poto: ss from liputan6.com |
Oleh: Lan Nisyah
Berdasarkan pendataan
Kemendikbud sampai 2020 jumlah guru honorer atau yang non-PNS di Indonesia
berjumlah 937.228 orang. Dari jumlah tersebut sebanyak 728.461 diantaranya berstatus
guru honorer sekolah. Pemerintah melalui Kemendikbud menyelesaikan masalah ini
melalui program Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dengan
rekrutan satu juta guru. (bbc.com,21/2/21)
Kebijakan ini menuai
kritik dari beberapa pihak, salah satunya dari wakil sekretaris jenderal
(Wasekjen) DPP Partai Demokrat Irwan Fecho. Ia menanggapi bahwa pengangkatan
guru honorer menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) harus
melalui selesksi di era pemerintahan Joko Widodo. “Seharusnya guru yang sudah
cukup masa pengabdiannya tidak mengikuti proses seleksi karena akan mengalami
kesulitan karena akan bersaing dengan guru yang masih muda”, pungkasnya. (sindonews.com,19/9/21)
Proses seleksi program
Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) ini yang semestinya membawa
harapan baru bagi guru honorer menyisakan masalah baru lagi. Ribuan guru
honorer mengaku keberatan dengan proses seleksi yang memberikan beban soal yang
dirasa sulit dan tingginya passing grade yang
ditetapkan, serta sistem ujian yang berbasis online pun turut menjadi kendala, khususnya bagi guru honorer
senior yang sudah puluhan tahun mengabdi. Mereka diharuskan mengerjakan
soal-soal sulit yang panjang dan melelahkan dan dituntut bersaing dengan guru
yang lebih muda dengan kemampuan dibidang teknologi dan pengetahuan serta
pikiran mereka yang masih segar, tentu itu akan menjadi persaingan yang tidak
seimbang.
Mekanisme seleksi
tersebut dinilai belum memenuhi keadilan bagi guru honorer, contohnya tidak
memperhatikan masa pengabdian dari guru honorer tersebut. Padahal peran guru
honorer ini tak dapat dipandang sebelah mata, karena nyatanya merekalah yang
memenuhi kebutuhan guru di Indonesia khususnya di daerah dan di pelosok desa
yang tak dapat dipenuhi hanya dengan mengandalkan guru ASN. Dengan adanya guru
honorer, kekurangan guru dapat ditutup, tetapi peran penting mereka tidak
sebanding dengan gaji yang mereka dapatkan.
Kondisi ini menandakan
bahwa Indonesia amat butuh guru. Namun faktanya, masih kurang tenaga guru jika
guru honorer tidak ada. Sudah selayaknya pemerintah membuka penerimaan guru
tanpa adanya embel-embel kontrak dalam program PPPK ini. Sebab, selain
menggantung nasib guru honorer seperti ini, jelas bahwa pemerintah tidak serius
memenuhi kebutuhan rakyat akan pendidikan dan tidak serius mencetak generasi
bangsa ini.
Bukankah pendidikan
bagian dari kebutuhan asasi rakyat? Lebih jauh lagi, pendidikan memiliki peran
yang besar dalam membangun peradaban yaitu dengan mempersiapkan dan menjaga keberlanjutan
generasi mudanya. Salah satunya dengan menyejahterakan guru yang mendidik
generasi tersebut. Namun faktanya, perlakuan terhadap guru tak sebanding dengan
peran besar mereka. Mereka dililit di berbagai kendala kompetensi padahal
memiliki tugas strategis dalam mencetak generasi. Uang gaji bulanan guru
honorer hanya ratusan ribu/bulannya. Itu pun hanya habis biaya transportasi,
sisanya untuk biaya makan, belum lagi pakaian dan lain sebagainya. Didukung
juga komentar netizen yang membandingkan gaji staf khusus presiden yang
mencapai 1,5 juta dengan guru honorer yang belasan tahun mengabdi.
Kemudian, kurangnya
jasa guru akibat banyaknya ASN senior yang pensiun. Padahal di sisi lain jumlah
guru honorer sangat banyak disetiap wilayah. Namun negara belum mampu
mengangkat ASN baru sesuai kebutuhan. Hal yang patut dipertanyakan di sini
yaitu apakah negara terlalu berat hati untuk menyejahterakan dan menjamin
kehidupan bagi pendidik? Inilah bukti gagalnya sistem kapitalisme dalam
menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok warganegara seperti pendidikan dengan
fasilitas memadai, berkualitas termasuk menggaji guru secara layak.
Dalam sejarah peradaban Islam, pendidikan berhasil menghantarkan umat Islam sebagai umat terbaik
bahkan menjadi mercusuar peradaban dunia di era kegelapan saat itu. Anggaran
yang dikeluarkan untuk bidang pendidikannya dari baitul mal yang berbasis
ekonomi Islam yang sesuai syariat.
Negara
menjamin kebutuhan pokok publik berupa pendidikan gratis dan jaminan kehidupan
yang sejahtera bagi guru dan memuliakannya.
Diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, dari Sadaqoh
ad-Dimasyqi, dar al- Wadl-iah bin Atha, bahwasanya ada tiga orang guru di
Madinah yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin Khattab memberi
gaji lima belas dinar (1
dinar setara dengan 4,25 gram emas, berarti 15 dinar = 63,75 gram emas. Bila saat
ini 1 gram emas seharga Rp 700 ribu, berarti gaji guru pada saat ini setiap
bulannya sebesar 44.625.000). Angka yang sangat layak dan
fantastis bila kita
bandingkan dengan pendapatan guru honorer pada saat ini.
Akibat dari pemberian jaminan hidup yang baik membuat
guru tidak terbebani dengan masalah kehidupan. Guru-guru pada masa itu
fokus
untuk menjalankan tugasnya
sebagai pendidik dan pencetak SDM berkualitas yang dibutuhkan negara untuk membangun
peradaban yang agung dan mulia. Para guru juga memahami akan
amanahnya sebagai pendidikan karena untuk menghendaki kebaikan.
Demikianlah bagaimana Islam memperhatikan hak-hak guru. Pemerataan guru pun sangat mudah diwujudkan dan perhatian negara pada guru sangat baik. Kemuliaan guru pun akan terpancar sebab semua itu sudah diatur sempurna dalam Islam. Islam memberikan solusi atas semua problematika yang ada sebab dengan syariat Islamlah kesejahteraan rakyatnya terjamin. Akan tetapi, sungguh tidak mungkin syariat Islam dapat di terapkan oleh sebuah negara yang berasaskan selain Islam seperti Kapitalisme dengan akidah Sekulernya ataupun komunisme yang tidak mengakui keberadaan agama, maka hanya negara Khilafahlah yang mampu menerapkan sistem Islam secara menyeluruh.
Waallahu a'lam bishawab.
Post a Comment