Moderasi Menyemai Tafsir Sesat Atas Nash




Oleh Juniwati Lafuku, S. Farm. (Pemerhati Sosial) 

Kasus kekerasan seksual terus menjadi bola panas yang dipergulirkan ke publik. Pasalnya, kasus ini seakan sudah menjadi hal yang lumrah, baik di level pendidikan hingga kehidupan masyarakat di pedesaan. Tak main-main, jika melihat data, kita akan tercengang. Mulai dari perempuan yang selalu menjadi korban utama. Pelaku yang merupakan orang terdekat, seperti pacar, anggota keluarga dan guru di sekolah.  Sebagian korban pun enggan melapor. Oebih memilih diam karena malu. Namun tak sedikit juga mulai bersuara di ruang publik menuntut keadilan. Rasanya, keamanan diri bagi perempuan hari ini bagai barang langka. 

Merespon banyaknya kasus, muncul gagasan agar zakat menjadi salah satu sumber pendanaan alternatif bagi proses pemulihan para korban kekerasan seksual.

Dalam seminar nasional tentang optimalisasi fungsi zakat yang dilaksanakan oleh kerja sama Forum Kota Sehat (FKS) Tangerang Selatan dengan PSIPP ITB Ahmad Dahlan Jakarta , Kamis (2/12), Ketua Dewan Syariah LazisMu Pusat, Hamim Ilyas menyebut gagasan itu bisa dilakukan.

Zakat dan Human Development

Masih minimnya donasi untuk perempuan korban kekerasan seksual membuat Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan (PSIPP) Institut Teknologi dan Bisnis  Ahmad Dahlan (ITB-AD) Jakarta, akhirnya meluncurkan dua buah buku zakat untuk perempuan korban kekerasan seksual.

Setidaknya, buku ini terus dibedah dan didiskusikan hingga memasuki seri ke-12 pada Jum’at, (5/11) yang secara spesifik membahas ‘zakat untuk korban; perspektif pendampingan dan lintas iman’.

Diskusi kali ini dilakukan secara hybrid dengan narasumber yang pusparagam. Mulai dari lintas keilmuan, lintas generasi hingga lintas agama. Pada diskusi ini PSIPP ITB-AD Jakarta dan Lazismu bekerja sama dengan Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Kota Sungai Penuh Jambi. Secara hybrid, karena diskusi ini menjadi pembuka bagi Musyawarah Cabang IMM Kota Sungai Penuh, Jambi yang dihadir lebih dari 100an orang di Aula IMM.

Tujuan pembahasan buku Zakat untuk Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak, ini juga bagian upaya mendorong lembaga-lembaga keagamaan, lembaga-lembaga yang berwenang mengeluarkan fatwa, supaya bisa membahas dan mengeluarkan fatwa supaya zakat bisa dialokasikan, bisa diberikan kepada korban kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Pakar Ekonomi Islam, Ustazah Najmah Saidah menjelaskan meski zakat merupakan kewajiban dari kaum Muslim yang telah memenuhi syarat. Tetapi seharusnya negara sebagai pelindung rakyat berusaha keras, berusaha maksimal untuk mengurusi rakyat ini dengan berbagai cara, sehingga rakyat terpenuhi kebutuhannya.

Zakat merupakan institusi resmi dalam Islam untuk menciptakan kesejahteraan sosial-ekonomi yang berkeadilan. Sehingga pembangunan ekonomi mampu menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat.

“Hanya saja zakat merupakan salah satu aktivitas ibadah yang pengaturannya bersifat tauqifiy ‘apa adanya’ sebagaimana yang disebutkan dalam nas, baik Al-Qur’an dan Sunah, atau sebagaimana apa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw., tidak boleh ditambah dan tidak boleh dikurangi. Termasuk dalam hal pendistribusiannya,” urainya.

Tentang pendistribusiannya, zakat memiliki aturan yang jelas tentang siapa yang berhak menerimanya sebagaimana telah dirincikan Al-Qur’an ke dalam delapan ashnaf penerima zakat (Q.S. At-Taubah [9]: 60). Yaitu orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil zakat, mualaf, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang (gharimiin), fii sabilillah, orang-orang yang sedang dalam perjalanan.

