Perang Baliho, Menyingkap Kedok Politisi dalam Demokrasi



Oleh Nur Fitriyah Asri
Penulis Ideologis Bela Islam Akademi Menulis Kreatif


Perhelatan pesta demokrasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 masih tiga tahun lagi. Anehnya perang baliho sudah dimulai. Wajah para politisi mulai dari Ketua DPR Puan Maharani, Ketum Golkar Airlangga Hartarto, Ketum PKB Muhaimin Iskandar, hingga Ketum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), mejeng di tempat-tempat strategis. Bak jamur tumbuh di musim penghujan. Semarak memenuhi kota hingga ke daerah-daerah untuk merebutkan simpatik atau mencari popularitas. Mereka berpikir jika tidak dikenal maka tidak dipilih.
Kemudian muncul pertanyaan, apakah pemasangan baliho di masa pandemi masih efektif meningkatkan popularitas?

Pakar Komunikasi Universitas Indonesia (UI), Firman Kurniawan Sujono, mengatakan memang baliho memiliki keunggulan tersendiri. Apalagi baliho dipasang di tempat strategis akan menjadi pusat perhatian publik. Secara struktural memaksa orang untuk melihatnya. Namun, menurutnya perang baliho antar politisi di musim kampanye menjadi kejenuhan bagi masyarakat. Akibatnya, pesan yang ada di baliho tidak sampai ke masyarakat. Bahkan, sebaliknya bisa jadi menolak pesan karena ada persepsi negatif. (detik.news, 5/8/2021)

Sementara, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno justru  meragukan strategi pengenalan diri lewat baliho akan membuahkan hasil. Sebab, baliho hanya benda mati dan tidak membuahkan apa-apa tanpa diiringi kerja nyata. Apalagi di tengah pandemi Covid-19. Alih-alih diapresiasi, yang ada malah dapat cibiran dan makian. (pikiran-rakyat.com, 8/8/2021)

Hal tersebut disebabkan karena rakyat sudah mulai cerdas. Bisa membaca rekam jejak politisi selama ini. Persepsi negatif dari merebaknya baliho di masa pandemi membuat rakyat tidak simpatik kepada para politisi yang dinilai krisis empati. Hal ini bisa dilihat dari komentar netizen di medsos. Justru rakyat muak dibuatnya.

Banyak yang mempertanyakan, dimana etika politik dan rasa empati para politisi untuk kemanusiaan? Bukankah warga tengah menghadapi kesulitan akibat pandemi? Hidup serba sulit, tetapi justru politisi berlomba memasang baliho besar-besaran hanya untuk kepentingan politik 2024. Biaya yang dikeluarkan diprediksi mencapai triliunan. Bukankah itu menyakiti hati rakyat?

Menurut salah satu sumber hasil pantauan detikcom (8/8/2021), untuk memasang baliho di kota besar semisal Bandung, harganya berkisar Rp15 juta hingga Rp20 juta per bulannya, dengan ukuran 4x8 meter. Jika satu tahun antara Rp180 juta hingga Rp200 juta, lengkap dengan penerangan. Sekarang tinggal dihitung, berapa jumlah baliho yang dipasang di seluruh Indonesia, kemudian tinggal mengalikannya. Sungguh, jumlah yang sangat fantastis.

Lain dengan penjelasan seorang politisi sekaligus pengusaha Haikal Hassan, pada acara Catatan Demokrasi TVOne (17/8/2021), menyebutkan bahwa biaya pemasangan baliho berukuran besar selama enam bulan Rp2 miliar. Jika satu tahun Rp4 miliar x jumlah baliho x berapa tahun (3 tahun). Coba berapa? Gila, katanya. Seandainya digunakan membeli gerobak seharga Rp3 juta, dapat berapa? Seandainya dibelikan vitamin untuk orang-orang yang terpapar Covid itu jauh lebih bermanfaat. Ini kalau berbicara masalah naluri dan empati.

Muncul pertanyaan, uang sebesar itu sumbernya dari mana? Dari uang pribadi atau uang partai atau uang pengusaha para cukong?
Kata Haikal, politik itu bisnis. Saya dapat apa, anda dapat apa. Hal ini bukan rahasia umum lagi. 

