Jaminan Kesehatan dalam Islam


Oleh: Deasy Yuliandasari, SE
Mompreuner

Pemerintah lagi-lagi membuat aturan baru tentang jaminan kesehatan masyarakat (BPJS). Setelah adanya kenikan tarif, kali ini pemerintah akan menghapus kelas-kelas rawat inap. Yang rencananya akan dilaksanakan tahun 2022 mendatang.

Kelas rawat inap bagi pemegang kartu BPJS akan menjadi sama yaitu kelas standart. Tidak akan ada lagi perbedaan fasilitas yang didapat. Sebelum kelas BPJS Kesehatan dihapus, pemerintah berencana melakukan transisi kelas rawat inap (KRI) JKN yang dibagi dalam dua kelas standar.

Kelas ini adalah kelas standar A dan kelas standar B. Kelas standar A adalah kelas yang diperuntukkan bagi Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan Nasional (PBI JKN). Sementara itu, kelas standar B diperuntukkan bagi peserta Non-PBI JKN.

Aturan penghapusan kelas tersebut mulai dari penyesuaian manfaat medis dan non-medis, Indonesia Case Based Groups (INA CBGs) atau rata-rata biaya yang dihabiskan oleh untuk suatu kelompok diagnosis, kapitasi, hingga iuran peserta.

Pemerintah berdalih bahwa sistem baru ini sesuai dengan amanat Undang-undang Sistem Jaminan Sosial (SJSN) Pasal 23 (4) yang mengatakan bahwa jika peserta membutuhkan rawat inap di rumah sakit, maka diberikan "kelas standar". 

Standar yang dimaksud adalah kebijakan yang ada di Kementerian Kesehatan, yaitu berupa Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit-Ruang Rawat Inap, Permenkes Nomor 24 Tahun 2016 tentang Persyaratan Teknis Bangunan dan Prasarana Rumah Sakit. Lalu merujuk berdasarkan draft konsep kelas standar Dirjen Pelayanan Kesehatan Kemenkes, serta masukan dari PERSI dan ARSADA dalam rapat penyusunan kriteria Kelas Standar JKN. 

Konsep kelas standar nantinya hanya akan terdapat dua kelas kepesertaan program, yakni Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan non-PBI. Segmen peserta Pekerja Penerima Upah (PPU) dan Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) atau mandiri akan tergolong sebagai non-PBI. 

Berdasarkan kelas PBI dan non-PBI itu, ketentuan luas kamar dan jumlah tempat tidur tiap kamar akan berbeda. Di mana untuk kelas untuk peserta PBI, minimal luas per tempat tidur (dalam meter persegi/m2), sebesar 7,2 meter persegi dengan jumlah maksimal 6 tempat tidur per ruangan.  Sementara di kelas untuk peserta non-PBI, luas per tempat tidur sebesar 10 meter persegi dengan jumlah maksimal 4 tempat tidur per ruangan. 
Lantas apakah masyarakat diuntungkan atau dirugikan dengan kebijakan baru ini? Kebijakan sistem ekonomi dalam sistem kapitalis tidak akan pernah berpihak sepenuhnya kepada rakyat. Rakyat masih harus berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan akan jaminan kesehatan, yang semestinya sudah menjadi kewajiban pemerintah dalam menjamin kesehatan rakyatnya.

Sistem Layanan Kesehatan dalam Islam

Di dalam Islam, jaminan kesehatan untuk seluruh rakyat adalah tanggung jawab Negara. Pelayanan kesehatan wajib diberikan secara gratis (cuma-cuma) bagi masyarakat. Negara tidak boleh membebani rakyatnya untuk membayar kebutuhan layanan kesehatannya. Rasulullah saw. yang bertindak sebagai kepala Negara Islam, telah menjamin kesehatan rakyatnya secara cuma-cuma, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa memungut biaya dari rakyatnya itu (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, II/143).

Pada masa kekhalifahan Umar Bin Khatab r.a, khalifah menjamin kesehatan rakyatnya secara gratis, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa meminta sedikitpun imbalan dari rakyatnya (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, 2/143).

Mengutip dari buku Menggagas Kesehatan Islam yang ditulis oleh KH. Hafidz Abdurrahman, MA dkk, perhatian di bidang kesehatan seperti ini tidak hanya terbatas di kota-kota besar, bahkan di seluruh wilayah Islam, hingga sampai ke pelosok, bahkan di dalam penjara-penjara sekalipun. Pada era itu, sudah ada kebijakan Khilafah dengan rumah sakit keliling. Rumah sakit seperti ini masuk dari desa ke desa. Perlu dicatat di sini, Khilafah saat itu benar-benar memberikan perhatian di bidang kesehatan dengan layanan nomor satu, tanpa membedakan lingkungan, strata sosial dan tingkat ekonomi.

Sudah menjadi kewjiban negara untuk menjamin saarana dan prasarana kesehatan bagi seluruh rakyatnya. Pasalnya, jika pengadaan layanan kesehatan itu tidak ada maka akan dapat mengakibatkan bahaya (dharar), yang dapat mengancam jiwa rakyatnya. Menghilangkan bahaya yang dapat mengancam rakyat itu jelas merupakan tanggung jawab Negara. Rasulullah saw. bersabda:

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ فِي اْلإِسْلاَمِ

Tidak boleh menimbulkan madarat (bahaya) bagi diri sendiri maupun madarat (bahaya) bagi orang lain di dalam Islam (HR Ibnu Majah dan Ahmad).

Darimana Pembiayaan Kesehatan dalam Sistem Islam

Selain dari kas negara, para Khalifah dan penguasa kaum Muslim di masa lalu mereka mewakafkan sebagian besar harta mereka untuk membiayai rumah-rumah sakit, perawatan dan pengobatan pasiennya.
Sebagai contoh, Saifuddin Qalawun (673 H/1284 M), salah seorang penguasa di zaman Abbasiyah, mewakafkan hartanya untuk memenuhi biaya tahunan rumah sakit, yang didirikan di Kairo, yaitu rumah sakit al-Manshuri al-Kabir.

Dari wakaf ini pula gaji karyawan rumah sakit dibayar. Bahkan, ada petugas yang secara khusus ditugaskan untuk berkeliling di rumah sakit setiap hari. Tujuannya untuk memberikan motivasi kepada para pasien, dengan suara lirih yang bisa didengarkan oleh pasien, meski tidak melihat orangnya. Bahkan, al-Manshur al-Muwahhidi, mengkhususkan hari Jumat, seusai menunaikan shalat Jumat, untuk mengunjungi rumah sakit, khusus memberikan motivasi kepada pasien.

Sistem Islam yang sangat sempurna dalam penerapannya bahkan dalam sistem kesehatan. Tidak akan dibiarkan rakyatnya menderita sendiri dalam memperjuangkan kesehatannya. Negara betul-betul menjamin kesehatan rakyatnya hingga aparatur negara rela menyumbangkan kekayaannya. Kondisi yang akan terwujud jika sistem Islam tegak kembali.

Wallahu a'lam bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post