“Zakat adalah hak bagi delapan ashnaf ini, yang wajib dimasukkan ke dalam baitul maal, baik ada keperluan ataupun tidak. Hal itu karena Allah telah membatasinya dengan lafal innamâ, artinya hanya untuk delapan golongan itu saja,” katanya.

Kalaupun harta zakat ini digunakan untuk rakyat yang terkena dampak Covid-19, maka dialokasikan kepada rakyat yang benar-benar masuk dalam kategori delapan ashnaf, yaitu fakir dan miskin saja, atau orang-orang yang benar-benar dalam situasi berutang karena untuk menyambung hidup.

Abad Seks-sentris yang Merusak Manusia

Perempuan dan semua hal tentangnya adalah sesuatu yang terus menerus diperbincangkan. Mulai dari pandangan berbagai agama, Hindu, Kristen, Yahudi hingga  peradaban besar seperti Yunani Kuno dan Romawi, semuanya hampir sama, memandang perempuan laksana "barang yang tidak berharga". Mudah diwariskan dan dieksploitasi seusai hawa nafsu. Pun dengan kehidupan perempuan hari ini, kekerasan seksual dan beraneka ragam pelecehan baik di ruang offline dan online, terus mengintai. 

Rusaknya tatanan masyarakat hari ini, telah menjadi media bagi rusaknya perempuan. Pergaulan bebas, pacaran, hingga persoalan mental yang menimpa perempuan. Menjadikan perempuan termiskinkan secara ekonomi dan termarginalkan secara sosial. 

Solusi zakat dan donasi bagi korban kekerasan seksual, sejatinya tidak menghapus akar kekerasan seksual. Negara yang harusnya menjadi pelindung dan pemelihara kehormatan perempuan. Namun di saat yang sama justru membiarkan rangsangan seksual bertebaran. Urusan hawa nafsu dijadikan industrialisasi dalam bentuk hiburan yang dijajalkan secara legal di tengah masyarakat. Kalau sudah begini, bagaimana mungkin kita berharap kasus kekerasan seksual akan berhenti? 

Islam Menghapus Kekerasan Seksual

Islam sangat menjungjung tinggi kehormatan dan kesucian diri bagi perempuan dan laki-laki. Islam tidak hanya melihat masalah yang menimpa perempuan sebagai masalah gender belaka. Lebih dari itu, Islam melihat secara komprehensif masalah laki-laki dan perempuan sebagai masalah sosial yang saling berkaitan. 

Dengan pandangan menyeluruh, akar masalah dapat diselesaikan dengan cara mengatur kehidupan tiap individu Muslim sebagai kehidupan dalam kerangka ibadah. Tiap individu memiliki kewajiban untuk menaati Allah baik dalam keadaan sendiri dan dalam keadaan ramai. 

Dalam konteks sosial, kehidupan laki-laki dan perempuan di pisah. Interaksi hanya dibolehkan dalam hal pendidikan, kesehatan, jual beli dan persaksian. Pintu-pintu kemaksiatan seperti seks bebas dan rangsangan lainnya akan ditutup karena tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam yang jelas sangat merusak peradaban manusia. 

Sementara negara dalam Islam, akan menjadi penjaga kesucian, harta, darah serta keamanan tiap individu. Tiap pelanggan terhadap hak individu tanpa alasan yang haq akan dikenakan sanksi tegas. 

Negara bertugas memastikan masyarakat merasa nyaman dan aman dalam menjalani kehidupan. Karena dalam Islam, pembangunan manusia (Human Development) lebih utama dari pada pembangunan fisik (infrastruktur kehidupan). Memanusiakan manusia, bukan sebaliknya, memperlakukan manusia tidak sesuai fitrah dan justru merusak peradaban manusia. 


Wallahu a'lam bishawwab

Post a Comment

Previous Post Next Post