terlalu lebar. Potensi intervensi dari negara penanaman modal dan pemberi utang sangat besar. Akibatnya Indonesia harus sangat bergantung pada impor dan akhirnya pemerintah tidak serius menuju program kemandirian pangan.

Dalih refocusing anggaran Covid-19 sebagai salah satu alasan mahalnya harga kedelai, sangat kurang bijak untuk dilontarkan. Kedua masalah tersebut masing-masing merupakan urusan yang wajib diselesaikan pemerintah. Namun apa daya sistem kapitalisme diterapkan di negeri ini. Dengan tujuan utama keuntungan materi,  negara lebih memilih membuka keran impor kedelai ketimbang melakukan perbaikan mendasar sistem pertanian yang dianggap memerlukan banyak biaya serta waktu.

Sistem kapitalisme ini jelas menimbulkan mudarat bagi umat. Karenanya sudah saatnya negeri ini hijrah kepada penerapan Islam secara kafah dalam seluruh aspek kehidupan. 

Swasembada pangan yang merupakan kebijakan pangan dalam Islam, berpijak pada independensi. Kunci utamanya adalah politik pertanian yang mengacu pada peningkatan produksi pertanian dan distribusi pangan yang adil.

Dalam Islam, pemerintah menerapkan tiga cara untuk mencapai swasembada pangan. Pertama, menghentikan aktivitas impor dan melarang negara melakukan ekspor pangan sampai kebutuhan pokok setiap individu terpenuhi. Dalam pemberdayaan sektor pertanian, negara akan memberikan modal bagi siapa saja yang tidak mampu.

Kedua, menggalakkan kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. Intensifikasi dilakukan dengan meningkatkan produktivitas lahan yang sudah tersedia. Membantu pengadaan mesin-mesin pertanian, benih unggul, pupuk, serta sarana produksi pertanian lainnya.

Adapun ekstensifikasi dapat dilakukan dengan cara membuka lahan-lahan baru dan menghidupkan tanah mati, serta memerintahkan setiap orang yang memiliki tanah untuk mengelolanya secara optimal.

Ketiga, kebijakan distribusi pangan yang adil dan merata. Islam melarang penimbunan barang dan permainan harga di pasar, agar stabilitas harga pangan akan terjaga. Selain itu, negara akan memastikan tidak adanya kelangkaan barang.

Demikianlah mekanisme swasembada pangan dalam Islam, sehingga tetap fokus menangani setiap masalah yang menjadi kewajiban negara. Tidakkah kita merindukan kehidupan yang diatur dengan sistem Islam yang sejatinya membawa keberkahan?

Wallahu a'lam bishshawaab.

Post a Comment

Previous Post Next Post