Kontroversi Pernikahan Anak dibawah Umur

Nurul Ramadhanti (Mahasiswi S2, Komunitas Annisaa Ganeshaa)

Fenomena perkawinan di bawah umur sedang marak terjadi belakangan ini. Komnas HAM Perempuan mencatat terdapat 64.000 kasus sepanjang tahun 2020. Legalitas yang tercantum pada Undang-undang Nomor 16 tahun 2019 merupakan penyebab dari fenomena tersebut. Bagaimana tidak, dalam undang-undang tersebut dicantumkan bahwa batas minimal untuk menikah adalah 19 tahun. Namun, dalam undang-undang tersebut pula terdapat ketentuan yang dapat mengizinkan individu dibawah 19 tahun untuk melaksanakan pernikahan.

Hal ini menimbulkan kekhawatiran di beberapa kalangan masyarakat. Anggota komisi VIII DPR menyatakan, perlu adanya penyeleksian lebih ketat terhadap pengajuan ketentuan perizinan pernikahan dibawah umur 19 tahun. Perlu diperhatikan dengan baik kondisi mental, kesehatan, dan ekonomi calon mempelai. Fenomena ini perlu ditindaklanjuti dengan lebih serius. Pertimbangan majelis hakim sebagai pemberi izin, menjadi sasaran kritik dari beberapa kalangan. Faktanya, di beberapa daerah, persetujuan pernikahan diberikan dengan mudah. Kemudahan dalam menerima permintaan pernikahan dibawah umur ini kemudian dinilai sebagai celah dalam UU perkawinan (Hidayat, 2021).

Kekhawatiran juga dirasakan oleh Rasminah, salah satu korban perkawinan dini pada masanya. Rasminah kini bergerak sebagai aktivis pencegahan perkawinan anak. Dengan motivasi dapat menolong anak di bawah umur yang akan dikawinkan karena tidak diberikan pilihan lain oleh kedua orang tuanya. Kementrian PPPA bersama dengan sejumlah kementrian lain bekerjasama untuk melakukan revisi terkait kebijakan dispensasi pernikahan ini. Dari isu ini, kementerian kemudian mengeluarkan sebuah program sebagai salah satu upaya memberdayakan tokoh perempuan di desa terdampak sebagai agen sosialisasi dan pembimbingan jika isu ini muncul di tengah mereka (Mazrieva & Ahadian, 2021).

Sebenarnya jika ditelisik lebih dalam solusi terhadap permasalahan ini, yang perlu di perhatikan oleh kedua orang tua sebagai wali dalam pernikahan adalah pendidikan agama. Pendidikan agama baik itu untuk individu orang tua, maupun untuk anak. Karena, bermula dari pendidikan agama, fondasi dan ketahanan seseorang terhadap dunia luar yang beragam dan beresiko bisa terbentuk. Dengan bekal ini pula seorang istri maupun suami dapat menjalankan perannya masing-masing dengan optimal, karena selama mereka melaksanakan syariat, disitulah keadilan akan terwujud sehingga tidak akan ada pihak yang dizhalimi. Tentu, dengan karakteristik pendidikan agama yang terarah, tersusun dan berkesinambungan.

Dalam Islam, selama seseorang sudah mampu memikul beban pernikahan ditambah tanggung jawab nafkah bagi laki-laki, Islam tidak membatasi umur tertentu untuk menikah. Satu sisi, dalam sistem pergaulan Islam, interaksi antar laki-laki dan perempuan diatur sedemikian rupa sehingga naluri ketertarikannya dengan lawan jenis tidak mudah tergugah pada usia belum baligh. Media-media yang ada pun diarahkan untuk sarana edukatif, tidak seperti hari ini yang mana pergaulan serba bebas, pornografi tersebar di berbagai media bahkan permainan online anak-anak. Hal inilah yang seharusnya menjadi fokus perhatian pemerintah, bukan larangan menikah dini.

Post a Comment

Previous Post Next Post