Membidik Santri demi Menggerakkan Ekonomi Bukan Solusi yang Tepat

Oleh: Azizha Nur Dahlia

Alumni Universitas Bina Sarana Informatika

  

Santri biasa identik dengan kealiman dan kezuhudan nyatanya kini mulai sirna. Pasalnya pada perayaan Hari Santri 2021 Oktober kemarin, para santri dibidik dalam program pergerakan ekonomi nasional. Dikutip dari viva.co.id, Jokowi menaruh harapan besar kepada Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) sebagai organisasi keumatan, MES harus mampu menjadi lokomotif pengembangan ekonomi syariah yang membumi dan mampu melahirkan lebih banyak wirausaha dari kalangan santri yang menggerakkan perekonomian yang inklusif.

Menurut Jokowi, peran pendidikan di pesantren, madrasah maupun pendidikan tinggi agama Islam sangat strategis mencetak lulusan yang inovatif dan berkewirausahaan. Mencetak lulusan yang mampu bersaing di pasar kerja dan menjadi wirausahawan sosial yang sukses.

Ini sangat jauh sekali dari esensi sejarah Peringatan Hari Santri itu sendiri. Hari Santri ditetapkan berdasarkan tanggal keluarnya resolusi jihad yaitu seruan kalangan pesantren untuk melawan penjajah. Aksi resolusi jihad pada 22 Oktober 1945 dimulai dari seruan KH Hasyim Asy'ari kepada para santri dan ulama pondok pesantren dari berbagi penjuru Indonesia. Instruksi tersebut berisi untuk membulatkan tekad dalam melakukan jihad membela tanah air.

Sebab-sebab munculnya resolusi jihad tidak dapat dipisahkan dari peristiwa-peristiwa sejarah sebelumnya. Setelah kemenangan sekutu atas Jepang yang ditandai menyerahnya Jepang tanpa syarat 14 Agustus 1945, Indonesia memproklamirkan kemerdekaan secara de facto 17 Agustus 1945. Hari berikutnya, Indonesia menetapkan Undang-Undang dan Pemerintahan Indonesia serta Lembaga Legislatif pada waktu itu PPKI, sehingga dinyatakan merdeka secara de jure. Hingga Pendaratan Netherlands Indies Civil Administration (NICA) di Indonesia memicu kemarahan rakyat Indonesia yang tidak rela untuk dijajah kembali oleh Belanda.

KH Hasyim Asy'ari menyatakan umat Islam harus melakukan pembelaan terhadap tanah air dari ancaman asing. Kesepakatan mereka melahirkan resolusi yang diberi nama Resolusi Jihad. Resolusi menyatakan perjuangan untuk merdeka adalah perang suci (jihad). Resolusi Jihad ditetapkan sebagai persiapan rakyat menolak pendudukan kembali Belanda yang tergabung dalam NICA. Pemerintah menyebarkan Resolusi Jihad melalui sebuah surat kabar pada 26 Oktober 1945. Ulama tidak ikut menyebarkan karena pertimbangan politik. Resolusi Jihad, awal mulai Hari Santri Nasional, mendorong semangat santri untuk mempertahankan kemerdekaan.(detik.com) Ini bermakna kalangan pesantren merupakan aktor penting pelaku perubahan sesuai tuntunan syariat untuk mengenyahkan kezaliman.

Mirisnya justru hari ini, mereka malah didekatkan pada duniawi dan dijauhkan untuk membumikan tuntunan syariat Islam. Bila  membidik santri demi menggerakkan ekonomi bukan solusi yang tepat karena akan merampas potensi santri itu tersendiri.  Apabila yang berilmu difokuskan untuk mencari keuntungan dunia, dengan siapa umat akan mempelajari tuntunan syariat? Bagaimana peran dakwah Islam ke depannya? Semestinya dari kalangan santri dan ulama diharapkan lahir gelombang perubahan untuk menentang segala bentuk penjajahan berdasarkan tuntunan syariat Islam.

Namun, beginilah kondisinya. Hidup tidak dalam sistem Islam. Hidup yang hanya meniscayakan kebahagiaan duniawi dengan mengejar materi sebanyak-banyaknya, tanpa memperhatikan halal haram.

Masalahnya bagaimana sistem hari ini sangat salah mengelola ekonomi. Jelas, sistem di luar Islam akan memberikan kezaliman dan akan memunculkan mudarat. Sebanyak apa pun pemanfaatan ekonomi dilakukan namun kalau sistem yang mengelola salah pasti akan salah juga hasilnya. Maka sudah sepatutnya kita hanya berharap pada sistem Islam yang hanya memberikan keadilan tidak hanya di bidang ekonomi namun juga di setiap aspek kehidupan.[]

Post a Comment

Previous Post Next Post