Oligarki Digdaya Pindahkan Ibu Kota Negara (IKN)


Oleh Nur Fitriyah Asri
Penulis Opini Bela Islam Akademi Menulis Kreatif

Oligarki memang digdaya dapat memengaruhi pemerintah pindahkan Ibu Kota Negara (IKN). Meskipun rencana pemindahan IKN mendapat beragam penolakan, melanggar konstitusi, tetap saja jalan terus. Pada akhirnya RUU IKN disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi UU IKN, pada rapat paripurna ke-13 DPR RI masa persidangan III Tahun sidang 2021-2022, di Kompleks Parlemen, Jakarta (11/1/2022). Dari sembilan fraksi, hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menolaknya.

Katanya DPR mewakili suara rakyat, rakyat yang mana? Padahal, rakyat yang bermukim di lokasi IKN dan gabungan beberapa lembaga aktivis lingkungan di Kalimantan Timur, justru menolak perpindahan IKN. Bahkan, pada bulan November 2021, menurut Direktur Eksekutif Lembaga Kelompok Kajian dan Diskusi Opini Publik Indonesia, Hendri Satrio menyebut hasil survei jumlah yang menolak IKN 61,9 persen. Alasan yang disampaikan responden pada dasarnya sama dengan Fraksi PKS, pengamat politik, dan para ahli yang lain, yakni terkait uang, inkonstitusional, dan berdampak terhadap kerusakan lingkungan. (rakyat merdeka.id. 3/1/2022)

Apalagi pada akhir  Oktober 2021, beban utang luar negeri (ULN) Indonesia mencapai Rp6.085,31 triliun, jumlah yang sangat fantastis. Sedangkan, pembangunan IKN membutuhkan anggaran sekitar Rp466 triliun. Dana darimana?  Presiden Joko Widodo yang semula berjanji tidak membebani APBN ternyata melanggar janjinya. Jokowi telah mengumumkan skema pembiayaan pembangunan IKN sebesar 53,3 persen dari APBN dan sisanya diperoleh dari Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), investasi swasta, dan BUMN. Dalam hal ini, Menkeu Sri Mulyani, menegaskan pembangunan IKN tahap pertama akan dianggarkan melalui anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2022. 

Tentu saja, kebijakan Presiden dan Menkeu dinilai pelanggaran.
Di antaranya Ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri, pengalihan pendanaan PEN untuk IKN adalah kejahatan besar karena melanggar konstitusi UU No. 2 Tahun 2020. Aturan ini menyebutkan, "Seharusnya fokus untuk penanganan Covid-19 bukan untuk pendanaan IKN." (dalam diskusi virtual bersama Indonesia Corruption Watvh (ICW), 21/1/2022)

Di samping itu, Jokowi sebut pemindahan IKN butuh waktu 20 Tahun. Ini harus ditolak, kata Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kaltim, Yohana Tiko. Sebab, megaproyek IKN berpotensi menggusur lahan masyarakat adat, yang berdampak serius mengancam ruang hidup masyarakat dan kerusakan lingkungan. Padahal, mereka sudah lama menghuni di atas lahan 256.000 hektare dalam kawasan IKN. Artinya, ini termasuk pelanggaran konstitusi terhadap UU No. 32/2009 tentang pengelolaan dan perlindungan hidup. Lebih-lebih tidak memiliki dasar kajian kelayakan yang meliputi aspek kemaslahatan, keselamatan, dan kedaulatan masyarakat lokal. Bahkan IKN ini cenderung dipaksakan dan disinyalir hanya menguntungkan para oligarki yang berada dilingkar kekuasaan. (kompas.com, 21/1/2022)

Ibu Kota Negara (IKN) untuk Siapa?

Penguasa dan wakil  rakyat (DPR) setali tiga uang, artinya sama saja. Sama-sama tidak punya simpati dan empati kepada rakyat.
Sepandai-pandainya mengemas barang busuk akhirnya tercium juga. Dengan tidak ada rasa malu, dan terus terang Ketua Pansus RUU IKN, Ahmad Doli Kurnia mengatakan pembahasan RUU IKN berlangsung singkat kurang dari dua bulan. Alasannya dipercepat karena investor menunggu payung hukum. Coba, untuk siapa IKN kalau bukan untuk pemilik modal dan oligarki? Ironis sekali, di sisi lain Indonesia punya beban utang luar negeri (ULN) yang tinggi, APBN devisit, dan masih dalam masa pandemi Covid. Lagi-lagi rakyat yang dikorbankan. Alih-alih menyejahterakan rakyat,
justru malah berbalik 180 derajat mengkhianati rakyat.

Oligarki adalah salah satu bentuk pemerintahan yang dijalankan atau dikuasai oleh orang-orang dari golongan atau kelompok tertentu demi kepentingan golongannya. Keberadaan oligarki di Indonesia telah menempati ruang-ruang strategis dan penting, yakni di eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Mereka bersimbiosis mutualisme, yakni kongkalikong saling menguntungkan. 

Belum hilang aroma busuk oligarki yang begitu menyengat saat pengesahan UU Omnibus Law Ciptaker. Dimana telah terjadi kerjasama yang apik dan licik di antara pemerintah, DPR, dan MK yang telah mencederai kaum buruh dan berdampak pada lingkungan hidup. Oleh sebab itu, berlanjut ke Mahkamah Konstitusi (MK), hasilnya UU Omnibus Law Ciptaker dinilai inkonstitusional, anehnya tetap diberlakukan dengan syarat diberi tenggat dua tahun untuk diperbaiki. Tampak sekali, kepentingan oligarki begitu kuat dan tak mungkin UU Omnibus Law itu dibatalkan. Tampaknya IKN akan bernasib sama dengan Omnibus Law Ciptaker.

