Melibas Perzinaan dengan Solusi Islam


Oleh Sumiyah Ummi Hanifah
Pemerhati Kebijakan Publik dan Member AMK


Sistem kapitalisme-liberalisme yang sekular, kembali memakan korban. Kehidupan yang serba bebas seolah tanpa batas, melahirkan berbagai macam problem akut yang tidak pernah berkesudahan. Generasi muda di negeri ini banyak yang terjerumus ke dalam pergaulan bebas, narkoba, seks bebas, aborsi, tawuran, dan berbagai tindakan amoral lainnya. Solusi yang ditawarkan oleh negara selama ini tidak mampu menyentuh ke akar permasalahan. Sehingga kasus demi kasus terus-menerus merebak di kalangan kaum milenial.

Belum lama ini, seorang mahasiswi asal Malang, Novia Widya Sari (23 tahun) mengakhiri hidupnya dengan cara yang mengenaskan. Ia nekad menenggak racun karena dipaksa untuk kembali melakukan aborsi oleh mantan kekasihnya. Menurut penuturan dari Brigjen Pol Slamet Hadi Suprapto, mengungkapkan bahwa Mahasiswa Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur ini telah dua kali melakukan aborsi, hingga akhirnya ia nekad bunuh diri. Beliau juga mengatakan bahwa sebelumnya korban bersama kekasihnya tersebut telah melakukan aborsi bersama, pada bulan Maret tahun 2020 dan bulan Agustus 2021 yang lalu. Keterangan ini diperoleh setelah pihaknya melakukan penyelidikan terhadap mantan pacar korban, Bripda Randy Bagus, seorang Anggota Polres Pasuruan, Jawa Timur. (okezone.com, Minggu, 5/12/2021).

Kasus bunuh diri yang menyedot perhatian masyarakat ini bukan pertama kali terjadi. Entah sudah berapa banyak wanita yang mengalami nasib serupa. Parahnya lagi, korbannya bukan hanya wanita dewasa, anak di bawah umur pun diberitakan ada yang pernah menjadi korban. Sayangnya, solusi yang diambil hanya fokus pada penangkapan terhadap tersangka saja. Tanpa mencari sebab, mengapa kasus seperti ini terus-menerus terjadi. Bahkan pihak pemerintah melalui Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menteri PPPA), Bintang Puspayoga, menyebut bahwa kasus ini adalah bentuk "dating violence" atau kekerasan dalam berpacaran, yang merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). (news.detik.com, Ahad,5/12/2021).
Jika kita cermati, kasus bunuh diri sebagai puncak depresi akibat perbuatan zina, seharusnya dinilai sebagai sesuatu yang melanggar syariat Islam. Yang pelakunya berhak menerima sanksi atau hukuman yang berat. Bukan malah dianggap sebagai korban kekerasan, sebagaimana digembar-gemborkan di berbagai media. Pasalnya, perbuatan mendekati zina (pacaran) itu sendiri, merupakan akar dari permasalahan ini. Meskipun demikian, tersangka Randy Bagus memang sudah seharusnya mendapatkan hukuman yang berat, karena lari dari tanggungjawab. Sebab, perbuatannya menyuruh korban untuk melakukan aborsi adalah hal yang sangat dilarang oleh agama.

Seharusnya kasus ini bisa menjadi acuan untuk memperbaiki tata cara pergaulan dan menghapus beragam nilai liberal. Yang mana kondisi masyarakat (terutama generasi muda kita), telah banyak dirusak pemikirannya. Mereka mengadopsi gaya hidup ala barat yang sekular, memisahkan aturan agama dari kehidupan. Banyak remaja yang terjerumus ke dalam pergaulan bebas, yang menghalalkan segala cara untuk memenuhi syahwatnya. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang nekat menabrak rambu-rambu agama. Sementara hukum di negeri ini tidak pernah mempermasalahkan remaja yang kedapatan melakukan perbuatan yang mendekati zina (pacaran). Padahal, di dalam Islam mendekati zina saja sudah dilarang, apalagi benar-benar melakukan zina. Na'udzubillah.

Firman Allah Swt.,
"Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk." (Q.S.Al-Isra' [17] ayat 32).

Ayat di atas bermakna bahwa segala aktivitas yang mengarah kepada perzinaan, maka harus ditinggalkan. Pertanyaannya, bagaimanakah cara pemerintah kita membentengi umat (rakyat) dari dahsyatnya arus liberalisme, yang telah banyak memakan korban ini?. Sementara, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 30 Tahun 2021, tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi, yang dikeluarkan oleh Nadiem Makarim, masih menuai kontoversi. Meskipun pemerintah berdalih bahwa tujuan dibentuknya Permendikbud ini adalah untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual. Namun ternyata setelah diteliti dengan cermat, di dalam Permendikbud tersebut terdapat kalimat yang mencantumkan kata "Jika tanpa persetujuan korban," yakni pada pasal 5 ayat (2). Inilah yang membuat beberapa pihak menilai Permendikbud Nomor 30 ini seolah melegalkan praktik perzinahan. (detik.com, Senin 8/11/2021).