Inilah asal muasal terjadinya kongkalikong antara penguasa dan cukong. Dalam sistem demokrasi biaya politik itu mahal. Untuk menjadi kepala daerah atau legislatif bisa mencapai miliaran, konon jabatan presiden hingga triliunan. Jika uang berasal dari kantong sendiri maka setelah menjabat akan berpikir balik modal (korupsi, jual jabatan, dan lainnya). Jika didanai cukong, maka apabila terpilih akan balas budi. Undang-undang yang dibuat akan memihak dan menguntungkan mereka seperti, UU Minerba, UU Penanaman modal, UU Migas, UU Kelistrikan, UU Sumber Daya Air, UU Omnibus Low Ciptaker, dan lainnya. Lahirlah sistem pemerintahan oligarki, dimana kebijakan penguasa disetir oleh pengusaha para cukong.

Itulah rekam jejak politisi di negeri ini. Seharusnya hal tersebut dijadikan pelajaran yang berarti. Sejatinya, perang baliho telah menyingkap jati diri para politisi yang tidak empati hanya memikirkan diri sendiri. Semua itu karena disebabkan oleh sistem demokrasi-sekuler yang diadopsi negara ini. Senantiasa melahirkan politisi-politisi yang hanya memikirkan kursi dan tidak punya empati.
Bukan melayani rakyat, tetapi justru berkhianat.

Jadi, sistem demokrasi itulah yang menjadi sumber biang kerok kerusakan. Hal ini wajar karena demokrasi kontradiktif (bertentangan) dengan Islam.  Sedikitnya ada lima hal mendasar, yakni:

1. Dari segi sumber: Demokrasi hasil produk akal manusia, dengan jargon "dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat."
Adapun Islam, berasal dari Allah Swt. melalui wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.

2. Dari segi asas: Demokrasi asasnya sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan), artinya agama tidak boleh mengatur dalam urusan publik. Sedangkan Islam, asasnya akidah Islamiyah yang mewajibkan penerapan Syariat Islam dalam segala bidang kehidupan (QS.al-Baqarah [2]: 208).

3. Dari segi ide kebebasan: Demokrasi mempunyai empat pilar kebebasan, yakni kebebasan berakidah, kebebasan berpendapat, kebebasan bertingkah laku, dan kebebasan atas kepemilikan. Sebaliknya,  Islam justru tidak ada yang namanya kebebasan. Sebab, semua perbuatan harus terikat dengan Syariat Islam.

4. Dari segi standar pengambilan pendapat: Demokrasi menggunakan mayoritas suara terbanyak. Adapun dalam Islam tergantung dari materi yang dibahas (disebut syura) yaitu:
a. Jika materinya terkait hukum syarak, maka standarnya adalah dalil syariat terkuat, bukan suara terbanyak.

b. Jika materinya membahas aspek-aspek teknis dari suatu aktivitas, maka menggunakan suara mayoritas.

c. Jika materinya menyangkut aspek-aspek yang membutuhkan keahlian, standarnya adalah pendapat yang paling tepat yaitu ahlinya, bukan suara terbanyak.

5. Dari sumber hukum: Menurut demokrasi, kedaulatan berada ditangan rakyat. Artinya yang membuat hukum adalah rakyat yang diwakili oleh anggota dewan. Sedangkan dalam Islam, hak membuat hukum adalah Allah. (QS. Yusuf [12]: 40), artinya Allah berfirman, "Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah."

Sistem demokrasi nyata-nyata bertentangan dengan Islam, wajar jika gagal dan menjadi biang kerusakan. Dominasi politik transaksional tidak hanya melahirkan pemimpin yang tidak baik, tetapi juga pemilih yang berperilaku tidak baik. Benar apa yang dikatakan Mahfud MD,  "Malaikat pun bisa jadi iblis jika masuk di sistem pemerintahan Indonesia." (tempo.co, 5/9/2020)

Sudah cukup bagi orang yang beriman kepada Allah, Rasul-Nya, dan hari akhirat untuk mencampakkan demokrasi sistem kufur yang lancang merampas haknya Allah. Hanya sistem Islam, yang akan melahirkan pemimpin-pemimpin takwallah, yang menerapkan syariat Islam secara kafah.
Saatnya kembali kepada sistem Islam di bawah naungan khilafah ala minhajjin nubuwwah.

Allah berfirman, "Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (QS. al-Maidah [5]: 50)

Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post