> Terjadi Polemik Jaminan Hari Tua (JHT), Siapa Dirugikan? - NusantaraNews

Latest News

Terjadi Polemik Jaminan Hari Tua (JHT), Siapa Dirugikan?


Oleh Nur Fitriyah Asri
Penulis Opini Bela Islam

Sudah jatuh tertimpa tangga. Peribahasa ini sangat cocok untuk nasib para buruh atau pekerja. Gegara UU Omnibus Law nasib kaum buruh terzalimi. Banyak hak-hak buruh yang diamputasi demi menyenangkan tuannya. Kini, hak buruh terkait dana Jaminan Hari Tua (JHT) pembayarannya ditahan. Ada apa?

Saat ini, pelaksanaan Jaminan Hari Tua (JHT) diatur melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022, tentang  tata cara dan persyaratan pembayaran manfaat jaminan hari tua. Dalam aturan itu, ditetapkan bahwa JHT baru bisa dicairkan 100 persen setelah pekerja berusia 56 tahun.

Polemik pun mencuat, menimbulkan pertanyaan publik soal keamanan dana JHT yang diinvestasikan. Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BP Jamsostek), Anggoro Eko Cahyo, menyatakan dana jaminan hari tua (JHT) ditempatkan dalam investasi yang aman. Dana JHT yang diinvestasikan berkembang dengan baik dan tidak mengganggu pembayaran klaim. (kompas.tv. 17/2/2022)

Anggoro memerinci Dana JHT pada tahun 2021 tercatat Rp372,5 triliun. Hasil investasi JHT Rp24 triliun. Iuran JHT terkumpul Rp51 triliun. Adapun untuk pembayaran klaim sebesar Rp37 triliun, ditutup dari hasil investasi, kata Anggoro.

Dugaan Mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Muhammad Said Didu, bahwa dana JHT digunakan untuk pembiayaan pemerintah terbukti benar. Ini sesuai laporan BPJS  Ketenagakerjaan, menyebutkan total dana JHT mencapai R375,5 triliun pada 2021. Sebagian dana tersebut ditempatkan pada surat utang negara (SUN) untuk membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Anehnya, sebelum-sebelumnya selalu berkilah. Ternyata, fakta terkait surat utang negara (SUN) benar adanya. Muncul pertanyaan, kalau memang likuiditas SUN aman, mengapa uang pekerja harus ditahan? (Wartakota.com, 18/2/2022).

Penggerudukan para pekerja atau buruh ramai-ramai melakukan penolakan ke Kantor Menteri Ketenagakerjaan. Menaker, Ida Fauziyah yang meneken Permenaker (2/2/2022), dituntut mundur dituding sebagai biang kerok polemik pencairan JHT. Kemudian Fauziah menindaklanjuti ke Presiden Jokowi yang akhirnya membuahkan hasil JHT direvisi.

Terjadinya Polemik Jaminan Hari Tua (JHT), dapat dianalisis sebagai berikut:

Pertama, terbitnya Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 semakin mempertegas filosofi dan politik kebijakan ketenagakerjaan pemerintah yang lebih mementingkan investasi daripada untuk kepentingan rakyatnya. Apalagi, JHT adalah uang murni milik buruh/pekerja yang dipotong setiap bulannya untuk tabungan di hari tuanya, bukan uang pemerintah.
Pada hakekatnya JHT adalah hak pekerja. Jika pencairan dana JHT dibatasi hingga berusia 56 tahun, bagaimana dengan nasib pekerja korban PHK, yang mengundurkan diri karena dampak pandemi, dan lainnya? Padahal, menurut data BPJS Ketenagakerjaan hingga Agustus 2021 ada 1,49 juta kasus yang didominasi oleh PHK. Jadi, pekerja/buruh membutuhkan JHT untuk bertahan hidup sambil mencari kerja, atau untuk modal usaha, dan menutupi kebutuhan lainnya. Ternyata, kebijakan pemerintah sungguh menyengsarakan rakyatnya, zalim.

Kedua, kebijakan yang tidak sensitif dan empati terhadap kondisi rakyat. Rakyat menderita karena dampak pandemi, banyaknya PHK, sulitnya mencari lapangan kerja, biaya hidup yang tinggi, kemiskinan meningkat, balita dan anak-anak kurang gizi, dan lainnya. Seharusnya, penguasa empati atas kondisi rakyaknya. Bukannya, dana JHT milik buruh diatur-atur untuk menutupi APBN yang defisit, notabene demi membiayai kepindahan IKN yang akan dinikmati oleh oligarki, asing, dan aseng. Semua ini masih ada hubungannya dengan UU Omnibus Law Ciptaker terkait investasi dan tenaga kerja. 

