Orang Kaya Meningkat di Tengah Pandemi, Prestasi atau Ironi?


Oleh: Mustika Lestari
(Pemerhati Sosial)

Sejak pandemi Covid-19 menghantam ekonomi global tahun 2020 lalu, perekonomian masyarakat kian porak-poranda. Penurunan aktivitas ekonomi, banyaknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan meningkatnya pengangguran menjadi fakta yang harus dihadapi oleh masyarakat. Dan kelompok rentan menjadi kelompok yang paling terdampak, sayangnya mereka paling sering terlupakan. 

Di tengah pandemi ini, Credit Suisse melaporkan jumlah penduduk kaya dan superkaya di Indonesia justru mengalami peningkatan. Pada tahun 2020, penduduk dengan kekayaan bersih US$1 juta atau lebih mencapai 171.740 orang. Angka tersebut melonjak 61,69 persen year on year (yoy) dari tahun 2019 yang berjumlah 106.215 orang. Lembaga ini juga mencatat, orang sangat kaya atau dengan kekayaan lebih dari US$100 juta pada tahun 2020 mencapai 417 orang atau naik 22,29 persen dari tahun sebelumnya. (http://money.kompas.com, 13/7/2021)

Ketimpangan Sosial Semakin Tajam

Meningkatnya jumlah orang kaya di Indonesia disebabkan nilai aset mereka yang tidak terpengaruh dengan rapuhnya perekonomian akibat pandemi Covid-19. Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE), Piter Abdullah mengatakan, pandemi tidak mempengaruhi penghasilan orang kaya karena mereka memiliki pendapatan pasif atau passive income. Mereka terus mengakumulasi kekayaan, bahkan uangnya terus mengalir meski hanya diam di rumah. 

Tentu sebagian orang mengapresiasi capaian tersebut. Akan tetapi, menjadi realitas yang tak terbantahkan jika dalam situasi melonjaknya orang kaya ini, angka kemiskinan juga tak kalah fantastis. Berdasarkan rilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada Kamis (15/7/21), jumlah orang miskin semakin bertambah selama pandemi. Pada Maret 2021 jumlah penduduk miskin sebesar 27,54 juta orang, meningkat 1,12 juta orang terhadap Maret 2020. 

Jika kita menelaah secara menyeluruh, potret masalah klasik ketimpangan sosial di negeri ini justru semakin tajam. Indeks rasio gini atau tingkat ketimpangan meningkat, sebagaimana catatan Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia per Maret 2021 sebesar 0,384 atau naik dari  pada 0,381 pada Maret 2020. Hal ini menunjukkan meningkatnya ketimpangan pendapatan selama masa pandemi, khususnya kelompok miskin dan rentan. 

Ekonom dan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyatakan, ada beberapa faktor yang mempengaruhi tajamnya ketimpangan sosial dan ekonomi di Indonesia. Pertama, orang kaya memiliki kemampuan melindungi asetnya, tak seperti orang miskin. Mereka yang berada pada kelas menengah ke bawah untuk bertahan hidup saja sudah susah. Kedua, banyak orang kaya yang berada di sektor-sektor menguntungkan selama pandemi seiring dengan konsumsi masyarakat yang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah.

Apabila kita bertanya pada pelaku usaha kecil, seperti buruh, pedagang sembako, pedagang kaki lima (PKL), hingga tukang ojek online, tentu curahan hati mereka sangat menyayat hati. Pendapatan mereka turun drastis bahkan ada yang sama sekali tak memiliki penghasilan. Sementara, tuntutan kebutuhan hidup harus dipenuhi.  Faktanya, bantuan sosial (bansos) yang diberikan kepada masyarakat yang terdampak pun tidak dapat meredam sedikit saja kesulitan hidup rakyat. Lantas, kabar baiknya dimana? 

