No title


Oleh: Lestari
(Pemerhati Sosial)

Sebuah video viral memperlihatkan seorang petani yang sedang merusak tanaman cabainya sendiri dikarenakan harga cabai yang kian turun. Video tersebut lantas mengundang reaksi beberapa netizen. Banyak yang geram karena aksi petani tersebut hanya akan merugikan dirinya, namun banyak juga yang simpati dan mempertanyakan kebijakan pemerintah yang justru mengimpor cabai padahal data produksi aneka cabai nasional masih surplus.

Dilansir dari bisnis.com (24/8/21), hingga Juli 2021 produksi cabai tercatat sebanyak 163.293 ton dengan kebutuhan sebesar 158.855 ton. Direktur Sayuran dan Tanaman Obat Kementan, Tommy Nugraha, mengatakan bahwa kita surplus 4.439 ton sehingga kebutuhan masyarakat terhadap aneka cabai masih dapat dipenuhi dari hasil produksi dalam negeri. 

Impor Melesat, Rakyat Sekarat

Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang Januari-Juni 2021 atau selama semester I -2021 Indonesia telah mengimpor 27.851,98 ton cabai dari berbagai negara.  Di antaranya India yang telah memasok cabai ke Indonesia sebanyak 24.606,32 ton dengan nilai mencapai 52,65 juta dollar AS. (kompas.com (29/8/2021)

Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura Kementerian, Bambang Sugiharto, menjelaskan alasan impor cabai sebanyak 27.85 ton tersebut untuk memenuhi kebutuhan industri. Cabai diimpor dalam bentuk dalam bentuk cabai kering, cabai dihancurkan atau ditumbuk dan bukan cabai segar konsumsi. (bisnis.com,29/08/2021)

Menyoroti dalih pemerintah  di atas, sesungguhnya apapun motifnya yang doyan menarik impor sangatlah disayangkan. Sebab, dengan mengimpor secara terus-menerus secara perlahan akan melumpuhkan bahkan mematikan potensi petani cabai dalam negeri. Apalagi di masa pandemi, dimana rakyat terus berjibaku dengan kesulitan hidup mestinya pemerintah berpikir dua kali sebelum menggulirkan kebijakan impor cabai.

Anggota Komisi IV DPR RI, Slamet mengungkapkan bahwa penting bagi pemerintah untuk melihat kembali kebijakan pangan yang menjadi landasan kerja era kabinet Indonesia Maju sebagaimana tertuang dalam nawacita kedaulatan pangan yang muaranya adalah peningkatan kesejahteraan para petani.

Namun jika melihat performa impor negara bahkan saat panen raya, teori kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani tersebut hanya isapan jempol belaka. Faktanya, ketika impor tetap dilakukan saat stok lokal masih mencukupi, maka petani menjerit karena bisa dipastikan harga cabai akan anjlok hingga benar-benar drop. 

Berdasarkan data yang dirilis Kemeterian Perdagangan (Kemendag), harga cabai merah besar per kg pada 31 Juli 2021 mencapai Rp 32.100,  pada 28 Agustus  Rp 26.300, turun  18,07 persen. Harga cabai merah keriting  Rp 26 ribu  merosot 20,49 persen dibandingkan akhir Juli yang masih bercokol di posisi Rp 32.700.  Harga cabai rawit merah lebih terpuruk, pada 31 Juli  harganya Rp 60.500, kini rontok menjadi Rp 43.200,  anjlok 28,60 persen (medcom.id, 1/9/2021).

Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Yogyakarta, Hempri Suyatna turut menyayangkan langkah tersebut. Ia mengatakan sebenarnya negara bisa memfasilitasi pengembangan industri olahan cabai, juga membangun sistem atau teknologi penyimpanan cabai agar tahan lama, tetapi tidak pernah dilakukan. Problem utama  pemerintah, tidak pernah serius membangun kedaulatan pangan di negara sendiri (ayoyogya.com, 29/8/2021).

Jika demikian, maka tak bisa dielakkan lagi bahwa petani lokal hanya mampu gigit jari dalam menghadapi situasi menyedihkan semacam ini. Petani sekarat, namun upaya nyata dari pemerintah untuk menghadirkan solusi solutif nyaris tak berwujud.  Memang, mereka mengatakan akan meminta para pengusaha lokal dan pemerintah daerah untuk menyerap hasil panen petani. Akan tetapi, ungkapan tersebut juga jauh dari kenyataan. Ini mengindikasikan bahwa pemerintah tak peduli nasib para petani.

Beginilah buruknya nasib petani di dalam sistem kapitalisme yang terjadi karena kurangnya sokongan dari pemerintah. Petani dibiarkan dengan aneka kesulitannya, seperti keterbatasan lahan, kekurangan modal, kurang cakap teknologi pertanian, atau lemahnya posisi petani di hadapan para tengkulak. 

Orang yang menganggap dirinya ‘wakil rakyat’ hanya memikirkan bagaimana caranya mendapatkan keuntungan ekonomi sebesar-besarnya.  Tentu saja bukan untuk rakyat melainkan segelintir mereka, baik pengusaha, penguasa hingga importir asing. Alhasil, sistem ini secara tidak langsung telah mengubah struktur masyarakat menjadi dua bagian, yaitu kaya dan miskin. Petani akan meratapi nasibnya dan para kapitalis akan semakin meraih  kejayaannya.

Impor dalam Islam

Keadaan ini berbanding terbalik dengan sistem islam. Dimana, seorang pemimpin Islam (khalifah) dipilih atas dasar ketakwaan dan kemampuannya dalam menegakkan syariat Allah. Dalam Islam, negara mempunyai peran mengontrol mekanisme pasar secara adil berdasar syariat Allah. 

Berbicara kebijakan impor Islam melaksanakannya secara benar dengan memperhatikan kesejahteraan bagi seluruh umat tanpa ada perbedaan status sosial. Di antaranya, negara mengambil kebijakan untuk memaksimalkan pengelolaan dan pendistribusian hasil pangan dalam negeri untuk menjamin kebutuhan umat keseluruhan. Selanjutnya, ketika negeri mengalami kekurangan stok pangan, maka impor diperbolehkan sekadar solusi jangka pendek. Sehingga negara tidak bergantung pada asing dalam mengelola negara dan menyejahterakan rakyatnya.

Demikianlah syariat Islam memberikan solusi terbaiknya dalam menyelesaikan persoalan hidup manusia. Lebih dari pada itu, sejarah telah membuktikan penerapan paradigma Islam yang sahih dalam lingkup negara benar-benar meri'ayah umat dengan pelayanan terbaik selama kurang lebih 13 abad lamanya untuk seluruh umat manusia. Kuncinya hanya satu, yakni menerapkan Islam secara Kaffah dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Wallahu a’lam bi showwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post