Ketiga, lebih prihatin lagi    pemerintah menggunakan jurus mabuk ketika menghadapi masalah baru. Masalah yang sangat serius dan pelik. Di antaranya utangnya selangit. Untuk bayar utang 2022 Rp443 triliun. Tambah utang baru Rp991 triliun. Padahal APBN defisit hingga Rp868 triliun. Ini akan menjadi tambahan  utang nominal Indonesia yang kini sekitar Rp6.000 triliun.
Sejatinya, ekonomi rezim sudah ambruk. Dikarenakan APBN defisit, dimana penerimaan negara gagal mencapai target. Pajak sebagai sumber utama pemasukan negara seret dan sumber daya alam sudah di tangan asing. 
Wajar, jika rezim gelap mata untuk mengembalikan bunga utang saja harus tutup lubang gali lubang. Tampaknya untuk menambah utang kesulitan, sehingga solusinya dana JHT dipinjam. Lagi, dan lagi rakyat yang dikorbankan.
Bisa jadi, yang dipinjam tidak hanya uang JHT, tapi uang dana haji, BUMN, dan lainnya.
Inilah dampak sistem ekonomi ribawi yang menghancurkan perekonomian suatu negara dan menyengsarakan rakyatnya.

Semua itu, akibat negara ini menganut sistem kapitalis-liberalis yang asasnya sekularisme. Sekularisme, yakni paham yang memisahkan agama dengan kehidupan. Kebebasan (liberal) merupakan pilar yang diagungkan. Sekuler-liberal inilah yang diambil negeri ini sebagai pijakan negara dalam mengatur urusan rakyat. Pada prinsipnya menguntungkan para pemilik modal (kapital). 
Sementara, rakyat dijadikan tumbal dan menjadi obyek eksploitasi. Lihatlah, UU Minerba, kelistrikan, Omnibus Law, dan lainnya, yang terbaru UU IKN, UU BPJS, UU JHT. DItulah, dampak sistem batil dimana aturan bersumber pada akal manusia yang lemah dan terbatas. Negara dalam sistem demokrasi-kapitalis hanya sebagai regulator (pembuat hukum). Jelas, ini bertentangan dengan Islam. Sebab,
".... Menetapkan (hukum itu) hanyalah hak Allah. Dia menerangkan kebenaran dan Dia pemberi keputusan yang terbaik.” (QS. al-An'am [6]: 57)

Oleh karena itu, sikap yang cerdas adalah meninggalkan sistem demokrasi-kapitalis sekuler dan kembali ke sistem yang diridai Allah, yakni sistem Islam.

Islam adalah agama yang sempurna dan paripurna. Tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Allah, dengan dirinya, tetapi juga mengatur semua lini kehidupan.

Oleh karena itu, Islam melarang kebebasan karena kaidah syariat menyebutkan: "Hukum asal perbuatan manusia terikat dengan syariat Allah (hukum Allah)".

Syariat Islam mewajibkan negara menerapkan sistem Islam, mengemban amanah dan bertanggung jawab atas rakyatnya. Sebagaimana  sabda Rasulullah saw, "Imam atau khalifah adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR. al-Bukhari)

Berdasarkan hadis di atas, dalam Islam tidak dikenal dana jaminan hari tua (JHT). Sebab, Islam mewajibkan negara untuk me-riayah kebutuhan dasar rakyatnya meliputi, pangan, sandang, perumahan, agar dinikmati oleh setiap individu rakyatnya. Begitu pula kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan keamanan harus disediakan secara cuma-cuma baik muslim maupun nonmuslim.

Syariat Islam membolehkan jual beli, tetapi mengharamkan riba. Seperti investasi (penanaman modal asing), karena dapat menimbulkan mudarat dan membahayakan negara. Karena merupakan pintu masuk dikuasainya kekayaan sumber daya alam. Begitu juga dengan utang riba, menyebabkan negara tidak berdaulat karena ada persyaratan yang harus diikuti. Akibatnya, negara tidak berdaulat menjadi negara pembebek atau negara boneka.

Begitulah seharusnya penguasa mengatur urusan rakyat. Pada intinya negara menerapkan syariat Islam secara sempurna.
Keagungan Islam baru bisa dirasakan jika semua syariatnya diterapkan secara total dalam bingkai khilafah. Dengan demikian kesejahteraan dapat dirasakan oleh masing-masing individu.

Saatnya kembali ke sistem Islam, yakni khilafah warisan Rasulullah saw. yang sebentar lagi tegak karena janji Allah dan bisyarah Rasulullah saw.
Khilafah 'ala minhajjin nubuwwah inilah yang akan menjadi junnah atau perisai bagi umat seluruh dunia dan menyejahterakan.

Wallahu a'lam bishshawab.

NusantaraNews Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Theme images by Bim. Powered by Blogger.