Kita semua tentu menjadi bertanya-tanya, seandainya pelanggaran terhadap Permendikbud tersebut dilakukan suka sama suka, bukankah itu bermakna pelaku tidak dapat dikenakan sanksi atau hukuman? Dalam sistem yang sangat sekuler ini, kita sering menyaksikan bagaimana orang yang nyata-nyata berzina dan kemudian hamil diluar nikah, justru malah disuruh untuk segera dinikahkan. Sehingga yang terjadi, perzinaan semakin merajalela di negeri ini. Mereka tidak akan merasa malu lagi melakukannya, karena negara menganggap bahwa berzina (pacaran) tidak termasuk kategori melanggar hukum. 

Padahal menurut Islam, orang-orang yang terbukti melakukan perzinaan, maka hendaknya ia dihukum sesuai dengan hukum (aturan) Allah Swt.
Dari Ibadah bin Shamith R.A. ia berkata bahwasanya Rasulullah saw, telah bersabda,

"Ambillah dariku! ambillah dariku! Sungguh, Allah telah menjadikan jalan bagi orang-orang perempuan, pemuda remaja merdeka yang berbuat zina dengan pemudi, harus dijilid seratus kali dan dibuang selama setahun. Duda berbuat zina dengan janda harus dijilid seratus kali dan dirajam.” (H.R.Muslim).

Hukum seperti inilah yang seharusnya diterapkan oleh negara. Sebab, meskipun orang-orang kafir dan munafik menganggap hukuman ini terlihat kejam, tetapi ini merupakan satu-satunya hukum (aturan) dari Sang Khaliq. Inilah petunjuk dari Allah Swt., yang terdapat di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Pelaksanaan hukuman "hudud" (badan) harus diterapkan oleh negara. Sebab, ini merupakan cara jitu untuk memutus rantai kemaksiatan.

Salah satu keistimewaan pelaksanaan hukum Islam adalah mampu berfungsi sebagai "zawabir," yaitu penebus dosa bagi sang pelaku. Sehingga di akhirat nanti pelaku tidak dihukum lagi, karena telah menjalani hukuman (sanksi) di dunia, sesuai dengan hukum Allah Swt. Tujuan yang kedua adalah agar menjadi "Jawazir," yakni dapat memberikan efek jera bagi pelaku dan bagi masyarakat umum. Sebab, di dalam Al-Qur'an dijelaskan bahwa pelaksanaan hukuman hendaknya disaksikan oleh orang banyak. 

Sanksi (hukuman) menurut Islam, jelas sangat berbeda dengan hukuman yang diterapkan oleh sistem kapitalisme-demokrasi. Sebab, dalam sistem demokrasi yang berasaskan kebebasan ini, orang yang berzina tidak dianggap sebagai kemaksiatan, malah dibiarkan. Maka tidak heran apabila perbuatan maksiat di negeri semakin mengkhawatirkan saja. Hal ini tentunya akan mengundang murka dan azab dari Allah Swt. 

Oleh karena itu, sistem kapitalisme-liberalisme-sekularisme tidak layak untuk diterapkan. Karena telah terbukti tidak mampu memecahkan problematika kehidupan umat manusia. Hanya hukum Allah Swt. saja yang layak diperjuangkan, untuk kemudian diterapkan dalam kehidupan secara menyeluruh dalam setiap aspek kehidupan. Islam tidak hanya mengatur tentang ritual ibadah saja. Akan tetapi, Islam juga mengatur urusan manusia dengan Allah Swt, yakni terkait dengan ibadah ma'dhah. Islam mengatur urusan manusia dengan dirinya sendiri, yakni dalam hal pakaian, makanan, dan lain sebagainya. Selain itu Islam juga mengatur urusan manusia dengan sesamanya, yakni dalam perkara mu'amalah dan 'uqubat (sanksi) yang wajib dilaksanakan oleh negara. 

Syari'at Islam apabila diterapkan secara kafah, oleh individu, keluarga, masyarakat dan negara, akan menjadi "Rahmatan Lil'aalamin." Solusi dari Islam akan mampu mengatasi berbagai macam problematika kehidupan. Termasuk akan "melibas" praktik-praktik perzinaan di tengah-tengah masyarakat. Sehingga akan menjadikan negeri ini diberkahi.

Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post