PPKM Gagal Mengatasi Covid-19

Oleh Atik Indah Widyaningsih

Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat yang dimulai sejak 03 Juli 2021 lalu, sedianya berakhir pada 20 Juli 2021. Pemberlakuan ini dinyatakan langsung oleh Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan pada Kamis (1/7). Kebijakan ini diumumkan untuk mencegah dan membendung  semakin luasnya penyebaran Covid-19 di Indonesia khususnya untuk wilayah Jawa dan Bali.

Pemerintah mengambil langkah ini dengan dalih melihat peningkatan angka positif rakyat yang terjangkit Covid-19, ditambah dengan mutasi baru dari virus yang semakin melonjak. Seperti halnya, data yang masuk terhitung 24 September 2020 saat posisi Indonesia masih menduduki nomor 14 pada kasus penyebaran Covid-19 pada skala dunia (Kompas.com).

Penyebaran Covid-19 naik drastis pada 18 Juli 2021 dimana Indonesia berada di posisi kedua dengan tambahan kasus baru positif Covid-19, jumlah 44.721 tertinggi di dunia setelah Inggris kemudian diikuti India. Melansir data dari laman Worldometers pada Senin (19/7/2021), tercatat tambahan kasus baru di Indonesia sebanyak 44.721 orang, sehari sebelumnya 51.952 orang. Indonesia berada di posisi teratas untuk jumlah kasus kematian baru di dunia pada tanggal yang sama. Tercatat 1.093 orang meninggal akibat Covid-19.(Tribunnews.com)

Saat ini, masa pemberlakuan PPKM Darurat seharusnya telah berakhir, namun pada proses pemberlakuan kebijakan ini ternyata tidak banyak menekan laju sebaran virus. Data terbaru yang disampaikan oleh Covid19.go.id pada Jumat (23/7/2021) Indonesia positif Covid-19  berjumlah 3.082.410 orang, sembuh 2.431.911 orang, dan meninggal 80.598 orang. Data yang selalu mengalami peningkatan di tiap harinya.

Maka pemerintah menaikkan perpanjangan PPKM hingga 25 Juli 2021. Meski begitu, kali ini pemerintah tidak lagi menggunakan istilah PPKM Darurat atau Mikro. Koordinator PPKM Darurat, Luhut B Pandjaitan mengatakan bahwasanya pemerintah tidak akan lagi menggunakan istilah PPKM Darurat. Tetapi nanti akan menggunakan kategori level mulai dari level 1 sampai 4. “Nanti mungkin jika semua berjalan baik kan kita sekarang kategorikan itu jadi level 1, level 2, level 3, level 4. Level 4 itu yang sama dengan PPKM Darurat,” kata Luhut kepada Kumparan.com, Kamis (22/7).

Teknis pencegahan yang digulirkan pemerintah kepada masyarakat setelah masuk dua tahun masa pandemik mulai dari pemberlakuan PSBB yang belum juga solutif, PPKM Darurat dan lalu kini memunculkan PPKM Level 1-4. Apapun perubahan istilah maupun bentuk perpanjangannya, masyarakat tetap tak bisa berbuat apa-apa selain menerima kebijakan dengan penuh kebingungan. 

Penanganan Covid Ala Kapitalis
Pembatasan aktivitas yang ada justru semakin menambah kesulitan yang dihadapi masyarakat. Mobilitas  rakyat yang dibatasi di masa PPKM sangat mempengaruhi perekonomian rakyat, pasalnya di tengah pembatasan aktivitas masyarakat tidak sedikit masyarakat yang tidak bisa bekerja. Sementara selama pandemik pemberlakuan PPKM, pemerintah tidak menjamin kebutuhan pokok harian masyarakat. 

Anehnya pengetatan hingga penyekatan arus lalu lintas oleh TNI-Polri berlawanan dengan pelonggaran yang diberlakukan pada berjalannya proyek pembangunan infrastruktur dan pelaku bisnis. Misal pembangunan jalan tol, kereta cepat dan lain sebagainya masih boleh berjalan selama masa PPKM Darurat.

Alih-alih terselesaikan pemenuhan kebutuhan pokok harian masyarakat, pemerintah lagi-lagi berencana mengkomersialisasikan vaksin gotong royong. Semua kebijakan ini dilakukan dengan dalih “Negara sedang mengalami Kesulitan Ekonomi,” benarkan demikian?

Karena untuk mengetahui situasi ekonomi suatu negara itu mengalami krisis atau tidak, bisa dilihat dari beberapa indikator diantaranya Tingkat Pengangguran yang Tinggi, Nilai Inflasi yang Tinggi dan Tingkat Utang Negara yang Tinggi. Dan dunia sudah mengalami krisis Ekonomi berkali-kali pasca kehilangan peradaban Islam pada 3 maret 1924. Dan semakin diperparah dengan adanya pandemi.

Sedangkan disisi lain langkah pemerintah dalam menghadapi pandemi adalah mengikuti World Health Organization (WHO) atau Organisasi Kesehatan Dunia. Launching istilah “New Normal Life” yang dipaksakan untuk masuk sebagai solusi yang diadopsi Indonesia agar rakyat berdamai dengan Covid-19 akhirnya membiarkan rakyatnya beraktifitas di tengah-tengah virus menyebar dengan istilah-istilah yang diperbaharui. New Normal Life sejatinya bukanlah sebuah kebijakan di bidang kesehatan melainkan kebijakan yang lahir dari bidang Ekonomi pada saat terjadi krisis finansial 2008. 

