Mampukah RUU TPKS Mengatasi Kekerasan Seksual?


Oleh: Alfi Zikri 

Indonesia darurat kekerasan seksual bahkan kekerasan seksual selalu menjadi berita di berbagai media saat ini. Mulai dari kekerasan seksual dalam masa berpacaran atau dating violence, kekerasan seksual dalam lingkup keluarga bahkan di dalam instansi pendidikan.

Seperti kasus yang baru-baru ini terjadi, dimana seorang guru sekaligus pengurus pesantren di Kota Bandung melakukan tindakan asusila kepada 12 anak didiknya yang masih berusia 13—16 tahun hingga mengandung dan melahirkan. 

Kasus pencabulan terhadap santriwati di Bandung ini memperbanyak alasan semakin besarnya desakan pengesahan RUU Tindak Pencegahan Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Dimana dikabarkan pada 9 Desember 2021 draft RUU TPKS sudah disetujui sebagian besar fraksi DPR untuk disahkan menjadi Undang-Undang.

RUU TPKS digadang-gadang sebagai solusi atas permasalahan kekerasan seksual dan hadir untuk melindungi korban kekerasan seksual. Namun,  mampukah RUU TPKS ini mencegah segala bentuk kekerasan seksual?

Jika kita lebih jeli dan meneliti lebih dalam RUU TPKS ini, maka kita bisa melihat bahwa yang dipersoalkan dalam RUU ini hanya lah aktivitas seksual yang dilakukan dengan kekerasan bukan aktivitas seksual itu sendiri. 

Contohnya seperti pelacuran, dimana yang dipermasalahkan adalah kekerasan dalam prakteknya, bukan pelacurannya. Begitu pula penyimpangan seksual semacam LGBT yang tidak diatur dalam RUU tersebut.

Maka, tindakan dan penyimpangan seksual seperti perselingkuhan, homoseksual, lesbian, dan lainnya dengan syarat tidak ada kekerasan di dalamnya akan dibiarkan begitu saja berkembang.

Oleh sebab itu jelas bahwa RUU TPKS ini merupakan ruh dari sekulerisme dan liberalisme. yakni memisahan agama dari kehidupan sehingga agama tidak lagi hadir untuk mengatur kehidupan seperti aturan berpakaian dan pergaulan. Setiap individu memiliki hak sebebas bebasnya dalam bertingkah laku (liberal) selama tidak mengganggu orang lain. Aktivitas  ini tidak didasarkan pada aturan agama yakni halal dan haram.

Alasan untuk melindungi korban hanya dalam rangka legitimasi supaya undang-undang didukung oleh masyarakat. RUU TPKS bukanlah solusi bagi permasalahan kekerasan seksual. Justru RUU ini hadir dalam rangka untuk menanamkan budaya liberal. 

Jika kita cermati, solusi atas segala persoalan kekerasan seksual ini adalah dengan menerapkan aturan Islam dalam kehidupan. Seperti pemerintah yang tegas mengharamkan zina dan mendekatinya, dan juga menerapkan sanksi kepada pelaku zina sesuai syariat Islam.

Begitu pula sebagai upaya pencegahan zina pemerintah perlu memasukkan aturan pergaulan dalam Islam pada kurikulum sekolah untuk setiap jenjang pendidikan. Disamping itu, pemerintah juga mengontrol setiap tontonan yang berbau pornografi-pornoaksi yang akan mendorong nafsu syahwat.
adapun sebagai sanksi bagi pemerkosa aturan Islam sudah menjelaskan sesuai dengan nash-nash yang berasal dari Al-Quran dan As-Sunnah. Bagi pemerkosa yang sudah menikah akan dirajam sampai mati dan cambuk 100 kali bagi yang belum menikah.

Dalilnya sebagai berikut:
Dari Abu Hurairah ra, dia berkata, “Seorang laki-laki menemui Rasulullah SAW ketika beliau berada di masjid. Orang itu memanggil beliau seraya mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, saya telah berzina!’ tetapi Rasulullah berpaling darinya. Tatkala kesaksiannya sampai empat kali, Nabi bertanya, “Apakah kamu gila?” dia menjawab, “tidak”. Nabi bertanya, “Apakah kamu sudah menikah?” Dia menjawab, “ya’ Lantas Nabi bersabda, “Bawalah orang ini, dan rajamlah dia!” (HR Bukhari 6430 dan Muslim 1691).
Juga dalil dari Al-Quran surat An-Nur:2

“Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian.; dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang orang yang beriman”.

Sementara dalam sistem demokrasi yang dianut negeri ini pelaku pemerkosaan hanya terancam dihukumi 20 tahun penjara. Maka, hanya hukum Islam lah yang adil yang mampu menentramkan jiwa dan memuaskan akal. 

“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah [5]: 50).

Post a Comment

Previous Post Next Post