Tampak pula ketidakberdayaan  pemerintah menghadapi Menterinya, yakni Luhut dan Erick Tohir diduga terlibat bisnis Polymerase Chain Reaction (PCR). Digdayanya oligarki ditandai diamnya Presiden Jokowi, tidak memerintahkan audit terhadap kedua menterinya, tidak berani memberi sanksi apalagi memecatnya. Apapun alasannya, publik terlanjur tidak percaya karena di tengah sulitnya hidup menghadapi Covid, Luhut dan Erick sebagai pengambil kebijakan teganya mengambil keuntungan bisnis vaksin. Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), bisnis PCR meraup untung sekitar 10 triliun rupiah. Sungguh keji dan zalim

Diamnya rakyat membuat oligarki tambah berani dan kuat. Kini berulah kembali dan berhasil memindahkan IKN. Semua itu disebabkan oleh sistem demokrasi-kapitalis-sekuler, yang menghasilkan orang-orang tidak bermoral, akibat memisahkan agama dari kehidupan, intinya menafikan agama. Mereka tidak mau diatur oleh wahyu Allah Swt. Wajar, jika semua aktifitasnya serba bebas dan lepas kendali. Karena asasnya manfaat bukan dosa dan pahala sebagai tolok ukurnya. Itulah, yang memunculkan perilaku tamak, rakus, tidak punya empati, dan kasih sayang pada sesama.

Para politisi Islam menyebut oligarki tumbuh subur dalam sistem demokrasi, sedikitnya ada beberapa faktor penyebabnya, di antaranya:

1. Biaya politik mahal.
Hanya orang-orang berduit saja yang bisa menyalonkan diri jadi politisi, jika terpilih yang dipikirkan balik modal. Atau jika tidak punya modal didanai para cukong, dengan syarat tidak ada makan siang gratis. Dari sinilah asal muasal terjadinya kongkalikong.
Sehingga hukum yang dibuat menguntungkan oligarki dan pemilik modal. 

2. Musyawarah dan mufakat diambil suara terbanyak.
Oligarki akan menguat jika koalisi politik gemuk pro-rezim. Ini sangat berbahaya karena voting (pemilihan suara) pasti menang dan dapat melakukan langkah politik/keputusan apa saja demi keuntungan bersama. Oligarki sering mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan publik dan hajat orang banyak untuk kepentingan di lingkaran mereka sendiri. Adapun di pihak partai oposisi hanya fraksi PKS saja, tentu tidak bisa membendung oligarki politik. Itulah, wajah buruk demokrasi.

3. Penegakan hukum yang lemah.
Disebabkan adanya politik uang (suap), jika aktor intelektual (pelaku utama) dan oligarki  terlibat sulit diusut oleh penegak hukum. Apalagi hukum tumpul tidak memberikan efek jera, bahkan kasus bisa saja menguap. Semua itu hanya terjadi dalam sistem demokrasi dan itu fakta.

Islam Solusinya

Islam adalah agama berasal dari Allah yang diturunkan kepada Rasulullah saw. untuk mengatur semua lini kehidupan. Mengatur hubungan manusia dengan Allah, mengatur dirinya sendiri, dan mengatur hubungan dengan sesama manusia. Oleh sebab itu, baik individu, keluarga, masyarakat, dan negara diwajibkan berislam secara kafah (lihat: QS. al Baqarah [2]: 208).

Dengan akidah Islam sebagai pijakannya (asas), akan menjadikan semua manusia beriman, hanya tunduk patuh terhadap Allah dan Rasul-Nya, serta terikat dengan syariat Islam (aturan Allah).

Dalam QS. al-An'am ayat 57, Allah Swt berfirman, " ... menetapkan (hukum itu) hanyalah hak Allah. Dia menerangkan kebenaran dan Dia pemberi keputusan yang terbaik." 

Mengacu pada ayat di atas, demokrasi bertentangan dengan Islam. Sebab, filosofinya kedaulatan ditangan rakyat artinya rakyat berhak membuat hukum yang diwakili oleh DPR. Wajar, jika produk hukumnya tidak adil karena pada dasarnya manusia itu lemah dan akalnya terbatas. Inilah, penyebab biang kerok kerusakan tatanan kehidupan.

Sungguh miris, demokrasi sekuler yang dibanggakan ternyata sumber biang kerok lahirnya oligarki yang merugikan negara dan menyengsarakan rakyat.

Walhasil, semua kerusakan, kezaliman, termasuk oligarki hanya bisa dihentikan dengan mengganti sistem demokrasi dan kembali kepada sistem Islam yakni khilafah ala minhajjin nubuwwah. Khilafah inilah yang menerapkan syariat Islam secara menyeluruh. Dengan demikian rahmatan lil alamin akan terwujud.

Rasulullah saw, mengingatkan kepada kita dengan sabdanya:
"Dengarkanlah, apakah kalian telah mendengar bahwa sepeninggalku akan ada para pemimpin? Siapa yang masuk kepada mereka, lalu membenarkan kedustaan mereka dan menyokong kezaliman mereka, maka dia bukan golonganku, aku juga bukan golongannya. Dia juga tak akan menemuiku di telaga." [HR. al-Tirmidzi, al-Nasai, dan al-Hakim].

Wallahu 'alam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post