Perang Baliho, Ngemis Simpati Malah Tuai Antipati


Oleh Merli Ummu Khila 
Pemerhati Kebijakan Publik 
 
Dari baliho itu membuktikan bahwa mereka yang sedang berkuasa hanya ingin memperpanjang masa jabatan untuk memperkaya diri. Dari baliho itu membuktikan bahwa kekuasaan merupakan kursi empuk yang harus diperebutkan mati-matian. Semua demi apa coba? mustahil demi rakyat. 

Pandemi belum lagi berakhir. Tanda-tanda akan sirna dari muka bumi ini pun belum ada. Justru semakin tidak terkendali dan dunia seakan mulai pasrah tanpa perlawanan. Pemerintah yang bertanggung jawab atas keselamatan rakyatnya mulai tidak peduli. Ambisi meraih tampuk kekuasaan dirasa jauh lebih penting ketimbang penanganan pandemi. 

Pilpres 2024 masih tiga tahun lagi. Waktu yang cukup lama bagi rakyat mempertimbangkan pemimpin pilihannya. Tapi seperti biasa, para pemburu kursi penguasa mulai tebar pesona. Curi start demi mendongkak popularitas. Sejumlah elite politik mulai memajang fotonya di papan reklame raksasa di jalan utama kota. Tentu dengan berbagai jargon klasik khas mencari simpati rakyat. 

Perang Baliho, Ajang Dongkrak Popularitas 

Bagi para petarung politik meskipun minim kualitas namun popularitas mereka ditengah masyarakat memberikan poin tersendiri. Faktanya memang masyarakat khususnya kelas menengah kebawah cenderung "asal coblos"  saja yang penting wajah calon familiar. Jarang sekali mendapati pemilih yang memilih atas pertimbangan kualitas calon. 

Hal ini yang dimanfaatkan calon pemimpin untuk "cari muka". Memoles citra sebaik mungkin bahkan banyak yang mendadak berpenampilan alim demi memikat hati rakyat. Hal yang paling instan untuk populer adalah memajang foto di baliho dengan berbagai jargon. 

Demokrasi memang berbiaya tinggi. Jangankan untuk menjadi seorang presiden, untuk pencalonan lurah saja bisa menghabiskan uang miliaran. Modal tersebut bukan murni uang pribadi tapi juga bermutual dengan pengusaha dan tentu saja ada deal politik. 

Cari Simpati, Malah Tuai Antipati 

Aksi curi start kampanye ini justru menjadi sebuah ironi. Bagaimana tidak, masyarakat saat ini diantara sekarat dan mati karena pandemi. Ada yang sekarat karena terpapar, banyak juga yang sekarat karena lapar. Kematian pun tidak menjadi akhir dari penderitaan, namun keluarga yang ditinggalkan justru menjadi masalah baru. Ribuan anak menjadi yatim, ribuan perempuan menjadi janda. Kehilangan penopang keluarga. 

Rakyat menuntut keseriusan pemerintah menangani wabah. 
Faktanya rakyat tidak melihat upaya maksimal pemerintah entah itu dalam penanganan virus maupun menjamin kebutuhan rakyat. Justru kebijakan yang diambil sering menuai kontroversi. Aturan prokes tebang pilih, proyek infrastruktur tetap jalan, PPKM tanpa kompensasi pada masyarakat yang terdampak. 


Munculnya baliho itu justru membuat masyarakat makin muak. Bukannya mendapatkan simpati masyarakat melainkan antipati. Masyarakat semakin paham bahwa memang semua  pejabat yang mereka pilih bukan lagi sebagai representasi rakyat. Ambisi menjabat adalah ajang memperkaya diri. Maka disimpulkan bahwa demokrasi adalah menjadikan kekuasaan untuk uang dan uang menjadi modal utama mencapai kekuasaan. 

Lalu perubahan seperti apa yang bisa diharapkan? Jika sistem demokrasi meniscayakan sebuah kekuasaan hanya menjadi perburuan para antek kapital. Nyatanya belum pernah tercipta kesejahteraan di negeri ini sejak merdeka secara fisik dari penjajah. Karena sejatinya kita sedang dijajah secara sistem yang jauh lebih menyengsarakan karena menyasar semua aspek kehidupan. 

Kekuasaan dalam perspektif Islam adalah pengurusan rakyat. Pemimpin adalah periayah atau pengurus. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. :
“Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).

Kekuasaan didapat bukan dari meminta jabatan apatah lagi mengkampanyekan diri. 
Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihin menjelaskan, meminta-minta suatu jabatan adalah perbuatan yang dilarang. Hal ini dijelaskan sendiri oleh Rasulullah SAW.
Abu Sa’id ‘Abdurrahman bin Samurah berkata, Rasulullah saw berkata padaku:
ÙŠ 
“Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kekuasaan karena sesungguhnya jika engkau diberi kekuasaan tanpa memintanya, engkau akan ditolong untuk menjalankannya. Namun, jika engkau diberi kekuasaan karena memintanya, engkau akan dibebani dalam menjalankan kekuasaan tersebut.” (HR. Muttafaqunalaih)

Sungguh sangat kontras jika dibandingkan sistem saat ini. Pemimpin dalam Islam justru menganggap kekuasaan adalah musibah yang harus dipertanggungjawabkan. Kekuasaan bukan prestasi yang harus diraih namun sebuah dedikasi untuk kemaslahatan umat. Pemimpin dengan kriteria seperti ini hanya ada dalam institusi pelaksana hukum syariah yaitu Daulah Khilafah Islamiyah ala Manhajin Nubuwwah. 


