APBN Kian Seret, Utang Jadi Solusi?


Oleh: Rengga Lutfiyanti
Mahasiswi dan Pegiat Literasi

Pasang surut kondisi perekomian di negeri ini seolah tak pernah usai. Jika sebelum pandemi saja perekonomian negeri ini sudah goyah, kini setelah dilanda pandemi krisis ekonomi semakin berkepanjangan. Salah satu penyebab krisis ini adalah APBN yang semakin berat. 

Ada lima faktor di dalam APBN yang berpotensi menyebabkan krisis di kemudian hari, antara lain:
1. Proses politik APBN yang sakit dan bias
2. Defisit primer yang semakin melebar dan tidak terkendali
3. Rasio pembayaran utang yang naik di era Presiden Joko Widodo
4. Dana yang mengendap dan bocor di daerah
5. Pembiayaan PNM dan BMN sakit yang berpotensi menjadi masalah di masa depan (bisnis.tempo.com, 1/8/2021)

Selain itu, Fuad Bawazier, ekonom sekaligus mantan menteri keuangan, menilai jika kebijakan yang dilakukan pemerintah tidak stabil. Sehingga, menyebabkan efek krisis ekonomi yang berkepanjangan. Penanganan pandemi yang setengah-setengah membuat dana APBN yang dihimpun dari utang pun menjadi 'mubazir'. (republika.co.id, 1/8/2021)

Namun kondisi tersebut tidak menurunkan tekad pemerintah untuk berutang demi menutupi defisit APBN yang besar akibat alokasi anggaran yang sangat besar. Ekonom Didik J. Rachbini, berpendapat bahwa pemerintah saat ini terus melakukan ekspansi dan utang dalam jumlah yang (besar tetapi dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi tidak signifikan. Selain itu, realisasi ekonomi lambat hingga dana sosial jumlahnya banyak dan bervariasi tapi dampaknya kecil. (gatra.com, 2/8/2021)

Memang tidak dapat dipungkiri, pemasukan APBN dalam sistem kapitalis yang saat ini diterapkan di berbagai negeri hanya bersumber dari utang dan pajak. Dalam sistem kapitalis, utang dan pajak bagaikan urat nadi dalam perekonomian. Sehingga mereka tidak bisa hidup tanpa utang dan pajak. 

Sementara, pandemi telah mengakibatkan sektor ekonomi melemah, maka tidak mungkin akan menggenjot pendapatan dari pajak. Oleh karena itu, ketika APBN defisit dan pajak tersendat, maka utang luar negeri menjadi pilihan satu-satunya yang akan digenjot. Berutang merupakan satu-satunya cara yang ditempuh negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalis dalam mengatasi krisis ekonomi yang berkepanjangan dan APBN yang semakin berat. 

Hal ini semakin menunjukkan betapa bobroknya sistem kapitalis. Padahal negeri ini mempunyai potensi berupa modal besar untuk menjadi negara yang makmur sejahtera. Negeri ini memiliki sumber daya alam yang begitu melimpah ruah. Mulai dari tambang, energi, pertanian, hutan dan laut, semuanya ada. Namun, semua itu menjadi tidak berguna. Sebab pengelolaannya diserahkan pada pihak asing dan swasta. Serta tidak jarang kekayaan alam tersebut diprivatisasi oleh segelintir elit penguasa untuk memperkaya diri mereka sendiri. 

Maka wajar, jika negeri ini hanya mengandalkan utang. Padahal disadari atau tidak, utang telah menjadi alat penjajahan untuk semakin melanggengkan agenda penjajahan di negeri-negeri muslim. Membuat mereka semakin terkungkung dan tidak bisa berbuat apa-apa. 

Kondisi seperti ini tentu jauh berbeda dengan sistem pemerintahan Islam. Islam bukan hanya sekedar agama ritual (ibadah), tetapi juga sebuah sistem kehidupan yang kompleks. Termasuk di dalamnya adalah pengaturan sistem keuangan. Pengelolaan kas di dalam Islam sangat unik. Berbeda dengan sistem kapitalis. Sistem ekonomi Islam akan menjaga kas negara dari minus atau mengalami kebocoran. Sehingga kas negara tidak akan tekor. 

Ada beberapa perincian keuangan dalam sistem keuangan ala Islam, yaitu sebagai berikut:
1. Pengatur APBN adalah khalifah (pemimpin). Dengan demikian, Islam memiliki metode pemilihan khalifah yang khas. Tidak semua orang bisa menjadi khalifah. Sebab saat pemilihan, calon khalifah harus memenuhi syarat yang ketat. Di antaranya yaitu, muslim, baligh, berakal, merdeka, mampu, dan adil. Dari sinilah akan diperoleh seorang pemimpin yang kuat imannya, amanah terhadap tugas-tugasnya, dan senantiasa berhati-hati dalam mengatur keuangan negara. 

2. APBN dalam sistem Islam, memiliki pemasukan tetap dan jumlahnya beragam. Kas dalam Islam dibagi menjadi tiga yaitu, pos zakat, kas dari kepemilikan negara, dan kas dari kepemilikan umum. Kas zakat akan diisi oleh para muzaki (orang yang wajib membayar zakat). Kas kepemilikan negara akan diisi dari jizyah, ghanimah, fai', dan kharaj. Termasuk juga harta yang tidak bertuan yang diperoleh dari harta yang tidak memiliki ahli waris atau harta yang dikembalikan oleh orang-orang yang berlaku curang. Sementara, kas kepemilikan umum diperoleh dari hasil pengelolaan sumber daya alam. 

3. Pengeluaran yang ketat. Aktivitas pembiayaan yang dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan penting. Tidak dibenarkan kebutuhan itu melanggar hukum syariat. Sehingga kas negara tidak akan mudah bocor yang disebabkan penggunaan yang boros.

4. Pengawasan yang teliti. Pembelanjaan negara akan selalu diawasi oleh beberapa pihak. Seperti rakyat, majelis umat, majelis wilayah, hingga partai politik. Peluang berlaku curang dan memanfaatkan kas APBN akan diminimalisir. Jika ada kesalahan sedikit saja, akan langsung diingatkan. Semua ini berjalan atas dorongan iman, saling menasehati dengan kasih sayang. 

Semua hal tersebut dilakukan untuk menghindari pemanfaatan APBN yang tidak tepat. Serta menjaga kas negara agar tidak minus. Akan tetapi, semua itu hanya bisa diterapkan jika sistem Islam diterapkan secara kafah. Karena terbukti hanya Islamlah yang mampu menjaga keuangan negara dengan aman dengan seperangkat aturan yang dimilikinya. 

Wallaahu a'lam bishshawaab.

Post a Comment

Previous Post Next Post