Nasib Uighur dan Diamnya Negara-Negara Islam



Penulis: Eva Rahmawati 
(Pemerhati Sosial)

Raga yang dulu pingsan, kini mulai siuman. Adalah sepinya kasus dugaan diskriminasi Muslim Uighur di Xinjiang oleh pemerintah China. Kini, kembali hangat diperbincangkan. Banyak publik figur berkomentar tak terkecuali Ozil.
"(Di China) Quran dibakar, masjid ditutup, sekolah teologi Islam-madrasah dilarang, cendikiawan dibunuh satu per satu. Terlepas dari itu semua, Muslim tetap diam," tulis pemain Timnas Jerman itu di Twitternya @MesutOzil1088. (CNBC.com, 18/12/19)

Sontak cuitan tersebut membuat China naik pitam, buntutnya netizen China mengecam Ozil. Bahkan, laga Arsenal melawan Manchester City pun dibatalkan. Pertandingan yang seharusnya ditayangkan di CCTV itu digantikan dengan pertandingan rekaman klub lain di Liga Premier. Dari peristiwa ini, umat kembali dibangunkan dan disadarkan. Penindasan dan kekejaman terhadap saudara seiman masih terus berjalan. 

PBB memperkirakan sekitar 1 juta warga dari etnis Uighur, Kazakh dan minoritas lainnya diduga telah ditahan di Xinjiang barat laut China sejak 2017. Etnis minoritas berbahasa Turkic telah ditahan di kamp-kamp dimana mereka mendapat 'pendidikan ulang' dan menjadi sasaran indoktrinasi politik, termasuk dipaksa belajar bahasa yang berbeda dan melepaskan keyakinan mereka. Penelitian terbaru mengungkapkan ada 28 fasilitas penahanan yang digunakan dan telah diperluas lebih dari 2 juta meter persegi sejak awal tahun lalu.

China awalnya menyangkal bahwa di negara itu ada kamp-kamp penahanan semacam itu. Delegasi China ke Komisi HAM PBB mengatakan sama sekali tidak ada penahanan semena-mena dan "tak ada yang namanya kamp pendidikan ulang, argumen bahwa sejuta orang Uighur ditahan di pusat-pusat pendidikan kembali sama sekali tak benar," kata delegasi China, Hu Lianhe. Dia menambahkan tidak ada penindasan etnis minoritas atau pelanggaran kebebasan keyakinan agama atas nama kontra-terorisme. (Tempo.co, 14/8/18)

Tak butuh waktu lama, akhirnya China mengakuinya dan menyebutnya sebagai sekolah kejuruan yang memberikan pendidikan dan pelatihan kerja untuk meredam isu ekstremisme. Apalagi, gambaran baru yang tragis dari nasib kaum minoritas Muslim Uighur di wilayah Xinjiang, China mencuat ke publik melalui sebuah dokumen yang bocor pada Minggu (17/11/2019). Dalam dokumen itu disebutkan bahwa Presiden China Xi Jinping memerintahkan para pejabat untuk bertindak tanpa belas kasihan terhadap separatisme dan ekstremisme warga Uighur dan minoritas Muslim.

Seperti dilaporkan The New York Times, dokumen itu memiliki tebal 403 halaman. terdapat naskah pidato yang sebelumnya tidak dipublikasikan oleh Xi, serta arahan dan laporan tentang pengawasan dan pengendalian populasi Uighur.
"Dalam pidato tahun 2014 kepada para pejabat yang dibuat setelah gerilyawan dari minoritas Uighur menewaskan 31 orang di sebuah stasiun kereta di China barat daya, Xi menyerukan agar dilakukan perjuangan melawan terorisme, infiltrasi dan separatisme secara habis-habisan menggunakan organ kediktatoran dan tanpa belas kasihan," tulis Times menjelaskan isi pidato Xi, seperti dikutip kembali oleh AFP Senin (18/11/2019). (cnbcindonesia.com, 18/11/19)

Menanggapi kejadian ini, pakar hubungan etnis di China James Leibold mengatakan bahwa kebocoran dokumen itu menunjukkan kejelasan dalam isu-isu penahanan massal di luar hukum yang dilakukan secara sadar dan sistematis terhadap Muslim Uighur di Xinjiang. 

Gelombang unjuk rasa dan kecaman terhadap tindakan pemerintah China terus bergulir. Lebih dari 20 negara anggota Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) secara kompak mengecam perlakuan China terhadap warga minoritas Muslim Uighur dan kelompok minoritas lainnya di wilayah Xinjiang. Kecaman itu dituangkan dalam surat yang dikirimkan kepada para pejabat tinggi Dewan HAM PBB baru-baru ini.

Seperti dilansir AFP, Kamis (11/7/2019), surat yang dirilis ke media pada Rabu (10/7) waktu setempat itu, ditandatangani oleh para Duta Besar (Dubes) untuk PBB dari 22 negara, termasuk Australia, Inggris, Kanada, Prancis, dan Jerman. (detik.com, 11/7/19)

Namun di luar dugaan, negara-negara Islam justru absen dalam turut serta melindungi Muslim Uighur di China. Banyak pihak yang menilai, negara Islam cuek tanpa pernyataan diplomatis maupun tindakan apapun atas nasib menyedihkan muslim Uighur yang dipaksa pindah keyakinan dengan cara kekerasan. Arab Saudi, Rusia, dan 35 negara lain telah secara resmi menuliskan surat kepada PBB terkait kebijakan Cina di wilayah barat Xianjiang. Menurut salinan surat yang dipantau Reuters, surat tersebut mendukung kebijakan Cina yang sama sekali bertolak belakang dengan kritik Barat yang kuat terhadap China soal Xianjiang. Selain Arab Saudi dan Rusia, surat tersebut ditandatangani oleh duta besar dari banyak negara seperti Afrika, Korea Utara, Venezuela, Kuba, Belarus, Myanmar, Filipina, Suriah, Pakistan, Kuwait, Qatar, Uni Emirat Arab, dan Bahrain.

