Kekerasan Masa Pacaran, Butuh Solusi Sistemik


Oleh : Lestari
(Pemerhati Remaja)

Kasus bunuh diri sebagai puncak depresi akibat kekerasan di masa pacaran menarik perhatian publik. Hingga sepanjang bulan November sampai awal Desember 2021 kita dihebohkan dengan rentetan kasus kekerasan seksual. Tentu masih lekat diingatan kasus kekerasan seksual yang dialami seorang mahasiswi Universitas Brawijaya berinisial NW yang mengakhiri hidupnya dengan menenggak racun tepat di atas makam ayahnya pada kamis (5/12/2021). Hal ini  diduga kuat menahan depresi akibat diperkosa dan dipaksa aborsi ketika telah hamil oleh kekasihnya yang merupakan seorang polisi berinisial RB. 

Dilainsir dari okezone.com (5/12/2021), Wakapolda Jawa Timur Brigjen Pol Slamet Hadi Supraptoyo mengungkapkan bahwa sejak Tahun 2020 hingga 2021, keduanya melakukan hubungan suami istri, kemudian ia juga menambahkan keterangan bahwa NW telah melakukan aborsi dua kali hingga akhirnya ia nekat bunuh diri.

Innalillahi. Hidup dengan pergaulan bebas memang sering berhujung nahas. Kekerasan yang kerap terjadi dalam hubungan semasa pacaran bagi perempuan yang belum menikah misalnya, meliputi kekerasan fisik, emosional, ekonomi, dan pembatasan fisikcukup mengkhawatirkan belakangan ini. Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (MenPPA) mencatat, sejak 1 Januari hingga 16 Maret 2021 tercatat 426 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. (https://radarlampung.co.id/03/12/2021).

Walaupun demikian, persoalan ini masih belum mendapat tanggapan serius dikalangan publik, terkhusus pada kalangan penegak hukum. Pasalnya, dikutip dari Liputan6.com (06/12/2021), rupanya korban pernah meminta bantuan terkait kasus yang dialaminya pada Agustus 2021 agar terlepas dari jeratan kekerasan seksual. Namun sayang bukannya sergap menangani kasus tersebut, yang ada malah dibiarkan berlarut-larut hingga menyisakan depresi berat pada korban.

Tak heran jika kasus semacam ini menjamur, sebab pihak yang diharapkan melindungi para korban dapat dikatakan lamban dalam meangani. ‘Ketika sudah terantuk barulah mengaduh’ dalam makna lain ketika sudah terjadi barulah kemudian diusut tuntas. Ketika mengharap sanksi yang sepadan atasperbuatan pelaku pun, hanya angan belaka. Sebagaimana diberlakukannya pasal pemerkosaan dan Pasal 348 pemaksaan pengguguran kepada pelaku paling lama penjara lima tahun enam bulan. Tak ayal, RB kedua, ketiga, dan masih banyak lagi RB berikutnya akan bermunculan sebab masih merasa aman dengan hukuman terbilang ringan.

Alhasil, tidak sedikit kaum milenial yang terjerat dalam kasus seksual, entah atas dasar kekerasan seksual bahkan suka sama suka. Apatahlagi ditambah ketika zina dilegalkan atas dasar persetujuan, ini meniupkan angin surga kepada siapa saja penghamba hawa nafsu. Tak peduli halal haram semua dilibas asalkan itu memuaskan. Astaghfirullah, seperti inikah kondisi generasi negeri mayoritas Muslim ini?

Kembali pada kasus di atas, memang tak bisa dipungkiri di zaman ini pemikiran liberalis (serba bebas) kian menancap kuat pada pemikiran remaja. Asas sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) yang telah mengontaminasi kaum muda mengakibatkan mereka tak lagi memperhatikan halal-haram, baik-buruk, terpuji-tercela dalam terpuji. Selama itu memuaskan nafsu mereka, maka akan dilakukan segala cara.

