Mural Dijegal, Ironi Kebebasan Dalam Demokrasi


Oleh : Sarmi Julita, SP

Jagat media sosial ramai dengan postingan mural. Menurut KBBI online, mural berarti lukisan pada dinding. Mural biasanya berupa gambar yang dibuat menggunakan cat dan kuas, terdapat pada media permanen seperti dinding rumah, pagar tembok, dll. Mural yang viral di twitter ini berupa gambar yang mirip dengan Jokowi, pada bagian wajah ditutup dengan tulisan 404 : Not Found yang kemudian dinamakan ‘Jokowi 404 : Not Found’. Mural ini terdapat di Jl. Pembangunan I, Batu Ceper Kota Tangerang. Mural tersebut kini sudah dihapus oleh polisi dan jajaran aparat dengan menimpakan cat berwarna hitam.

Sebagaimana dilaporkan oleh Republika.co.id (20/08), polisi telah memeriksa dua orang saksi dan masih mencari pembuat mural tersebut. Kapolsek Batu Ceper AKP David Purba menegaskan akan terus menyelidiki mural ini, karena dianggap bisa mengarah kepada pencemaran nama baik. Kasubbag Humas Polres Metro Tangerang Kota, Kompol Abdul Rachim menyebut pembuat mural tersebut melanggar hukum lantaran melecehkan Jokowi sebagai lambang negara.

Penghapusan mural ‘Jokowi 404 : Not Found’ ternyata bukanlah satu-satunya. Sebelum itu polisi juga telah menghapus mural gambar dengan tulisan “DIPAKSA SEHAT DI NEGARA YANG SAKIT”. Mural ini terdapat di Kecamatan Bangil, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Pemerintah setempat menghapus mural ini usai viral di media sosial karena dinilai provokatif dan mengganggu ketertiban umum.

Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Ubeidilah Badrun turut menanggapi penghapusan mural – mural ini. Ubeid mengkritik sikap aparat yang mengejar pembuat mural seperti seorang penjahat. Menurut Ubeid, mural – mural ini merupakan bentuk kritik sosial. Penghapusan mural merupakan bentuk baru represi dan pembungkaman yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi (CNNIndonesia, 14/08/2021).

Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara juga turut merespon peristiwa ini. Menurut Beka, mural merupakan bagian dari kebebasan berekspresi. Namun, ekspresi seni ini dibatasi oleh beberapa aspek seperti keamanan nasional, keselamatan publik dan ketertiban umum. Kontennya tidak menyebarkan kebohongan, sara dan ujaran kebencian (CNNIndonesia, 14/08/2021).

Seorang Arsitek dan Ahli Tata Kota, Bambang Eryudhawan mengatakan Pemerintah harus berhati-hati dalam memperlakukan mural, graffiti atau seni jalanan. Menurut Yudha, dihapusnya mural bisa menjadi boomerang kepada pemerintah terutama terkait penilaian masyarakat terhadap penguasa. Terlebih lagi, mural sudah ada sejak dulu bahkan sejak zaman orde baru. Seyogyanya pemerintah tidak perlu represif dan cukup memaknai mural sebagai sebuah seni dan media dalam mengemukakan pendapat (Kompas.com, 15/08/2021). 

Ironi di negara yang menganut demokrasi. Sebuah sistem yang menjamin nilai – nilai kebebasan, salah satunya kebebasan berekspresi. Namun, faktanya ruang kebebasan itu hanya diberikan selama itu tidak mengusik kursi kekuasaan. Sebaliknya jika itu mengganggu eksistensi ideologi, kebebasan hanya menjadi ilusi. Slogan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat pun kembali dipertanyakan.

Sikap represif penguasa menanggapi kritik sosial yang disampaikan melalui pesan mural ini menggambarkan penguasa hari ini anti kritik. Kekuasaan yang anti kritik akan mengarah kepada otoriter yakni kekuasaan yang memaksakan kehendak. Dimana suara rakyat dibungkam demi melanggengkan kekuasaan. Lalu, bagaimana bisa menghantarkan kepada Indonesia tangguh dan tumbuh ?.

Hal ini sangat jauh berbeda dengan sistem Islam. Islam justru mendorong rakyat untuk senantiasa melakukan aktifitas mengontrol kekuasaan atau muhasabah lil hukkam untuk menjaga kondisi ideal yakni terlaksananya syariat di tengah masyarakat. Sebab, politik di dalam Islam adalah mengurusi seluruh urusan umat dengan aturan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sedangkan kekuasaan adalah sarana untuk penerapan peraturan Islam di tengah masyarakat.

Meski sistem Islam ini bersumber dari Allah SWT, namun pelaksananya yakni penguasa atau khalifah tetaplah seorang manusia biasa yang tidak luput dari salah dan khilaf. Karena itu, kritik saran serta pengawasan dari rakyat justru sangat diperlukan. Kritik ini justru bentuk kepedulian masyarakat terhadap penguasa agar tidak tergelincir pada tindakan zalim. 

Islam memfasilitasi penyampaian pendapat melalui banyak sarana, seperti adanya partai politik, majelis ummat, hingga individu-individu. Mereka berhak melakukan muhasabah, menasihati serta menyampaikan keberatan terhadap kebijakan yang dianggap tidak sesuai syariat. Aktifitas ini merupakan bagian dari kewajiban kaum muslimin melakukan amar makruf nahi mungkar. Allah SWT Berfirman,
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah…” (Q.S Ali Imran : 110)

Bahkan Rasulullah SAW pun mengingatkan pentingnya aktifitas dakwah dalam sabdanya :
“Demi Allah yang jiwaku ada di tanganNya. Kamu harus melakukan amar makruf nahi mungkar. Atau jika tidak, Allah bisa segera menimpakan azab dari sisiNya dan ketika kamu berdoa maka tidak dikabulkanNya.” ( HR. Ahmad dan Tirmidzi)

Rasulullah SAW pada masa kepemimpinannya di Madinah pernah mendapatkan protes keras dari para sahabat terkait perjanjian Hudaibiyah. Beliau SAW tidak mencela protes mereka. Beliau SAW hanya menolak pendapat mereka dan tetap melanjutkan kesepakatan damai sebab apa yang dilakukan Rasulullah SAW berdasarkan wahyu dari Allah SWT.

Para sahabat juga telah mengoreksi para khulafaur rasyidin pada masa kepemimpinan mereka setelah Rasulullah SAW. Para sahabat pernah mengoreksi Khalifah Umar bin Khattab RA terkait pembagian selimut buatan Yaman, padahal saat ia masih berada di atas mimbar. Seorang wanita pernah memprotes Khalifah Umar bin Khattab RA terkait adanya larangan penambahan mahar dari ketetapan khalifah. Khalifah pun segera meralat kembali kebijakan tersebut.

Karena itu, para anggota majlis ummat, partai politik bahkan kaum muslimin berhak melakukan aktifitas mengoreksi penguasa tanpa adanya pencekalan. Aktifitas ini tentu saja disampaikan dalam batasan-batasan yang telah ditentukan syariah. Bahkan terhadap warga yang non muslim pun, negara Islam yakni Khilafah memberikan hak pengaduan jika ditemukan ada penguasa atau pejabat khilafah yang melakukan kezaliman. Wallaahu A’lam []

Post a Comment

Previous Post Next Post