Sah. Presiden Joko Widodo telah menandatangani Undang-Undang (UU) Ibu Kota Negara (IKN) Nomor 3 Tahun 2022 pada 15 Februari. Dengan demikian, pembangunan Ibu Kota Negara baru pun akan segera dimulai.
Sebagaimana diketahui sebelumnya, pembahasan RUU IKN dilakukan cukup singkat, kurang lebih 43 hari sejak pembentukan Pansus RUU IKN pada 7/12/2021, kemudian disahkan DPR dalam Rapat Paripurna pada Selasa (18/1/2022).
Menurut Direktur WALHI Kalimantan Timur Yohana Tiko, RUU IKN tidak mematuhi prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation) karena tidak melibatkan semua unsur masyarakat seperti nelayan, petani, dokter, masyarakat adat, perempuan, dan organisasi masyarakat sipil (beritasatucom, 18/1/2022).
Bertubi kritikan yang dilancarkan masyarakat terhadap pembangunan IKN yang tidak ada urgensinya, sepertinya tidak dianggap oleh orang nomor wahid di negeri ini.
Pengamat Politik Ujang Komarudin menilai pemindahan Ibu Kota Negara dari DKI Jakarta ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, merupakan kebijakan harga mati bagi Jokowi. Ia pun tidak heran jika proses mulai dari pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) menjadi UU IKN berlangsung dengan sangat lancar dan cepat. Meskipun berbagai penolakan masyarakat terkait pemindahan IKN semakin masif, tetapi menurut Ujang, hal tersebut akan menjadi angin lalu. (voaindonesia.com)
Di sisi lain, terkuak fakta bahwa koalisi masyarakat sipil, yakni Forest Watch Indonesia, JATAM Nasional, JATAM Kalimantan Timur, WALHI Nasional, WALHI Kalimantan Timur; serta Pokja Pesisir Trend Asia, Pokja 30 dan Nelayan melakukan kajian mendalam atas dokumen resmi pemerintah.
Hasil kajian tersebut mengungkap sejumlah nama politisi lokal dan nasional yang diduga akan mendapat keuntungan dari pemindahan IKN ke Kalimantan Timur. Di wilayah ring satu dan ring dua IKN terdapat ratusan konsesi yang dimiliki oleh para pengusaha dan politisi tersebut. Bisnis tambang mereka meninggalkan puluhan lubang menganga yang seharusnya direklamasi. Dengan pindahnya IKN ke wilayah tersebut, kewajiban reklamasi akan diputihkan dan menjadi beban negara. (kontan.co.id, 30/1/2022).
Sungguh ironis! Dari fakta tersebut semakin mengukuhkan bahwa, pemindahan IKN ini dilakukan karena banyaknya kepentingan dari para pengusaha dan kapitalis. Kepentingan rakyat yang utama terkait pengentasan kemiskinan dan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat tampak jelas tidak menjadi prioritas pemerintah. Padahal masyarakat secara masif sudah menolak proyek ini dilakukan karena tidak ada urgensi nya. Tidak ada untungnya bagi rakyat. Pemindahan IKN ini kenyataannya hanya untuk menjadi bancakan asing. Dimana hati nurani pemerintah? Pemerintah yang seharusnya mendengar aspirasi rakyat, yang notabene merupakan wakil rakyat, yang gaji nya dari uang rakyat, malah tuli ketika rakyat menyampaikan aspirasi. Inilah wajah buruk sistem kapitalis.
Sungguh amat berbeda dengan sistem Islam. Islam memandang bahwa negara atau pemerintah adalah pelayan umat (publik). Negara wajib memenuhi kebutuhan pokok rakyat beserta kebutuhan lain demi hidup layak. Negara harus menyediakan kebutuhan sarana dan prasarana apa pun untuk hajat hidup rakyat. Kemaslahatan rakyat adalah prioritas utama.
Sedangkan mengenai pemindahan IKN, dalam pemerintahan negara Islam pernah memindahkan IKN Khilafah sebanyak empat kali, mulai dari Madinah ke Damaskus, kemudian ke Baghdad, lalu ke Kairo, terakhir ke Istanbul, Turki. Namun, semua itu untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat, bukan untuk ambisi penguasa atau kepentingan segelintir orang.
Pemimpin dalam sistem Islam kafah adalah pelindung bagi rakyatnya. Di tangannya ada tanggung jawab besar mengurusi segala hal terkait kemaslahatan rakyat. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya seorang imam (kepala negara) laksana perisai, rakyat di belakangnya dan dia menjadi pelindung bagi rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Pemimpin dalam Islam menjalankan amanah-amanahnya sesuai petunjuk Allah SWT dan teladan Rasullah SAW semasa beliau menjadi kepala negara di Madinah.
Dalam sistem pemerintahan Islam kafah memiliki institusi bernama Majelis Umat, yakni masyarakat bisa menyalurkan aspirasi dan koreksi kepada penguasa atau pemimpin melaluinya. Jika pemimpin melakukan kesalahan dalam kebijakannya atau khilaf dalam perilakunya, rakyat bisa menyampaikan muhasabah melalui Majelis Umat dan pemimpin wajib menerima koreksi ini dengan lapang dada dan tidak menzalimi rakyatnya.
Dengan demikian, sudah saatnya sistem kapitalis yang rusak ini dicampakkan hingga ke akarnya, dan segera menggantinya dengan sistem Islam kafah dalam institusi negara khilafah yang akan memberikan kehidupan yang aman, tentram, dan sejahtera.
Wallahu a’lam bis shawab