Rasa dan Asa

By Joulee

Aku masih berjalan menyusuri jalan bertanah cadas, kemarau kali ini membuat debu berterbangan menyapu wajahku yang masih menahan gejolak hati yang tak menentu, seragam putih abu-abu ku tampak berantakan, masih untung jaket jeans berwarna biru membuatnya sedikit rapi.

 "Sebenarnya apa yang sudah terjadi sesaat yang lalu" Gerutuku dalam hati.

Sepeda BMX itu masih setia mengiringi langkahku yang gontai, campur aduk rasa hatiku tak ingin melihat pemuda yang menuntunnya, Arsya, teman sekelasku.

"Ini sudah jam 15.00, ayo saya bonceng biar cepet sampai rumah, orang tuamu pasti sudah khawatir, disini tidak ada angkutan umum."

Suara itu terdengar menghawatirkan ku, seperti biasa dia seperti malaikat buatku, senyum kecut bahkan canda tawa serenyah rempeyek pun pernah ku lalui bersamanya, terkadangpun banyak tangis yang kutumpahkan di hadapannya.

Aku memang cengeng, tapi tak pernah sekalipun dia meninggalkanku di saat-saat seperti itu. Namun siang ini berbeda, aku tak tahu rasa apa ini, aku ingin menangis, menjerit tapi aku tak ingin dia melihatku remuk.

Berawal dari kepulangan kami menjenguk Serly, teman sekelas kami yang sudah dua pekan ini tak masuk sekolah, semua teman-temanku mendapat tumpangan ke jalan raya yang jaraknya masih satu kilo lebih dari desa.

Tinggallah aku dan Arsya yang harus jalan kaki, ku putuskan untuk mampir kerumah Arsya dulu yang lokasinya tak masih satu desa dengan Serly, sebelum melanjutkan perjalanan pulang.

Setelah sholat dhuhur, aku menunggunya di ruang tengah bersama dua adik laki-lakinya yang masih berusia tujuh dan empat tahun, anak-anak yang lucu, mereka bermain bahkan  kadang bertengkar.

Aku menyadari mataku sudah terlelap saat sebuah sentuhan menyentuh bibirku.
Ku kernyitkan dahi dengan mata yang masih tertutup, terasa ada hembusan nafas tepat dihadapanku, akupun membuka dan membelalakkan mata.

"Ih !" Kudorong tubuhnya ke belakang.

Segera mungkin ku bangun meraih jaket dan tas punggung ku.

"Mer, a...aku"

Arsya mencoba meraihku yang berlalu keluar rumah.

Kedua adiknya sedang berada di halaman bersama mamanya, aku merubah mimik wajahku seperti tak terjadi apa-apa.

"Mah, saya pamit pulang dulu" 

Sepatu kets putihku segera kupakai, beruntung kaos kaki sudah kupakai sejak setelah shalat tadi.

Kuraih tangan wanita single parent itu, kucium tangannya yang terasa kasap karena banyaknya pekerjaan.

"Oh iya, naik apa ini?, Sya, antarkan Merian!"

Seperti biasa mama selalu memberikan kenyamanan buatku, bahkan membuatku nyaman dengan memanggilnya mama.

"Iya, Ma" Arsya menarik sepedanya dan mengikutiku.

"Assalamualaikum." Aku pun berlalu tanpa menunggu Arsya.

"Waalaikum salam" suara mama tertinggal jauh.

"Mer," 

Arsya masih berusaha menghambat langkahku.

Aku melangkah lebih cepat lagi, tapi rok span panjangku tentu bisa saja membuatku terjungkal.

"Maafkan aku, semua tiba-tiba saja terjadi, selama ini aku hanya menyimpan rasa di hati, tanpa bisa mengutarakan semuanya ke kamu, jika kita selalu bersama di sekolah, di luar sekolah, aku dengarkan semua keluhanmu, membersamai tawamu, apa makna hubungan ini? Aku menyukai kamu, Mer,"

Aku membalikkan tubuhku, kutatap tubuh tegap di hadapanku yang ikut berhenti, tuang persawahan ini serasa sangat sepi, tak ada lalu lalang manusia satupun, hanya aku dan dia.

"Aku juga sangat menyukai kamu, Ars, tapi kita masih terlalu muda untuk bilang suka atau sayang, ada impian yang harus dikejar di masa depan, sebagai anak tertua, kamu harus bisa membahagiakan mama dan adik-adikmu, sedang aku, dengan keluargaku yang gak kalah ruwetnya, kita bisa apa dengan cinta?"

Aku berbalik dan memulai langkahku kembali, air mataku sudah berlomba terjun dari bendungannya.

"Meeeer !"

Sekali lagi Arsya memanggilku, lebih keras.

"Kita akan sama-sama tumbuh dewasa Ars, kita akan bahagia bersama nanti, tapi tidak sekarang."

Aku berkata tanpa mengindahkannya.

****
"Ini hanya antara kita"

 Sebuah kata yang ku ucap kepadanya di lorong sekolah sehari setelah kejadian itu. Dan dia hanya diam.

****

Sepuluh tahun berselang, kabarnya telah sukses dengan usaha galangannya sekarang, sedang aku masih  menunggu, entah siapa.

Sebuah pesan datang dalam bentuk card di bouqet bunga yang indah.

"Aku akan datang besok malam, kamu hanya perlu siap dengan walimu"

***

"Mer"

Sebuah suara sapaan yang amat kurindukan.

"Arsya.."

Kami terpaku sesaat beradu pandang, bibirku merapat menahan denyar aneh namun terasa indah.

"Aku ingin menebus dosaku di hari kau meninggalkan aku, maukah kau menjadi istriku?"

Mataku pun basah karenanya, bahagia, terharu, tak bisa kujawab pertanyaan itu dengan kata-kata.

"Bukankah kau berjanji kita akan bahagia bersama?"

 Arsya mengingatkan perkataanku kala itu.

"He em." anggukan lemah yang dimulai dengan hitbah di hari itu menjadikan malam ini kami resmi menjadi sepasang insan yang telah menghalalkan laku dan ucap kami.

Asaku telah kugapai bersama rasaku denganmu, Arsya.

Post a Comment

Previous Post Next Post