Ironis. Diamnya mereka disebabkan banyak faktor, salah satunya terkait dengan kerjasama ekonomi atau politik balas budi terhadap China. Pasalnya, sejumlah negara-negara Islam tersebut mendapat "bantuan finansial" dari China, tak terkecuali Indonesia. Wajar mereka diam soal Muslim Uighur. Kucuran dana yang digelontorkan China untuk negara-negara Islam ampuh membungkam mereka. Padahal, penduduk Indonesia mayoritas muslim terbesar di dunia. Harusnya lebih bersuara, bukan malah bersikap biasa. Mekanisme yang diambil masih saja berkutat pada diplomasi. Posisi Indonesia sebagai pemimpin ASEAN dan Dewan Keamanan PBB pun tidak berpengaruh dengan aksi pembelaannya.

Lantas kepada siapa umat berharap, kepada OKI, PBB, HAM? Desakan dan kecaman yang dilakukan oleh sejumlah anggota PBB nyatanya tidak mampu menghentikan. Tudingan terorisme, ektrimisme dan radikalisme kian tajam mengarah ke Islam. Apalagi jika kaum muslim menjadi minoritas, bukan hanya diskriminasi, persekusi, dan kriminalisasi yang diterima, eksekusi mati pun seolah menjadi biasa. Miris.

Nyawa kaum Muslim dengan mudah dihilangkan, darah-darah mukmin ditumpahkan. Para wanita dirampas kehormatannya, bayi-bayi suci terpaksa menahan derita. Anak-anak menangis, tak tahu harus kemana. Wahai pemimpin negara-negara Islam, sudah matikah rasa empati terhadap saudara seiman? Lupakah dengan firmanNya dalam Qur'an surat Al Hujurat ayat 10 yang menyebut "Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara".

Belum sampaikah Sabda Rasulullah Saw yang menyebut bahwa “Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan saling berempati bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggotanya merasakan sakit, maka seluruh tubuh turut merasakannya dengan berjaga dan merasakan demam.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Hanya karena sekerat dunia, keimanan kalian tergadai. Tak ada pembelaan terhadap saudara seiman. Apakah nasionalisme masih kalian banggakan? Sejatinya, nasionalisme yang kalian banggakan telah mencerabut kekuatan umat Islam. Dengan nasionalisme, penderitaan yang dialami saudara seiman tak menjadi soal jika itu berada di luar negaranya. Berbeda kondisinya tatkala Islam mempunyai kepemimpinan yang satu, satu negara, satu ummah, dan satu bendera dalam naungan khilafah Islamiyah. Islam bersatu tak bisa dikalahkan, ditakuti lawan dan disegani kawan. 

Tak bisa berharap banyak kepada pemimpin negara-negara Islam dan dunia saat ini untuk menghentikan penindasan kaum muslim. Umat butuh khilafah sebagai perisai, pelindung dan pengayom. Bukti sejarah terpampang jelas, masa kekhilafahan selama 14 abad telah berhasil melindungi harta dan jiwa kaum muslim dan kafir dzimmi (orang kafir yang tinggal di negara Islam). 

Bagaimana heroiknya Khalifah Al Mu'tasim Billah tatkala mendengar ada muslimah yang diganggu dan dilecehkan oleh orang Romawi, sang khalifah pun menurunkan puluhan ribu pasukan untuk menyerbu kota Amoria dan melibas semua orang kafir yang ada di sana (30.000 prajurit Romawi terbunuh dan 30.000 yang lain ditawan). Sebagai bentuk pembelaan dan menjaga kehormatan muslimah. Tapi lihatlah kondisi sekarang ketiadaan khilafah membuat pelecehan terhadap muslimah dan kaum muslim merajalela hingga nyawapun tak berharga. 

Umat butuh khilafah, dengannya kaum muslim bersatu. Harta dan jiwanya dilindungi. Perlakuan diskriminatif, penindasan dan penyiksaan fisik dan mental mampu dihilangkan. Islam rahmat bagi semesta alam akan segera terwujud.

Tegaknya khilafah adalah sebuah keniscayaan. Bukan khayalan dan impian. Karena telah dikabarkan kehadirannya, dalam bisyarah Rasulullah SAW. Sebagimana sabda Nabi Shalallauhu 'alaihi wa sallam.
“adalah Kenabian itu ada di tengah-tengah kamu sekalian, yang ada atas kehendak Allah, lalu Allah mengangkatnya bila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang menempuh jejak Kenabian, yang ada atas kehendak Allah, lalu Allah mengangkatnya bila Dia berkehendak mengangkatnya. Lalu akan ada kekuasaan yang menggigit, yang ada atas kehendak Allah, lalu Allah mengangkatnya bila Dia berkehendak mengangkatnya. Lalu akan ada kekuasaan yang memaksa (diktator), yang ada atas kehendak Allah, lalu Allah mengangkatnya, bila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang menempuh jejak Kenabian. Kemudian beliau (Nabi) diam” (HR Ahmad)

Wallohu a'lam bishshowab.

Post a Comment

Previous Post Next Post