Rakyat Sekarat, Kontestasi Politik 2024 Malah Makin Gencar?


Oleh: Alfi Zikri 
(Mahasiswi)

Tahun politik terasa cepat hadir, sejumlah kandidat paslon mulai sibuk mempromosikan diri padahal pemilihan presiden baru akan digelar dua tahun lagi. 

Seperti pemandangan bendera Ganjar-Puan yang berukuran 50 x 40 cm yang ditemukan bertebaran di flyover Pasar Kembang dan kawasan Jembatan Merah Plaza. (detiknews, 07/2/2022)

Tak hanya itu, sejumlah lembaga survei juga mulai sibuk memaparkan nama-nama para kandidat capres yang sedang populer di tengah publik yang dianggap layak menjadi presiden di pemilihan 2024.

Seperti lembaga survei populi Center yang menunjukkan 34,8 persen warga Jakarta berharap Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menjadi Presiden pada pilpres 2024. Sementara itu, Ganjar menempati posisi kedua dengan suara 18,2 persen. Kemudian, disusul Prabowo (14 persen), Sandiaga (6,7 persen), dan Ridwan Kamil (6,2 persen). (CNN Indonesia, 10/2/2022)

Selain nama-nama di atas, masih banyak figur lainnya yang  masuk dalam bursa capres 2024, seperti Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa, Menteri BUMN Erick Thohir, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartanto, dan Ketua DPR RI Puan Maharani.

Sungguh miris, di saat kondisi ekonomi dan kesehatan rakyat makin berat, para elit malah semakin gencar menonjolkan ambisinya untuk ambil bagian dalam kontestasi pilpres 2024. Alih-alih menarik simpati dan dukungan, aksi curi start kampanye di tengah pandemi ini justru menuai banyak kritik karena dianggap tidak etis dan tak berempati.

Puluhan triliun rupiah dana APBN dikeluarkan demi terlaksananya pesta demokrasi. Padahal di tengah krisis yang menimpa rakyat hari ini dana sebanyak itu lebih diperlukan untuk meringankan beban rakyat dari kesulitan perekonomian akibat pandemi.

Mahalnya mahar politik seperti biaya untuk kampanye, polling, iklan di media massa, konsultan politik hingga uang serangan fajar menjadi sebab banyaknya pejabat yang tersandung kasus korupsi, karena mereka harus ‘balik modal’ atas banyaknya biaya yang telah dikeluarkan.

Janji-janji yang diberikan pun hanya jualan masa kampanye. Berjanji mengutamakan kepentingan rakyat diatas kepentingan para elit, nyatanya memberikan jalan mulus kepada oligarki untuk menjalankan proyek mereka.

Para cukong inilah yang memberikan bantuan modal kampanye kepada calon penguasa. Tak heran, banyak kebijakan dan regulasi yang dibuat hanya merugikan rakyat dan sumber daya alam seperti UU Minerba dan Omnibus law. 

Aksi bagi-bagi kursi jabatan menteri juga menjadi fenomena yang biasa dilakukan pemimpin hasil pemilu ini. Karena siapa yang terpilih akan merasa ‘berhutang’ pada partai politik yang mendukungnya. Dalam politik demokrasi pun lawan dapat menjadi kawan.

Kita tentu tak lupa tragedi di balik pemilu 2019 lalu, kematian ratusan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang penuh kejanggalan bahkan penyebab kematian mereka tidak pernah terusut tuntas hingga hari ini. Mereka menjadi tumbal dari pesta demokrasi.

Ini membuktikan demokrasi dengan prinsip dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat hanya ungkapan romantik-retorik semata. Karena realitanya demokrasi tak lain hanyalah jalan bagi kepentingan penguasa, cukong dan ambisi para pengusaha yang ingin menjadi penguasa. 

Suara rakyat hanya diperlukan satu kali dalam lima tahun, setelah mereka terpilih menjadi penguasa rakyat justru dilarang bersuara bahkan haram bagi rakyat untuk mengkritik setiap kebijakan yang mereka buat.

Pemimpin hasil sistem kapitalis demokrasi tak pernah sepenuh hati melayani umat bahkan tak peka akan kondisi yang menimpa umat. Hanya pemimpin yang memiliki pemikiran Islam lah yang memiliki kepekaan terhadap krisis yang menimpa umat.

Seperi khalifah Umar bin Khattab di saat Madinah ditimpa panceklik dan bencana kelaparan, ia rela hanya makan roti dan minyak dan tidak pernah kenyang dengan makanan tersebut. “Akulah sejelek-jelek kepala negara apabila aku kenyang sementara rakyatku kelaparan” begitu ujar khalifah Umar.

Demokrasi lahir dari ideologi sekuler yang memisahkan kehidupan dengan agama. Maka, jangan berharap dengan mengadopsi sistem ini kesejahteraan umat akan tercipta, karena sekularisme akan berusaha mencegah penerapan syariat Islam dalam pengaturan negara.

Selain itu, demokrasi juga sangat bertentangan dengan syariat Islam karena kedaulatan berada di tangan rakyat. Para wakil rakyat yang diserahkan tugas dalam membuat hukum. Dalam Islam, hanya Allah swt yang berhak menentukan hukum.

Al-Quran dan Sunnah sebagai sumber hukum Islam, maka umat wajib  berijtihad menggali hukum dari keduanya. Adapun bila terdapat perbedaan pendapat, semua dikembalikan pada dalil terkuat, bukan dengan suara mayoritas.

Dengan melihat fakta bagaimana pemimpin hasil dari sistem demokrasi ini yang ternyata sangat tidak peka akan kondisi rakyatnya. Maka seharusnya rakyat sadar akan bathil nya sistem demokrasi ini dan meninggalkan sistem ini menuju sistem yang shahih, yakni sistem Islam yang mampu menghadirkan pemimpin berjiwa periayah atau pengurus rakyat. []

Post a Comment

Previous Post Next Post