Menganalogikan Suara Azan dengan Gonggongan Anjing adalah Bentuk Penistaan Agama


Oleh. Rosmita
Aktivis Dakwah Islam dan Member AMK

Azan adalah seruan kepada kaum muslimin untuk melaksanakan ibadah shalat. Ini adalah syiar agama Islam. Menganalogikan suara azan dengan gonggongan anjing, tentu sangat menyakiti hati umat Islam dan ini merupakan bentuk penistaan agama. 

Ketua Umum Ikatan Dai Indonesia (IKADI) KH Ahmad Kusyairi Suhail menyayangkan pernyataan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas yang memperbandingkan suara azan dengan gonggongan anjing. Azan adalah suara mulia sebagai panggilan shalat, sehingga berbeda sekali dengan suara anjing. 

Menurutnya, hampir 77 tahun Indonesia merdeka, tidak pernah ada yang meributkan dan mempermasalahkan toa masjid dan suara azan. Kehidupan masyarakat pun harmonis, guyup, dan rukun. 

Beliau mengingatkan sebaiknya energi bangsa dikerahkan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan umat dan bangsa. Seperti minyak goreng yang langka, harga sebagian kebutuhan bahan pokok yang melonjak, pandemi yang masih mengintai kita dan lain-lain. (Sindonews, 25/2/2022)

Entah apa yang ada di benak Menag hingga menyamakan suara azan dengan gonggongan anjing. Bukankah kita hidup di negara mayoritas Muslim. Sudah tentu umat Islam akan menjalankan apa yang menjadi syiar agamanya, salah satunya adalah azan. 

Begitu pula bila tinggal di Bali yang masyarakatnya mayoritas Hindu, maka umat Islam yang tinggal disana tidak boleh beraktivitas saat hari raya Nyepi. Kita harus toleransi terhadap ibadah umat lain, karena kita hidup di negara dengan beragam agama. Lalu mengapa hanya umat Islam yang disuruh mentolerir ibadah umat lain. Sedangkan bila umat Islam ingin menjalankan syiar agamanya dilarang dengan dalih toleransi.

Seolah toleransi memiliki standar ganda. Toleransi hanya diperuntukkan untuk umat Islam agar mentolerir ibadah umat lain. Namun, tidak berlaku bagi umat lain agar mentolerir ibadah umat Islam. Disini terjadi diskriminasi terhadap ajaran Islam dan umatnya.

Penistaan Agama Terus Berulang

Masifnya arus informasi dan kebebasan berpendapat dalam negara sekuler menjadi faktor utama munculnya banyak kasus penistaan agama. Apalagi tidak adanya sanksi tegas terhadap para pelaku menyebabkan penistaan agama marak terjadi. Seolah terjadi pembiaran bila agama Islam yang dihinakan, hingga menjamurlah penistaan terhadap agama Islam. Mulai dari penghinaan kepada Allah, Rasulullah, Al Qur'an, syariat Islam dan simbol-simbol keislaman. 

Menurut Anggota Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Aditia Bagus Santoso menyebut, ada sebanyak 67 kasus penodaan agama yang terjadi di Indonesia sepanjang 2020. 

Padahal sudah ada undang-undang Pasal 156a KUHP dan Pasal 45a ayat (2) UU ITE yang bisa menjerat para pelaku penista agama. Namun, hukum seolah tebang pilih. Tajam ke bawah tumpul ke atas. Tajam ke lawan tumpul ke kawan. Bila yang melakukan penistaan adalah orang-orang yang berkuasa atau pro terhadap rezim menjadi kebal hukum. 

Salah satu contoh adalah kasus Sukmawati yang mengatakan kidung lebih merdu dari suara azan. Kasusnya selesai hanya dengan meminta maaf. Begitu pula dengan kasus lainnya yang dilakukan oleh orang-orang yang pro rezim. Kasusnya hilang begitu saja tanpa ada kelanjutannya. 

Bahkan bila kasusnya dilanjutkan, hukuman yang diberikan pun tidak menimbulkan efek jera. Seperti kasus Meliana, warga Medan, Sumatera Utara yang memprotes volume suara azan hanya dihukum 1,5 tahun penjara. Padahal di negeri-negeri Islam seperti Pakistan dan Iran para penista agama dijatuhi hukuman mati.

Sikap Umat Islam 

Umat Islam tidak boleh diam saat agamanya dihinakan. Ulama Buya Hamka rahimahullah berkata: "Jika kamu diam saat agamamu dihina, maka gantilah bajumu dengan kain kafan." 

Pada zaman Nabi saw. ada seorang pria yang membunuh seorang wanita karena wanita tersebut terus menghina Nabi. Ketika kabar tersebut sampai kepada Nabi saw. beliau bersabda: "Saksikanlah bahwa darah perempuan yang tertumpah itu sia-sia (tidak ada tuntutan). (HR. Abu Daud) 

Pada masa Khalifah Sultan Abdul Hamid ll beliau memberi ultimatum kepada kerajaan Inggris yang akan mengadakan pementasan drama yang menista kemuliaan Nabi saw. Bahkan sang Khalifah akan menyerukan jihad akbar kepada umat Islam bila Kerajaan Inggris tetap mengadakan pementasan tersebut. Kerajaan Inggris pun ketakutan hingga akhirnya pementasan itu dibatalkan. 

Dari dua kisah di atas bisa kita pahami bahwa kemuliaan Islam dan umatnya hanya bisa terjaga bila ada institusi yang melindunginya, yaitu Khilafah Islamiyah. Oleh karena itu, umat Islam harus berjuang untuk menegakkan khilafah agar kemulian Islam kembali terjaga. 
Wallahu'alam bissawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post