Desentralisasi yang Menyulitkan

Oleh : Syifa Putri
Ummu warabbatul bayt, Kab. Bandung

Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Itulah pribahasa yang harusnya kita usahakan. Tapi hal demikian tidak berlaku dalam sistem sekuler. Dimana banyak aturan dan hukum yang malah mencerai beraikan dan menjauhkan dari persatuan. Pembagian  wilayah-wilayah dengan adanya Otonomi Daerah yang bersifat desentralisasi, dimana mungkin dianggap sebagai pemecahan masalah agar proses pelayanan semakin meningkat.

Inilah yang menjadi landasan Pembentukan Daerah Otonomi Persiapan (DOP) dan daerah otonomi baru (DOB) Kabupaten Bandung Timur (KBT) terpisah dari Kabupaten Bandung, dengan adanya  proses persyaratan kewilayahan dan administrasi yang harus dilaksanakan atau ditempuh oleh calon DOB diantaranya harus ada musyawarah desa (musdes). Untuk itulah kemudian KBT masuk ke pemekaran daerah. Jika proses administrasinya terpenuhi sudah pasti tidak akan ada yang membantahnya. Karena itu persyaratan administrasi harus dilaksanakan musdes (musyawarah daerah). Tanpa musdes KBT tak akan terbentuk. Seperti yang dilansir oleh galamedia Bandung, Anggota DPRD Kabupaten Bandung Cep Anna mengatakan, dalam pembentukan DOB KBT terpisah dari Kabupaten Bandung, masih membutuhkan proses panjang yang diawali dari pelaksanaan musdes. "Minimal hasil musdes itu, 100 desa menyetujui pembentukan DOB Kabupaten Bandung Timur atau 50 persen plus satu. Hasil musdes itu disampaikan ke Pemkab. Bandung, untuk dilakukan pembahasan atau diparipurnakan antara DPRD Kabupaten Bandung dengan bupati Bandung," kata Cep Anna.

Persyaratan administrasi yang menjadi syarat pemekaran membuat proses penetapan DOB KBT menjadi lama. Dikarenakan syarat pembentukan daerah otonomi baru diperketat. Pembentukan daerah otonomi dipersulit. Syarat untuk membentuk daerah otonomi baru yang dulu longgar kini diperketat. Pengetatan ini dilakukan oleh pemerintah dan DPR melalui UU Pemerintahan Daerah. Dalam beberapa ketentuan yang terdapat dalam UU yang baru disahkan, pengetatan pembentukan daerah otonomi baru dilakukan terhadap beberapa aspek. Salah satunya,  proses. Dalam Pasal 38 UU Pemerintahan Daerah, untuk membentuk daerah otonomi baru, pembentukan daerah otonomi baru harus melewati beberapa proses, salah satunya adalah administrasi. 

Disisi lain, aspirasi rakyat melalui musyawarah desa merupakan hal yang harus ada. Musyawarah desa merupakan sebuah forum yang diikuti oleh Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat desa untuk memusyawarahkan hal yang bersifat strategis dalam penyelenggaraan pemerintah desa. 

Hal tersebut sangat menyita waktu, biaya dan tenaga. Otonomi daerah salah satu cara yang diberlakukan dalam sistem sekular,  yaitu melepaskan tanggung jawab pusat, dan cara kaum kuffar unuk memecah belah umat. Karena desentralisasi melimpahkan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dengan asas desentralisasi pemerintah daerah memungkinkan untuk membuat peraturan tersendiri dalam daerahnya. Undang-undang otonomi daerah telah memberikan kewenangan dan kekuasaan luas kepada daerah hampir menyamai pemerintah pusat. Tidak hanya itu saja, pemekaran daerah juga berpotensi menimbulkan konflik horizontal akibat perebutan asset ekonomi daerah, pertikaian dalam menetapkan ibu kota daerah, dan motif-motif ekonomi politik lainnya.  

Otonomi daerah malah dianggap kebablasan, hingga melahirkan “raja-raja kecil” yang siap menjual asset-asset daerahnya kepada asing, memperlebar kontraksi politik di tengah-tengah masyarakat, meningkatnya biaya-biaya politik, semacam biaya untuk pilgub, pilkada, dan pilbup, serta munculnya potensi-potensi disintegrasi di wilayah Indonesia.

Berbeda dengan hukum Islam, dimana peraturannya bersifat sentralisasi. Sentralisasi adalah memusatkan seluruh wewenang kepada sejumlah kecil manajer atau yang berada di posisi puncak pada suatu struktur organisasi. Di mana pemerintah daerah tidak terlalu terbebani pada permasalahan yang timbul akibat perbedaan pengambilan keputusan atau pendapat, karena seluruh keputusan dan kebijakan dikoordinir seluruhnya oleh pemerintah pusat.

