Berulangnya Penghinaan Agama, Bukti Sangsi Sekuler Tak Buat Jera?


Oleh Nur Octafian Nalbiah L. S.Tr.Gz

Muslim siapa yang tidak mendidih darahnya bila agamanya dinistakan. Beberapa waktu lalu penghinaan agama berulang kembali di negeri ini yang mayoritas penduduknya adalah muslim terbesar dunia. Kali ini dilakukan oleh seorang youtuber atas nama Muhammad Kece.
Diketahui, beredar video ucapan Muhammad Kece yang menyebut kitab kuning yang diajarkan di pondok pesantren menyesatkan dan menimbulkan paham radikal. Selain itu dia juga menyebut Nabi Muhammad SAW dekat dengan jin.(iNews.id. 22/08/2021)
Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas meminta polisi segera menangkap youtuber Muhammad Kece karena menghina agama Islam. (iNews.id. 22/08/2021)
Apa yang dilakukan oleh M. Kece tersebut memancing kemarahan umat Islam. Sebab diketahui sejak setahun belakangan dia aktif membagikan video di kanal youtubenya yang berisikan video-video hinaan terhadap Allah, kitab suci Al-Qur’an, Rasulullah, Ulama hingga ajaran-ajaran Islam. 

M. Kece sendiri telah dilaporkan ke pihak berwajib atas tindakannya, namun sayang setelah ia dilaporkan ke Badan Reserse Kriminal POLRI. Hingga saat ini pihak kepolisian belum mampu menemukan keberadaan M. Kece pelaku penghinaan Islam. Hal ini menjadikan kaum Muslim kecewa dan ragu. Sebab acap kali terjadi bagaimana kita diperlihatkan beberapa waktu lalu ulama terduga kerumunan sangat cepat ditangkap sedangkan pelaku penghina agama Islam yang jelas-jelas melecehkan Islam, pergerakan pihak kepolisian terasa sangat lambat.

Salah satu yang membuat umat Islam makin membara adalah M. Kece menghina Islam dengan berpenampilan bak ustadz yang sedang mengisi ceramah-ceramah. Ia pun menggunakan atribut bak seorang muslim, menggunakan kopiah dan membedah isi Al-Qur’an dan mengganti beberapa konteks yang disesuaikan dengan ajaran agama yang dianutnya sekarang.

Penistaan terhadap Islam sangat mungkin terjadi, bukan hanya sekali tapi berulang-ulang kali. Hal ini wajar terjadi dalam negeri sekuler yang menjamin berbagai macam kebebasan, dimana sekularisme menduduki posisi sentral negeri.

Kalau pun ada tindakan dari pihak berwajib, sangsi yang diberi bukan sangsi tegas yang membuat jera. Berbagai ejekan dan olokan-olokan baru yang menghina atau pun menyudutkan Islam semakin menggila. Padahal penghinaan agama adalah bentuk tindakan yang fatal dan serius, tapi ironisnya tidak cepat ditangani dan ditindaki. Bahkan kasus semacam ini seolah jarang terurus sampai tuntas. Apakah ini yang dikatakan bukti dari pengamalan toleransi beragama ?

Persamaan hak antara umat beragama yang didengungkan dan dijamin oleh sistem sekularisme nyatanya hanya ilusi belaka. Bila yang mengalami kerugian adalah non muslim maka begitu cepat cap yang dilabelkan seperti intoleran. Sedangkan jika yang mengalami penghinaan adalah umat Muslim, maka diminta untuk tetap sabar dan si penista masih bebas berkeliaran. 

Inilah konsekuensi saat kita berada dalam kungkungan Kapitalisme yang menjamin hak seseorang untuk bersuara mengekspresikan keinginannya. Undang-undang penodaan agama yang ada di negeri ini pun tidak mampu menahan berulangnya kasus penistaan agama. Sebab sangsi-sangsi yang diberikan terhadap aturan-aturan terkait, bukanlah sangsi yang membuat orang jera. Selain itu norma yang mengatur terkait penista agama masih terlalu longgar.

Berbeda halnya dalam negara yang menerapkan Islam kaffah, dimana aturan-aturan yang digunakan dalam bernegara diambil dari Al-Qur’an dan Sunnah yang memiliki seperangkat aturan yang rinci berkenaan dengan penista agama.
 
Berikut hukuman yang akan diberikan pada penista agama : Pertama, Penghina nabi secara sengaja atau pun tidak sengaja, atau langsung, meremehkan, membuat lelucon maka tetap hukumannya adalah hukuman mati, terkecuali mereka yang dipaksa melakukan penghinaan namun hatinya tetap beriman maka mereka terlepas dari hukuman. Kedua, bagi yang diduga menghina Nabi dengan ungkapan yang samar maka ada perbedaan pendapat di kalangan Ulama. Ada yang harus dihukum mati dan ada juga yang dibiarkan hidup namun harus membuktikannya di pengadilan. Ketiga, jika pelakunya adalah kafir harbi maka sangsinya bukan hanya hukum mati tapi juga ditegakkan hukum perang terhadap mereka yang menistakan agama. Keempat, jika pelakunya adalah kafir dzimmi maka sangsi yang diberikan adalah hukuman mati, karena sudah tidak ada lagi atas mereka perlindungan. Kelima, bila pelaku penghinaan agama adalah seorang muslim maka hukumannya adalah hukuman mati. 

Semata-mata tindakan dan hukuman tegas yang dilakukan sebagai bentuk konsekuensi keIslaman. Sebagaimana dijelaskan secara panjang lebar oleh al-Qadhi Iyadh dalam Kitab al-Syifa bi-Ta’rif Huquq al-Mushthafa. 

“Ketahuilah–semoga kita diberi hidayah taufik–bahwa siapa pun yang menistakan Nabi, menghina beliau, atau menganggap beliau tidak sempurna pada diri, nasab, dan agama beliau, atau di antara akhlak beliau, atau menandingi beliau, atau menyerupakan beliau dengan sesuatu untuk menistakan beliau, atau meremehkan beliau, atau merendahkan kedudukan beliau, atau menjatuhkan beliau, atau menghinakan beliau, maka ia termasuk orang yang menistakan beliau. Hukum yang berlaku atasnya adalah hukum pelaku penistaan, yaitu dihukum mati.”

Hal ini akan menyadarkan kaum Muslim bahwa ada persoalan yang lebih urgen daripada sekadar mengutuk, mengecam yang bersifat sementara itu, yaitu kesadaran untuk menyatukan kaum Muslim sedunia dalam satu kekuatan politik global. Sebuah institusi yang terbukti mampu menjadi benteng untuk melindungi kaum Muslim dari berbagai bentuk pelecehan dan penistaan yang mana aturan-aturan rincinya mampu membuat penista agama jera.

Wallahu'alam Bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post