Wallahu a'lam bishshawaab 

Mohon maaf artikel saya tarik ya, takut keburu nggak update 
Sembunyikan kutipan teks

Pada tanggal Jum, 27 Agt 2021 12.48, Ummu Khila <ummu.khila1453@gmail.com> menulis:
Perang Baliho, Ngemis Simpati Malah Tuai Antipati

Oleh Merli Ummu Khila 
Pemerhati Kebijakan Publik 
 
Dari baliho itu membuktikan bahwa mereka yang sedang berkuasa hanya ingin memperpanjang masa jabatan untuk memperkaya diri. Dari baliho itu membuktikan bahwa kekuasaan merupakan kursi empuk yang harus diperebutkan mati-matian. Semua demi apa coba? mustahil demi rakyat. 

Pandemi belum lagi berakhir. Tanda-tanda akan sirna dari muka bumi ini pun belum ada. Justru semakin tidak terkendali dan dunia seakan mulai pasrah tanpa perlawanan. Pemerintah yang bertanggung jawab atas keselamatan rakyatnya mulai tidak peduli. Ambisi meraih tampuk kekuasaan dirasa jauh lebih penting ketimbang penanganan pandemi. 

Pilpres 2024 masih tiga tahun lagi. Waktu yang cukup lama bagi rakyat mempertimbangkan pemimpin pilihannya. Tapi seperti biasa, para pemburu kursi penguasa mulai tebar pesona. Curi start demi mendongkak popularitas. Sejumlah elite politik mulai memajang fotonya di papan reklame raksasa di jalan utama kota. Tentu dengan berbagai jargon klasik khas mencari simpati rakyat. 

Perang Baliho, Ajang Dongkrak Popularitas 

Bagi para petarung politik meskipun minim kualitas namun popularitas mereka ditengah masyarakat memberikan poin tersendiri. Faktanya memang masyarakat khususnya kelas menengah kebawah cenderung "asal coblos"  saja yang penting wajah calon familiar. Jarang sekali mendapati pemilih yang memilih atas pertimbangan kualitas calon. 

Hal ini yang dimanfaatkan calon pemimpin untuk "cari muka". Memoles citra sebaik mungkin bahkan banyak yang mendadak berpenampilan alim demi memikat hati rakyat. Hal yang paling instan untuk populer adalah memajang foto di baliho dengan berbagai jargon. 

Demokrasi memang berbiaya tinggi. Jangankan untuk menjadi seorang presiden, untuk pencalonan lurah saja bisa menghabiskan uang miliaran. Modal tersebut bukan murni uang pribadi tapi juga bermutual dengan pengusaha dan tentu saja ada deal politik. 

Cari Simpati, Malah Tuai Antipati 

Aksi curi start kampanye ini justru menjadi sebuah ironi. Bagaimana tidak, masyarakat saat ini diantara sekarat dan mati karena pandemi. Ada yang sekarat karena terpapar, banyak juga yang sekarat karena lapar. Kematian pun tidak menjadi akhir dari penderitaan, namun keluarga yang ditinggalkan justru menjadi masalah baru. Ribuan anak menjadi yatim, ribuan perempuan menjadi janda. Kehilangan penopang keluarga. 

Rakyat menuntut keseriusan pemerintah menangani wabah. 
Faktanya rakyat tidak melihat upaya maksimal pemerintah entah itu dalam penanganan virus maupun menjamin kebutuhan rakyat. Justru kebijakan yang diambil sering menuai kontroversi. Aturan prokes tebang pilih, proyek infrastruktur tetap jalan, PPKM tanpa kompensasi pada masyarakat yang terdampak. 


Munculnya baliho itu justru membuat masyarakat makin muak. Bukannya mendapatkan simpati masyarakat melainkan antipati. Masyarakat semakin paham bahwa memang semua  pejabat yang mereka pilih bukan lagi sebagai representasi rakyat. Ambisi menjabat adalah ajang memperkaya diri. Maka disimpulkan bahwa demokrasi adalah menjadikan kekuasaan untuk uang dan uang menjadi modal utama mencapai kekuasaan. 

Lalu perubahan seperti apa yang bisa diharapkan? Jika sistem demokrasi meniscayakan sebuah kekuasaan hanya menjadi perburuan para antek kapital. Nyatanya belum pernah tercipta kesejahteraan di negeri ini sejak merdeka secara fisik dari penjajah. Karena sejatinya kita sedang dijajah secara sistem yang jauh lebih menyengsarakan karena menyasar semua aspek kehidupan. 

Kekuasaan dalam perspektif Islam adalah pengurusan rakyat. Pemimpin adalah periayah atau pengurus. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. :
“Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).

Kekuasaan didapat bukan dari meminta jabatan apatah lagi mengkampanyekan diri. 
Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihin menjelaskan, meminta-minta suatu jabatan adalah perbuatan yang dilarang. Hal ini dijelaskan sendiri oleh Rasulullah SAW.
Abu Sa’id ‘Abdurrahman bin Samurah berkata, Rasulullah saw berkata padaku:
ÙŠ 
“Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kekuasaan karena sesungguhnya jika engkau diberi kekuasaan tanpa memintanya, engkau akan ditolong untuk menjalankannya. Namun, jika engkau diberi kekuasaan karena memintanya, engkau akan dibebani dalam menjalankan kekuasaan tersebut.” (HR. Muttafaqunalaih)

Sungguh sangat kontras jika dibandingkan sistem saat ini. Pemimpin dalam Islam justru menganggap kekuasaan adalah musibah yang harus dipertanggungjawabkan. Kekuasaan bukan prestasi yang harus diraih namun sebuah dedikasi untuk kemaslahatan umat. Pemimpin dengan kriteria seperti ini hanya ada dalam institusi pelaksana hukum syariah yaitu Daulah Khilafah Islamiyah ala Manhajin Nubuwwah. 


Wallahu a'lam bishshawaab

Post a Comment

Previous Post Next Post