Contohnya bentuk negara dan konsepsi kekuasaan Daulah Khilafah Islamiyyah adalah kesatuan dan sentralisasi kekuasaan.  Adapun yang dimaksud dengan kesatuan di sini adalah; seluruh wilayah kekuasaan Daulah Khilafah Islamiyyah merupakan satu kesatuan kepemimpinan dan wilayah.  Tidak ada pemimpin ganda di dalam Islam, dan tidak ada wilayah yang independen dari kekuasaan pusat, seperti sistem pemerintahan federasi.  Seluruh wilayah dan rakyat yang hidup di dalam Daulah Khilafah Islamiyyah adalah satu, dan dikendalikan oleh kepemimpinan yang bersifat tunggal.   

Pembiayaan dan pengaturan belanja negara juga dianggap satu, tanpa memandang lagi wilayahnya (provinsi).  Jika pendapatan sebuah  provinsi tidak sanggup membackup pengeluaran (kebutuhan), maka kebutuhan-kebutuhan provinsi tersebut akan dicukupi oleh pemerintahan pusat. Pasalnya, strategi penganggaran di provinsi didasarkan pada kebutuhannya, bukan didasarkan pada pemasukan provinsi. Jika pendapatan provinsi tersebut tidak mencukupi, maka wilayah tersebut akan disubsidi oleh pemerintahan pusat. Tidak ada kekuasaan kembar, atau kekuasaan independent di dalam Daulah Khilafah Islamiyyah.

Kesatuan dan sentralisasi kekuasaan telah ditetapkan berdasarkan sunnah dan ijma’ shahabat.  Imam Muslim meriwayatkan hadits dari Arfajah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang mendatangi kalian, padahal urusan kalian telah terkumpul di tangan seseorang (khalifah), kemudian ia hendak mengoyak kesatuan kalian dan memecah belah jamaa’ah kalian, maka bunuhlah ia”.[HR. Imam Muslim]

Imalah dibagi-bagi lagi menjadi beberapa bagian admistratif yang disebut dengan  qashabah (kota); dan qashabah dibagi-bagi lagi menjadi beberapa bagian administratif yang lebih kecil, yang disebut dengan hayyu (desa). Orang yang mengurusi ‘qashabah dan hayyu disebut dengan mudir, dan mereka hanya menjalankan tugas-tugas administratif belaka.  

Para wali dan amil adalah penguasa (hukkam) atas daerahnya, dan diberi otonomi untuk memerintah dan mengatur wilayahnya sesuai dengan kewenangan yang diberikan khalifah. Wali diangkat dan diberhentikan oleh khalifah, bukan diangkat oleh rakyat yang ada di wilayahnya.  Pasalnya, Rasulullah Saw. mengangkat para wali untuk beberapa wilayah.  Beliau pernah mengangkat Muadz bin Jabal menjadi wali di wilayah Janad, Ziyad bin Labid di wilayah Hadlramaut , Abu Musa al-Asy’ariy di wilayah Zabid dan ‘Adn, dan lain sebagainya.

Di dalam fikih klasik, wali yang hanya diberi kewenangan untuk memerintah saja, namun tidak berhak mengurusi urusan keuangan (harta) disebut dengan wali sholat.  Ada pula wali yang diberi tugas hanya mengurusi urusan harta; dan disebut dengan wali kharaj (wali khusus).  Nabi Saw. pernah mengangkat Ali bin Abi Thalib untuk mengurusi masalah peradilan di Yaman; beliau juga mengangkat Ziyad bin Labid untuk mengurusi zakat di wilayah Hadlramaut; Ali bin Abi Thalib mengurusi urusan zakat dan jizyah di Najran, dan lain sebagainya.

Berdasarkan uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa bentuk negara Daulah Khilafah Islamiyyah adalah kesatuan, dan kekuasaannya tersentralisasi di tangan Khalifah. Sedangkan dalam urusan-urusan administrasi dan pengelolaan urusan rakyat, Khalifah memberikan otonomi kepada para wali untuk memerintah dan mengatur urusan rakyat sesuai dengan kewenangan yang diberikan khalifah kepadanya (desentralisasi). Sistem ini pernah dijalankan di sepanjang lintasan sejarah kekhilafahan Islam, dan terbukti mampu menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat.

Jika hal tersebut ingin direalisasikan kembali dalam kehidupan, kuncinya adalah dengan menerapkan syariah Islam secara menyeluruh. Hal itu hanya bisa diwujudkan di bawah sistem yang dicontohkan  oleh Nabi Saw dan dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin dan generasi selanjutnya. Itulah sistem Khilafah Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian. Inilah yang harus diperjuangkan sekaligus menjadi tanggung jawab seluruh umat Islam.

Wallahu a'lam bi ash-shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post