Merajut Asa


By Rumaisha

"Umi, badannya panas sekali, Umi sakit?" tanya Fatimah sambil memegang kening ibunya.

"Enggak apa-apa, Nak. Mungkin hanya kecapekan saja."

"Ya Allah, Umi belum makan, nasinya masih ada."

"Sudah, buat kamu aja, Umi masih kenyang."

Semenjak suaminya meninggal tiga bulan yang lalu, kehidupan mereka sungguh memprihatinkan. Tidak ada lagi nakhoda di dalam rumahnya. Orang yang selama ini berkewajiban memberi nafkah, sudah pergi selamanya. Penyakit kanker paru-paru sudah merenggut nyawanya. Seberapa tegarnya Desi,  ia pun manusia biasa yang merasakan kesedihan terhadap apa yang menimpanya.

"Umi, maafkan Fatimah ya, belum bisa bantu apa-apa. Fatimah sudah mencari kerja, tapi belum berhasil."

"Sudah, enggak apa-apa, Nak. Insyaallah kita masih bisa bertahan hidup."

Sore itu, Fatimah kedatangan tamu spesial. Ustazah Rima bersama anaknya yang masih dalam gendongan. Katanya, ia sengaja berkunjung karena Fatimah tadi pagi minta izin tidak ngaji. Khawatir terjadi apa-apa pada adik asuhannya.

Fatimah selama ini, ikut pengajian rutin bersama Ustazah Rima. Ia bersyukur telah dipertemukan dengan orang-orang yang mempunyai pemahaman yang bagus terhadap Islam. Fatimah yang merasa dirinya dangkal dalam memahami Islam, begitu semangat. Tidak ada rasa lelah, ketika ia harus jalan kaki menuju tempat kajian yang jaraknya lumayan jauh. 

"Sudah berobat ke Dokter?" tanya Rima ketika mengetahui Uminya Fatimah sakit.

"Belum Ustazah. Umi tidak mau. Katanya khawatir biayanya mahal, sementara keuangan kita sudah menipis," sahut Fatimah dengan mata berkaca-kaca.

"Nanti tambah parah sakitnya. Ayo, kita ke Dokter sekarang!" ajak Rima sambil menghampiri Desi yang lagi rebahan di tempat tidur.

"Enggak apa-apa, Bu Guru. Besok juga pasti sehat kembali," sahut Desi.

Rima tidak bisa memaksa Desi untuk berobat. Mudah-mudahan besok pagi sudah sehat. Sebelum pulang, ia memberikan amplop kepada Fatimah.

"Ala kadarnya, untuk membantu kebutuhan kamu dan Umimu. Kalau ada apa-apa, beritahu saya."

"Baik Ustazah. Jazakillah khairan katsiran," kata Fatimah sambil mencium ade kecil Nabila.

Sudah hampir seminggu, Desi sakit panas. Fatimah sangat khawatir kalau Uminya tidak dibawa berobat. Tetapi ia bingung karena uang persediaan yang diberikan Ustazah Rima hanya cukup untuk makan berdua. Pikirannya mulai menerawang, berputar dan mengingat. Ia teringat sosok laki-laki yang mungkin bisa dimintai bantuan untuk berobat ibunya. Dengan bergegas ia pamit kepada Uminya yang sedang istirahat.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Sosok laki-laki membuka pintu dengan wajah yang tak ramah, setelah melihat yang datang.

Tanpa mempersilahkan masuk, ia langsung memberondong dengan pertanyaan.

"Iya, Om, aku ke sini mau pinjem uang buat berobat Umi," kata Fatimah dengan tatapan memelas.

"Terus bayarnya dari mana? kamu juga belum kerja," tanya Badrun  dengan wajah yang menyeramkan.

Ditanya seperti itu, Fatimah bungkam. Karena ia juga tidak tahu, mau kerja apa dan siapa yang mau menerima anak kelas dua SMA. Karena keterbatasan ekonomi, ia harus meninggalkan bangku sekolah tempatnya menuntut ilmu, dan entah kapan ia akan kembali. 

Dengan perasaan hancur lebur, Fatimah berpamitan sebelum dipersilahkan masuk oleh tuan rumah. Ia tidak menyangka pamannya bisa setega itu terhadap dirinya.

Paman Badrun adalah satu-satunya adik ayahnya. Ia diberikan rezeki berlebih oleh Allah Swt. Tetapi sayang, orangnya sangat pelit. Jangankan untuk memberi kepada orang, menunaikan kewajibannya untuk membayar zakat pun sangat susah. Terlebih lagi, hubungan kakak beradik ini sewaktu ayahnya masih ada pun kurang harmonis.