Ini berakar dari mindset negeri ini yang berpijak pada sistem kapitalisme, dimana segalanya bertumpu pada kegiatan ekonomi. Sayangnya, tolok ukur kegiatan tersebut hanya mengarah pada pemilik modal, bukan memperhatikan kondisi rakyat kecil. Dalam kondisi pandemi Covid-19, para pemodal dapat memanfaatkan peluang bisnis agar rupiah terus mengalir. Sedangkan rakyat kecil yang minus perhatian pemerintah, ditambah lagi tak mampu mengikuti arus ekonomi, hanya bisa mengelus dada melihat nasib yang semakin miris. 

Tak ada wabah saja, penghasilan yang diperoleh setelah mencari rezeki seharian tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup, apalagi adanya pandemi yang membatasi aktivitas mereka. Rakyat kian bergelimang kesulitan hidup yang tak tahu entah kapan akan usai. Akhirnya, ungkapan klise “yang kaya semakin kaya, dan miskin semakin miskin” semakin nyata. Ironis!

Dalam sistem yang berasaskan kebebasan ini membuat orang kaya bebas mendapatkan apa saja yang ia mau, sementara orang miskin yang tidak memiliki apa-apa hanya bisa merana agar tetap bertahan hidup. Harus diakui, sistem semacam ini bukan hanya memiskinkan individu, tetapi juga masyarakat bahkan negara. Hal ini sebagaimana halnya utang negara yang terus menggunung, sementara kesejahteraan rakyat kian dipertanyakan. Kekayaan alam yang membentang dari Sabang sampai Merauke tidak mampu memberikan pemerataan ekonomi bagi seluruh lapisan masyarakat. Keberadaannya hanya memfasilitasi para konglomerat kelas kakap untuk terus menimbun kekayaan. 

Kegagalan dalam menyejahterakan rakyat ini membuka kedok hegemoni kapitalisme yang tidak bisa menyembunyikan produknya memiskinkan manusia. Secara sistemik, rakyat hanya menjadi korban kebobrokannya tanpa bisa merasakan sejahtera meski hanya sesaat. Kini, rakyat sudah muak dengan jeratan sistem kebanggaan dunia yang kenyataannya hanya menjadi biang kerok dari semua persoalan kehidupan ini. 

Islam Mewujudkan Kesejahteraan Menyeluruh

Penerapan kapitalisme yang senantiasa menafikan aturan-Nya yang mulia adalah sumber petaka bagi bangsa ini. Agar kembali kepada kemuliaan dan kebaikan yang hakiki, maka umat harus kembali kepada aturan Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Islam sebagai ad-Diin yang mengatur segala aspek kehidupan, keberadaannya bukan sekadar mengatur ibadah ritual, melainkan juga mengatur urusan rakyat, masyarakat hingga negara.

Dalam hal aktivitas perekonomian, Islam memberikan solusi terbaik agar kekayaan dapat terdistribusi secara merata di tengah-tengah masyarakat. Islam menempatkan negara sebagai institusi yang memilki peran vital untuk melayani dan mengurusi kebutuhan rakyat. Melalui ekonomi Islam, asas-asas sistem ekonomi seperti pemilikan, pengelolaannya dan distribusi kekayaan menjadi tanggungjawab negara sehingga masyarakat secara keseluruhan merasakan kesejahteraan. 

Jika aturan Islam tegak, kebaikannya bisa dirasakan oleh seluruh manusia dan tidak ditemukan ketimpanagan sosial. Sebagai contoh keteladanan seorang pemimpin, pada zaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz kemakmuran rakyat begitu dirasakan selama pemerintahannya. Hal ini terlihat dari tidak didapatinya seorangpun yang mau menerima zakat karena semua rakyatnya hidup berkecukupan. 

Sosok pemimpin dalam Islam adalah orang-orang yang bertakwa, takut kepada-Nya dan selalu merasa diawasi oleh-Nya sehingga membuatnya bersungguh-sungguh berusaha mengurus seluruh urusan rakyatnya. Maka, sudah saatnya kita beralih kepada sistem pemerintahan Islam yang telah terbukti keunggulannya menyejahterakan rakyat secara nyata. Wallaahu a'lam bi shawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post