Kebijakan Pedas di Tengah Anjloknya Harga Cabai



Oleh Mumtazah Az-zahrah
Aktivis Dakwah


Aneh bin ajaib memang, ketika kampanye slogan kemandirian pangan menjadi bahan jualan. Namun kenyataanya kebijakan pemenuhan pangan malah mencekik produksi dalam negeri. Ironi, kala petani menyambut hasil panen dengan harapan keuntungan, malah kebuntungan yang mereka dapat karena kebijakan yang tidak memihak. Di saat kelangkaan cabai, para petani berharap harga yang lebih tinggi, namun mereka dikhianati. Untuk mengatasi kelangkaan tersebut, pemerintah membuka kran impor cabai sebanyak 27 ton lebih, yang setara dengan 8,58 triliun. Otomatis harga cabai lokal terjengkal.

Dalam konsep ekonomi kapitalis, ketika konsumsi meningkat dan terjadi kelangkaan, maka faktor produksi harus ditingkatkan untuk memenuhi kelangkaan. Impor dijadikan pemerintah sebagai jalan ninja pemenuhan permintaan dalam negeri. Alih-alih menstabilkan kebutuhan, kesengsaraan justru menimpa petani cabai dalam negeri. Cabai sendiri merupakan produksi lokal yang bisa dimaksimalkan pengelolaan dan distribusinya oleh pemerintah, namun sayang hal tersebut tidak menjadi prioritas. 

Ekonomi yang berpihak kepada pemilik modal, telah menjadikan manfaat sebagai satu-satunya asas yang sangat khas kapitalisme. Bagaimanapun jalan datangnya kebermanfaatan tersebut akan ditempuh, meskipun banyak penderitaan. Hari ini sangat jelas bahwa sistem ekonomi hanya berpihak pada kapital yang lebih menjanjikan keuntungan bagi mereka.  Ditambah lagi dengan pengampunan pajak (tax amnesty) yang telah ditetapkan. Kebijakan sepihak tersebut juga tidak dapat dilepaskan dari politik transaksional yang membuat pejabat dengan mudah menduduki tampu kekuasaannya. Alhasil, demi balas budi, lagi-lagi rakyat selalu dikorbankan.

Gelagat tersebut dapat dilihat pada produksi dalam negeri yang seharusnya bisa dimaksimalkan dengan kebijakan, teknologi dan pembiayaan namun tidak dipilih sebagai opsi penanganan oleh pemerintah. Lingkaran masalah tersebut seolah tak pernah berujung dan senantiasa merugikan rakyat kecil. Lingkaran itu harus diputus dengan dicabutnya akar sistem yang membuatnya tetap berputar, yaitu demokrasi kapitalis. Sistem yang lahir dari rahim ideologi kapitalis. 

Bagi seluruh kaum muslimin sudah tidak ada hajat untuk mempertahankan sistem semacam itu, sebab Rasulullah saw telah meneladani kita dengan sistem Islam komperhensif yang terlahir dari ideologi Islam.

 Ekonomi Islam tidak hanya memandang keuntungan sebagai tujuan utamanya, namun halal-haram harus dijadikan patokan. Potensi dalam negeri akan dimaksimalkan untuk memenuhi segala kebutuhan dalam negeri sehingga tidak memerlukan impor. Impor hanya dilakukan apabila kebutuhan dalam negeri tidak lagi mampu dipenuhi, namun hanya dilakukan sampai permintaan dalam negeri menjadi stabil. 

Terwujudnya ekonomi mandiri dapat diraih dengan kembali menerapkan ekonomi islam yang dibangun oleh sistem Islam pula, yaitu khilafah Islamiyah. Negara khilafah menjamin kebutuhan rakyat tanpa basa-basi politik ala kapitalis. Menyejahterakan rakyat adalah kewajiban, sehingga tidak ada celah bagi kapital dalam menguasai dan mengendalikan ekonomi Negara. Aktivitas impor hanya dilakukan dengan Negara yang tidak menjadi kafir harbi fi'lan yaitu yang negara memusuhi dan memerangi Islam. Sehingga hubungan ekonomi hanya sekedar perdagangan bukan invasi ekonomi yang selalu merugikan Negara pengimpor.

Ketiadaan Islam dan kedzaliman yang senantiasa menjadi, mengharuskan betul bagi kaum muslimin untuk kembali mengambil sistem hidup mereka yang sesungguhnya. Khilafah adalah kebutuhan umat hari ini, maka tegaknya harus menjadi agenda bersama untuk mengakhiri hegemoni sistem rusak dan merusak hari ini.
Wallahu alam bishawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post