*****

Suatu sore, ketika matahari mulai tenggelam di ufuk barat, Fatimah dan Uminya asyik berbincang di beranda. Uminya sudah terlihat segar kembali. Fatimah berucap syukur, karena belum sempat ke dokter, Uminya sudah kembali sehat.

Untuk menutupi kebutuhan keluarganya, Fatimah bekerja di sebuah toko kelontongan, kepunyaan  saudagar kaya yang baik  di tempat tinggalnya. Ia bekerja dari jam 08.00 - 16.00 WIB dengan upah Rp50.000/hari dengan satu kali makan.

"Nak, kamu lelah ya, bekerja seharian?" tanya Desi ketika Fatimah baru saja datang. 

"Enggak, Umi. Aku kan kerjanya santai, kecuali kalau lagi banyak pembeli," ujar Fatimah sambil menjatuhkan tubuhnya di atas dipan.

"Nak, kamu coba bersilaturahmi ke rumah Paman Badrun. Siapa tahu, ia mau membantu kita," kata Desi. 

Fatimah hanya terdiam. Ia tidak mau menceritakan kepada ibunya perihal perlakuan pamannya tempo hari. Fatimah tidak mau, apa yang dialaminya akan membebani pikiran Uminya yang sangat ia cintai. Walaupun, Fatimah paham, hak nafkah dirinya seharusnya jatuh ke tangan saudara laki-laki dari pihak ayah. Jangankan untuk memahami hal seperti ini, kewajiban untuk dirinya sendiri belum tentu mengetahui, begitu pikir Fatimah. 

"Seandainya ada khilafah, mungkin kita tidak akan seperti ini, Mi," kata Fatimah. Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutnya.

"Siapa itu khilafah? ia memang mau memenuhi segala kebutuhan kita," tanya Desi.

"Ah, Umi. Kuper ni."

Akhirnya, Fatimah bercerita, bahwa khilafah adalah sistem pemerintah umum bagi seluruh umat Islam di dunia. Sistem ini pernah dijalankan oleh umat Islam selama 13 abad dan menjadi peradaban besar di zamannya. Pemimpinnya disebut khalifah. Khalifah inilah yang menjalankan seluruh hukum-hukum Allah Swt. secara keseluruhan. Ia juga akan memastikan seluruh kebutuhan rakyatnya terpenuhi, individu per individu.

"Ya Allah, enak banget, Nak. Terus, sekarang kemana atuh khilafahnya?" tanya Desi penasaran.

"Ketika Allah berkehendak pasti akan tegak, karena khilafah adalah janji Allah dan kabar gembira dari Rasulullah. Kewajiban kita sekarang berusaha untuk mewujudkannya. Kendalanya, masih banyak yang hari ini belum memahami, bahwa menegakkan khilafah adalah kewajiban bagi seluruh kaum muslimin. Buktinya, Umi juga baru tahu sekarang kan?"

"Iya, betul. Kenapa ya, dulu Umi gak pernah dengar kata khilafiah atau apa itu?" 

"Khilafah, Umi. Panjang ceritanya, nanti kalau Umi mau, ngaji aja sama Ustazah Rima biar jelas," sahut Fatimah sambil tersenyum.

"Ayo, ayo, Umi mau," sahutnya dengan gembira.

Fatimah memberitahukan  tentang keinginan Uminya itu kepada gurunya. Besok harinya, Ustazah Rima berkunjung kembali ke rumah Fatimah. Setelah mengucap salam langsung disambut oleh Desi.

"Benar, katanya Umi mau ngaji rutin seperti Fatimah?" tanya Rima.

"Iya, Bu Guru, mau. Umi mau mendalami lebih lanjut tentang khilafah."

"Alhamdulillah, semoga masuknya Umi akan semakin banyak orang yang mengenal khilafah dan bisa mengajak orang lain."

"Amiin," sahut Fatimah yang ikut hadir.

"Ya Allah, sesungguhnya aku ingin merasakan kebahagiaan, kendati sejenak sebelum meninggal dunia, menyaksikan tegaknya khilafah dan melihat benderanya berkibar di timur dan barat, juga dengan memandang naungannya yang rimbun, memberikan berkah bagi seluruh alam."

Itulah asa yang senantiasa ia rajut sepanjang harinya, ketika sudah mengikuti kajian dengan Ustazah Rima. Fatimah merasakan, asa itu semakin dekat. Fajar kemenangan Islam akan segera hadir menyinari dunia.

Tamat

Post a Comment

Previous Post Next Post