Regulasi inilah yang pada akhirnya diadobsi oleh semua negara termasuk Indonesia, sehingga pengaburan terhadap kasus pandemi yang sedang melanda dunia saat ini. Resep WHO untuk mengatasi pandemi merupakan regulasi yang keliru dan diimplementasikan serta di jadikan acuan bagi dunia kesehatan saat ini jadi wajar saja, dengan pergantian istilah apapun dari PSBB, PPKM Darurat hingga kini masuk kebijakan Level 1-4 namun tetap situasi tidak membaik. 

Di sisi lain WHO yang merupakan Organisasi Kesehatan Dunia ini yang dirujuk resep-resepnya untuk mengatasi pandemi malah merupakan basis yang mengeluarkan kebijakan dengan menimbang ekonomi yang kapitalistik sehingga kita lihat kalangan yang diuntungkan bukan ekonomi rakyat secara massal tapi kalangan tertentu yakni mereka yang bermodal besar / para kapital. Sedangkan ekonomi terkait rakyat secara umum, justru lebih banyak menyulitkan. Lebih banyak menimbulkan persoalan-persoalan baru yang menyebabkan kondisi ekonomi rakyat semakin terpuruk. 

Salah satunya contohnya dengan mengkomersialisasikan vaksin kepada rakyat. Walau sampai saat ini langkah untuk mengkomersialisasikan vaksin ini masih ditunda bahkan dibatalkan. Ini lebih membuktikan bahwa rakyat yang menjadi korban dan menjadi ladang mencari keuntungan bagi para kapital. 

Hal ini juga berbanding lurus dengan mindset rezim penguasa saat ini, strateginya justru menggerakkan pembiayaan dengan harapan menggerakkan ekonomi maka digelontorkan olehnya Bantuan Sosial (BANSOS) sebagai stimulus untuk berbagai sektor usaha dengan harapan tadi.  Sedangkan trouble utama adalah pandemi. 

Jika kita melihat fakta yang ada, begitulah system kapitalisme saat mengatur kehidupan masyarakat. Kapitalisme melahirkan kebijakan yang membuat rakyat susah. Salah satunya dalam mengurusi pandemi ini. Disatu sisi ingin menekan kasus Covid-19, tapi di sisi lain justru kebijakan ini melahirkan masalah lain, yakni tidak bisa menutupi penderitaan rakyat yang tidak bisa beraktivitas untuk mencari nafkah. Pemberlakuan PPKM ini hanyalah memberikan pembatasan kegiatan masyarakat secara tegas namun tidak bisa memenuhi kebutuhan pokok masyarakat sehari-hari.
Umat Butuh Khilafah Atasi Pandemi

Berbeda dengan system demokrasi kapitalis, dalam regulasi Islam terkait wabah dengan solusi syari’ah, memisahkan yang sehat dengan yang sakit (lockdown). Orang-orang yang dinyatakan positif dilokalisir dari awal terjadinya pandemi, yang sakit tidak bisa keluar dan yang sehat tidak bisa memasuki lokasi wabah sehingga proses ini bisa menekan angka penularan virus. Bukan malah berdamailah yang sehat dengan yang sakit atau berdamailah dengan virus.

Dalam Syari’at Islam, rakyat adalah prioritas utama dalam pelayanan oleh Khalifah / pemimpin karena tugas utama adalah ri’ayatil su’unil ummah (mengurusi urusan ummat). Regulasi keliru yang diadobsi bisa dialihkan dengan regulasi Islam dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyah sebagai acuan. Karena syari’at menjadi dasar penanganan wabah, yakni melokalisir yang sakit (lockdown). Tentunya ditopang dengan terpenuhinya kebutuhan pokok harian masyarakat, sehingga yang sakit tidak keluar dari lokalisir wilayah dan yang sehat tidak perlu berdamai dengan virus.

Di dalam Peradaban Islam pula, tidak ada permasalahan dari sisi industri karena sektor yang berjalan untuk menggerakkan ekonomi rakyat bebas dari pungutan biaya energi listrik, air dan pajak. Dan sumber daya alam yang ada digunakan sebaik-baiknya untuk kemaslahatan rakyat bukan untuk kemaslahatan kapital.

Virus Covid-19 ini bisa dihentikan saat kita kembali pada aturan Islam. Karena Islam punya solusi yang tepat  untuk mengatasi wabah sampai tuntas. Islam pun adalah satu-satunya aturan yang bisa melahirkan pemimpin yang berkualitas, tegas, bertanggungjawab dan serius dalam menangani wabah. Serta akan selalu berpikir untuk menekan dan menyelesaikan wabah tapi tetap akan memikirkan kebutuhan rakyat sehari-hari. Begitulah profil para shahabat dan salafusshalih dalam memegang amanah kekuasaan dan bertugas melayani rakyat pada peradaban Islam di dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyah.
Wallahu’alam.

Post a Comment

Previous Post Next Post