Selain itu mekanisme pengusutan kasus hingga diperoleh putusan yang memuaskan hampir mustahil didapatkan dalam sistem sekularisme-liberal sebagaimana saat ini. Bagaimana tidak, keadilan berpihak pada yang memiliki uang, sementara bagi yang memiliki ekonomi rendah, nyaris tak mendapatkan hak keadilannya. Adanya undang-undang yang tidak tegas juga sangat mempengaruhi bebasnya para pelaku melancarkan aksinya.

Seharusnya para pelaku pelecehan, mendapatkan sanksi yang berat. Namun, lagi-lagi kehormatan wanita dalam sistem ini harus memupus harapan untuk terjaga. Jangankan melakukan pencegahan, berteriak meminta keadilan pun tak dianggap ada, hingga masalah ini terus merebak.  Sangat jelas peraturan buatan manusia yang lahir dari sistem sekularisme-liberal hanyalah sebuah ilusi yang dijadikan sebagai solusi. Pada akhirnya tidak menyelesaikan masalah. 

Berbeda hanya jika menerapkan Islam sebagai solusi bagi kehidupan. Islam memiliki aturan yang sempurna dalam menyelesaikan problematika umat, termasuk kasus kejahatan seksual hari ini yang tak kunjung usai. Kejahatan seksual dalam Islam bukan hanyadalam tanda kutip melanggar moral dan nilai-nilai agama, yanghanya dipertanggungjawabkan di dunia, melainkan juga di akhirat kelak. Oleh karena salah satu upaya membangun kesadaran itu adalah dengan terus menerus mendakwahkan syariat Islam yang komprehensif, bahwa kekerasan seksual adalah kejahatan besar yang menjadi musuh utama agama. 

Salah satu faktor utama terjadinya kejahatan seksual adalah faktor dari luar yang mempengaruhi naluri seksual setiap manusia (gharizah an-nau’). Dari hal inilah Islam mengatur perihal interaksi antara laki-laki dan perempuan. Konten-konten yang berbau sensual, pornografi, atau mengumbar aurat akan menjadi perhatian bagi kepemimpinan Islam. Selain itu, Islam memiliki kontrol sosial di tengah-tengah masyarakat, kesadaran akan ber-amar ma’ruf nahi munkar sudah tertanam pada setiap individu, sehingga aktivitas saling mengingatkan antar individu adalah hal yang biasa dilakukan. 

Sanksi yang tegas juga diberikan kepada para pelaku kekerasan seksual. Sebagaimana kisah pemerkosaan yang di alami seorang wanita di salah satu pasar yahudi yang terjadi di masa Rasulullah SAW. Rasulullah SAW dengan tegas berkata kepada perempuan yang menjadi korban pemerkosaan itu: “Pergilah, Allah telah mengampunimu!”. Kemudian beliau bersabda kembali, “Rajamlah laki-laki ini. Ia telah bertaubat dengan pengakuannya. Andai taubatnya dibagikan ke seluruh penduduk Madinah, maka taubatnya akan diterima.”

Dari kisah ini dapat disimpulkan bahwa penegakan hukum kepada pelaku pelecehan seksual benar-benar ditegakkan oleh Rasulullah, sebagai pemimpin umat saat itu. Tak ada ampun bagi pelakunya, meski ia telah mengakui perbuatannya. Sanksi dalam Islam memiliki dua tujuan, yaitu jawabir (penghapus dosa) dan zawajir (memberikan efek jera) bagi pelaku. Di sisi yang lain, Rasulullah juga benar-benar melindungi hak-hak korban pelecehan, dengan cara membebaskannya dari hukuman. Bahkan dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa salah satu bentuk penghormatan Rasulullah kepada korban pelecehan seksual diberikan mahar sebagai ganti rugi.  

Bukan suatu hal yang mustahil jika saat ini aturan Islam kembali ditegakkan. Karena aturan Islam mengantarkan kembali manusia kepada fitrahnya sesuai bagaimana konsep penciptaan-Nya. Dengan aturan seperti inilah semua lapisan masyarakat termasuk perempuan dan anak di dalamnya akan mendapatkan perlindungan. Wallahu a'lam bishawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post